Monday, September 3, 2012
Cinta Untukku, Mana?
Di suatu sore, Biana menikmati langit jingga di teras samping kamar kosnya. Duduk bersila di atas ubin, merasakan dinginnya menyentuh kulit kaki dan pahanya yang telanjang. Matanya terpejam, kepalanya bergoyang-goyang seakan mengikuti irama musik dari earphone yang tidak tersambung pada lagu apapun. Ia berpura-pura tenggelam di antara jutaan nada dalam kepalanya sendiri. Kepalanya yang penuh dengan pertanyaan-pertanyaan konyol seperti, “Benarkah cinta itu damai?”
Kita semua dihadirkan dari cinta dua manusia. Kita pun menjalani hari dengan cinta di semua sisi hidup kita.
Ponsel di sampingnya berdering. Ada ‘Ibu’ di layarnya. Biana hanya mengerling sekilas, lalu berpaling dengan hampa. Ibu. Perempuan yang dipanggilnya ‘Ibu’ ini sudah berkali-kali menghubunginya. Tapi Biana tidak bergeming. Membiarkan Ibu di seberang sana geram. Biar saja. Bertahun-tahun Biana geram melihat ibunya terpuruk dan meratapi nasib mereka tanpa berbuat apa-apa. Membiarkan Biana kecil hidup dalam kubangan pertanyaan. Membiarkan Biana tumbuh jadi perempuan yang belajar mengasihani hidup ibunya.
Dua hari lalu, Biana bertemu dengan laki-laki yang dipanggilnya Ayah di sebuah pusat pertokoan. Ayahnya menggandeng perempuan yang bukan ibunya, perempuan yang berbeda dengan perempuan yang ia temui di acara ulang tahun ayahnya. Perempuan ini menempel-nempelkan payudaranya yang tidak seberapa besar ke lengan ayahnya. Manja sekali. Sepengetahuan Biana, sejak orang tuanya berpisah, ayahnya memang belum pernah menikah lagi. Tidak menikah, bukan berarti tidak bermain-main dengan ‘cinta’. Lalu pandangan mereka bertemu, menimbulkan keheningan sepersekian detik. Biana menelan ludah. Kali ini, perempuan yang digandeng ayahnya adalah teman satu kampusnya.
Oh… Biar cinta tak bernoda dan selalu setia, tiada menyakiti…
Sampai sore ini, Biana masih terluka melihat ayahnya menjalin kemesraan dengan perempuan selain ibunya. Ah, Biana. Orang tuamu sudah berpisah sejak kamu lulus TK. Ayahmu adalan don juan dan ibumu tidak lebih dari perempuan lemah yang tidak bisa bangkit demi anaknya. Apakah kamu masih berharap? Tapi tetap saja, berbagai pertanyaan meletup di kepalanya. Bagaimana orang tuanya dulu bisa saling jatuh cinta? Berapa lama cinta orang tuanya dulu bertahan? Setahun? Lima tahun? Atau hilang sejak malam pertama?
“Kenapa Ibu dan Ayah bercerai?”
“Demi kebaikan kita semua, Biana. Nanti kamu akan mengerti.”
Tidak. Biana tidak mengerti. Jika ia dihadirkan dengan cinta, kenapa sekarang ia merasa terbuang dengan alasan ‘demi kebaikan’? Lalu cinta yang dulu ada itu tidak baik? Jika memang ‘demi kebaikan’, mengapa hidup Biana sekarang tidak lebih baik?
Biana mencari-cari ke dalam hatinya, semua ini terasa salah. Kini ia tidak mudah bahagia, tidak mudah cemburu, sedih, kecewa, marah, bahkan ia tidak mudah berharap. Harapan tertinggi pada orang tuanya sudah pupus sejak mereka berpisah. Hatinya tertutup. Berbagai analogi ia gunakan untuk bisa memunculkan emosi, tapi yang ada adalah perasaan bodoh dan tidak rasional. Ia tidak mengerti bagaimana seharusnya mencintai dan dicintai, bahkan oleh orang tuanya sendiri.
Angin di sore ini cukup riuh. Rambut Biana berlarian, poninya berantakan. Senja sudah hampir menghilang. Dinginnya mulai menusuk tulang. Ponsel Biana berdering lagi. Ibu.
“Halo. Ya, Bu?”
“Biana, kamu sibuk sekali ya sampai ndak ngangkat telpon? “
“Iya. Sibuk. Kenapa, Bu?”
“Biana, ini kabar baik. Baik sekali. Kamu harus kasih Ibu selamat.”
“Ada apa, Bu?”
“Ah, ya. Sebenarnya selamat buat kamu juga. Kamu akan jadi kakak! Dan bulan depan Ibu akan menikah!”
Benarkah cinta itu damai? Jika benar, bagi siapa?
Biarkan cinta hiasi dunia, selalu menerangi hati dan jalan. Biarkan cinta selalu memberi kedamaian bagi jiwa kita.
[Cinta Hiasi Dunia - Base Jam]
Probolinggo, September 1st 2012
ditulis @noichil dalam http://noichil.tumblr.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment