Monday, September 3, 2012
Patah Hati
Malam berganti menjadi secercah terang yang ditengokkan pagi.
Seharusnya malam masih sepi. Bahkan bintang pun belum mau beranjak dari tahta kecilnya di langit. Tapi ternyata tidak.
Jeritanku menggema ke dinding-dinding putih yang mengelilingi tubuhku. Itu aku, yang memecah heningnya malam. Mimpi buruk sialan.
Aku bermimpi engkau meninggalkanku. Selalu mimpi yang itu-itu saja, menghantuiku yang bergumul rapat di bawah wol coklat. Kamu berbalik dan melangkah menjauh, tidak repot-repot bahkan untuk melirik ke belakang.
Aku gemetar. Kuraba wajahmu yang tersenyum dalam foto di bawah bantalku. Memalukan, wahai lelaki, gumam otakku. Engkau tak sepantasnya gemetar atas nama seorang perempuan.
“Oh, diam. Diam. Diam!”
Aku menangisimu di hari keempat puluh satu mimpi buruk itu datang kepadaku.
***
“He’s so pathetic, Len.”
“Dia sayang lo, Rin. Banget. Mungkin karena itulah dia jadi begitu.”
“Tapi nggak macam itu juga. Ngelarang gue ini, itu. Maksa jemput gue ke sana, ke situ. Posesif.”
“Hmm.. mungkin gue ga begitu ngerti yaa, karena bukan gue yang ngalamin. Tapi coba liat sisi bagusnya aja… Dia yang paling ngedukung lo naik jabatan, kan? Dia yang paling support lo. Lo sendiri yang bilang begitu dulu. He’s just worried, dear. About you.”
“Atau sekedar takut kehilangan pacar yang seorang manajer.”
***
Malam terakhir aku melihatmu, wanitaku, adalah malam di mana hujan menjumpai bumi.
Makan malam. Di tempatku. Kamu duduk di seberangku, prestasi yang kuraih setelah seharian membujukmu. Kita begitu diam dan kaku. Aku tidak ingat sejak kapan diam ini menyelusup di tengah-tengah kita. Seperti di sinetron-sinetron yang klise, sendok dan garpu kita adalah satu-satunya yang berani berkomunikasi.
“Minggu depan aku berangkat ke London.” Suaramu menghentakkanku.
Aku mendongak perlahan. Mencoba membaca wajahmu.
“London..?”
“Iya, London. Seluruh direksi ada pertemuan dengan klien di sana.”
“Oh…” Ingin aku mengingatkanmu bahwa akhir minggu depan aku ingin membawamu kepada ibuku, memperkenalkan kalian berdua, namun aku ragu.
“Nggak usah antar aku ke airport, ya. Kantor udah ada transport sendiri.”
“Iya…” Kutunjukkan senyum terbaikku. “Ada yang kamu perlu? Aku punya kamera saku yang baru itu, lho, yang dapet dari kantor. Kan kameramu rusak…”
“Nggak papa, nggak usah.”
Aku masih mempertahankan senyumku. “Ya udah, hati-hati ya, di sana. Jangan kecapean. I can’t wait to see you again. And have fun!”
Kamu memutuskan untuk kembali membiarkan suara sendok garpumu yang mengambil alih. Dan senyumku masih terkembang, pada puncak kepalamu yang menolak menatapku.
Aku mencintaimu, sayang. Tidakkah kamu tahu itu?
***
Sudah hari keempat puluh dua. Aku tahu ini harus diakhiri. Napasku semakin tercekat dari malam ke malam. Cukup sudah; hatiku tak kuat lagi.
Malam ini aku menyeret kakiku menuju rumahmu. Di depan pintumu aku berhenti. Menghitung seratus kali. Menaikkan tangan untuk mengetuk, lalu menurunkannya lagi.
Pengecut. Katamu kauingin kembali?
Sebelum aku benar-benar mengetuk, pintumu terbuka sendiri. Kamu berdiri di baliknya. Gaun malam favoritku yang merah merona membalut tubuhmu.
Nyaris aku tersenyum bahagia. Kupikir kamu berdandan untukku.
Kamu tak mengucapkan apapun. Dahimu berkerut. Aku tergagap.
“Hai.. Ven.”
“Ngapain kamu ke sini?”
“Aku… cuma mau ketemu sebentar. Lihat gimana kabarmu…”
“You know I’m fine. Ngapain kamu ke sini?”
Ingin kutumpahkan semuanya. Mimpi burukku, jeritan-jeritanku, fotomu di bawah bantalku, semuanya. Namun yang kuucap hanya, “Aku masih sayang kamu, Ven.”
Ya. Aku masih sayang kamu.
Aku berharap kamu menjawab. Apapun. Dan doaku dikabulkan. Jawabanmu adalah kerutan dahi, lalu dorongan pada bilah pintu yang perlahan menutup.
“We’re done, Dani. We’re done.”
Sebelum kilasmu benar-benar hilang dari hadapanku, sekilas aku melihat sosok seorang pria berjalan, menghampirimu.
***
Pagi itu, seisi kompleks terbangun dengan kaget. Lingkungan mereka penuh dengan polisi dan paramedis. Udara diterangi sinar lampu ambulans yang menyilaukan.
Tubuh seorang pria ditemukan di ujung sebuah jalan. Pria itu masih muda dan kuat. Dicekik, bisik salah satu warga. Tapi tak ada bekas luka apapun di tubuhnya. Diracun, kata yang lain. Tapi ia tampak seolah sedang tidur saja. Lalu apa? Siapa dia?
Beberapa hari, berita penemuan tubuh itu menjadi bahan pembicaraan. Sampai suatu hari, seorang warga yang bekerja di rumah sakit setempat membawa kabar aneh. Kabar tak masuk akal.
Otopsi sudah dilakukan. Tak ada apapun yang ditemukan pada pemeriksaan luar. Tak ada tanda-tanda kekerasan, tak ada jejak apapun. Namun, ketika tim forensik membuka tubuhnya, mereka tercengang.
Di balik tulang dadanya yang putih, jantungnya terbelah dua.
"Cause when a heart breaks, no, it don't break even..."
Breakeven - The Script
ditulis @siputriwidi dalam http://putriwidisaraswati.blogspot.com
Labels:
Hari #2,
The Script
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment