Aku terbangun lalu mengucek mata yang masih setengah mengantuk, saat mendengar suara berisik dari samping. Kamu terlihat sibuk mengenakan pakaianmu, terlalu terburu-buru. Lalu setelahnya langsung meraih kotak rokok serta dompet dan ponsel, lalu bersiap pergi begitu saja, jika aku tidak menegur.
“Mau ke mana?”
“Pulang.” Kamu tidak seperti biasanya. Bahkan tadi malam kamu masih tersenyum dan memelukku begitu lembut.
“Nggak sarapan dulu? Kok buru-buru?” Aku mencoba tenang, meski banyak pertanyaan yang muncul dalam kepala, memburu untuk di jawab.
Kamu menggeleng cepat, “barusan Gadis menelpon. Sashi sakit, demamnya belum turun dari tadi malam. Aku harus bawa dia ke dokter.”
Aku mengerutkan kening, sejak kapan kamu peduli pada kata-kata Gadis? Ya, ya.. Aku tahu bahwa dia istrimu. Tapi bukankah selama ini kamu muak padanya? Katamu dia selalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri, bahkan terkadang lembur hingga dinihari dan tidak pernah ada ketika anaknya menunggu dongeng malam. Bukankah kamu sudah lebih dari muak, hingga mencari wanita lain di luar rumah untuk tempat pulang?
“Sejak kapan kamu jadi peduli sama telepon Gadis?”
“Sashi itu anakku, dia butuh aku sekarang, Clara. Tolong jangan dibahas. I’ll call you later.”
“Tapi aku masih kangen..” Aku beringsut mendekat ke arahmu, mencoba menahan langkahmu walau beberapa menit.
Kamu tidak menjawab lagi, hanya berdecak kesal dan berlalu dari kamar apartemenku begitu saja. Ini bahkan masih pukul lima subuh. Aku menghela nafas, lalu kembali menjatuhkan tubuhku yang tidak dibalut sehelai benang pun ke atas kasur.
Menangis karna kau tlah pergi
Terluka karna kau telah menjauh
Aku minta dengan sepenuh hati
Dengarkanlah aku memanggilmu
Ingin kau kembali
***
Jadi aku memutuskan mengikuti mobilmu beberapa meter di belakang dan mendapati kamu berhenti sebentar di depan rumah. Setelah Gadis dan Sashi masuk, mobilmu kembali melaju entah ke mana. Aku berusaha menjaga jarak dan dengan sengaja meminjam mobil teman apartemenku agar kamu tidak mengenalinya. Lima belas menit kemudian, mobilmu berhenti di depan sebuah taman kanak-kanak. Sashi berlari turun dari dalam mobil hingga Gadis kesulitan mengejarnya.
Aku membenarkan pashmina biru laut motif bunga yang aku kenakan pagi itu, sebelum akhirnya mengenakan kacamata hitam dan ikut turun, berusaha menjaga jarak beberapa meter di belakang kalian.
“Sashi, jangan lari-lari kayak tadi lagi. Nanti ketabrak lho..” Gadis membenarkan kuciran rambut gadis kecil itu.
Sashi tertawa, “tadi ngejar Dita, Ma. Tapi dia keburu masuk, deh. Hehe.”
“Ma, susu sama kotak bekalnya udah di tas?” kali ini suaramu yang terdengar, Gadis hanya mengangguk. Ada sedikit iri terlintas di hatiku. Seharusnya kita juga bisa seperti itu tiap pagi. Mengantarkan anak bersama-sama, melepas mereka masuk ke gedung sekolah dengan senyum hangat dan lambaian tangan.
“Sashi, jangan nakal, ya.” Ucap Gadis yang berdiri di sampingmu.
Anakmu mengangguk, “iya Ma. Nanti Papa sama Mama jemput Sashi, kan?”
“Ng… Iya.. Iya, nanti Mama sama Papa jemput Sashi. Pulang sekolah jangan ke mana-mana. Kalo kami telat, Sashi nunggu sama Bu Guru. Ya?” Istrimu sepertinya setengah tidak rela mengorbankan jam kantornya. Biasanya kamu pun tidak, hanya ada supir dan baby sitter yang setia mengantarkan anak itu ke mana-mana. Tapi kenapa hari ini kamu diam saja?!
“Horeee! Sashi masuk dulu, ya..” gadis kecil itu mencium pipi kalian dengan bahagia, sebelum akhirnya berlari masuk menyusul langkah teman-temannya yang lain.
“Kamu yakin mau ikut jemput?” Gadis menegurmu yang masih diam memperhatikan Sashi dari kejauhan. Kamu mengangguk lalu tersenyum tipis, “aku sudah sering mengecewakan dia, Dis. Mulai sekarang aku ingin dia bahagia.”
“Tapi bukannya sering ada meeting..”
“Nanti bisa aku cancel.” Kamu memotong kalimat istrimu, lalu merangkul dan mengajaknya kembali menuju mobil.
Saat itu juga aku tersadar, ada yang berubah dari dirimu.
Aku tersadar, senyum bahagia gadis kecil itu ternyata sangat berarti bagimu, meski puluhan kali kamu mengatakan bahwa kamu sudah muak dengan ketidakpedulian ibunya. Bahkan mungkin tangisan gadis kecil itu juga yang sudah membuatmu pergi meninggalkanku.
Tanganku mengepal kuat, harusnya aku langsung menghampiri kalian berdua pagi ini. Tapi tak kulakukan. Aku punya cara lain yang lebih baik.
***
“Tante siapa?” bocah kecil itu agak kaget melihat langkahku yang mendekatinya saat jam pulang sekolah. Siang itu ia tengah duduk sendirian di taman depan sekolah, dan sepertinya tidak ada guru yang mengawasi.
“Tante dateng untuk jemput Sashi,” aku berusaha tersenyum semanis mungkin, lalu duduk di sampingnya.
“Kata Mama, nggak boleh pergi sama orang yang nggak dikenal. Sashi nggak kenal Tante..”
“Tapi Tante kenal sama Sashi. Tadi Papa Sashi minta tolong Tante untuk jemput, katanya dia sedang sibuk. Ada kerjaan.” Ujarku sembari mengarang alasan. Aku lalu menunjukkan salah satu foto kita dari ponsel pintar, “nih, Tante sahabatnya Papa Sashi..”
Mata gadis itu membulat, raut wajahnya berubah kecewa, “katanya Papa mau jemput sama Mama..”
“Papa Mama sibuk kerja, sayang. Kan mereka kerja buat Sashi juga.. Kita pulang, yuk?”
Anakmu sempat terlihat ragu, tapi sepertinya foto barusan berhasil meyakinkannya. Ia lalu mengulurkan tangan. Aku menuntunnya masuk ke mobil dengan mudah, tidak ada guru atau satpam yang curiga.
Setengah jam kemudian gadis mungil itu sudah berada di apartemenku. Sengaja kupesankan es krim dan pizza agar ia merasa nyaman. Kini wajahnya sudah belepotan es krim cokelat, perutnya pun pasti sudah kenyang. Aku hanya perlu menunggunya tertidur sebelum menelponmu, lelakiku..
“Tante, warna jilbabnya bagus. Mirip jilbab Tante Stella, temennya Mama..” Ia masih mengoceh di tengah kunyahan pizza.
Aku memberinya senyum tipis, “makasih, Sashi..”
“Papa kok nggak dateng jemput Sashi?”
“Bentar lagi Papa dateng. Tapi kalo Sashi ngantuk, tidur di sini dulu aja.” Aku membelai kepalanya.
Gadis kecilmu ternyata penurut, sayang. Ia meletakkan mangkuk es krimnya begitu saja, lalu merebahkan tubuh di sofa. Tak lama kemudian, ia sudah berlayar ke alam mimpi. Aku menaikkan alis, meraih ponsel dan mendial nomermu.
“Ada apa, Clara? Aku sedang sibuk sekarang.” Kudengar suaramu penuh rasa cemas.
“Sibuk kenapa?”
“Sashi mendadak hilang dari sekolahnya. Tadi aku jemput ke sana, tapi dia nggak ada.”
“Dia baik-baik aja. By the way, kamu nggak pernah keliatan khawatir seperti hari ini, Bumi.”
“Clara! Sashi sama kamu? Ngapain kamu bawa dia?!” Suaramu berubah panik.
“Sashi sedang tidur, di apartemenku. Kamu bisa jemput dia ke sini, tapi mungkin lebih baik menunggunya bangun sendiri.”
Aku lalu menekan tombol ‘end call’ dengan puas, tanpa memberimu kesempatan untuk membantah lagi.
***
Sifat tidak sabaranmu sepertinya kelamaan bisa berubah menjadi kebiasaan buruk, sayang. Setelah di malam-malam sebelumnya kamu selalu tidak sabar ketika mengulum bibirku dalam ciuman, sore ini kamu kembali tidak sabar ketika mengetuk pintu. Ketukan keras terdengar berkali-kali, hingga anakmu tersadar dari tidurnya.
“Mana Sashi?” Kamu memburuku tepat ketika pintu terbuka.
“Papaaaa!” gadis kecil itu berlari ke arahmu bahkan sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun.
“Sashi, kamu bikin Papa khawatir, sayang..” Perhatianmu padanya membuatku berdecak kagum. Gadis kecil ini sudah berhasil membuatku iri berkali-kali. Istrimu memang melahirkan anak yang berbakat, mampu merebut ayahnya kembali setelah berkali-kali meniduri wanita lain di luar rumah. Juga mampu membuat ayahnya rela mencampakkanku hanya demi seutas senyum.
“Sashi mau pulang..” ia merajuk manja. Kamu mengacak-ngacak rambutnya, “iya, kita pulang. Sashi tunggu di luar sebentar ya. Papa mau bicara sama Tante Clara.”
Kulihat Sashi meraih ransel kecilnya, mengucapkan terima kasih sambil memamerkan senyum dan berlalu melewati pintu apartemen. Aku menutup pintu dengan gerakan cepat, lalu mengunci bibirmu sebelum kamu mampu berkata-kata.
“Clara! Kamu gila!” hanya umpatan yang kudapatkan setelah kamu melepaskan ciumanku dengan kasar.
“Gila kenapa?! Aku nggak akan bunuh dia!” Bentakku tak kalah keras. Peduli setan jika di luar sana anakmu mendengar pertengkaran kita.
“Untuk apa kamu jemput Sashi ke sekolah, hah?!”
“Aku cuma penasaran,” ucapku sambil mendekat dan menatap dua bola matamu dalam-dalam, “gadis kecil seperti apa yang bisa bikin kamu berpaling.”
“Kamu nggak waras. Kalau Gadis sampe tahu..”
“Memang kenapa kalau dia tahu?! Bukannya kamu sudah muak sama dia? Bukannya kamu udah nggak cinta?!”
“Aku nggak tega liat Sashi sedih.” Kamu melemah, sayang. Tubuhmu terduduk perlahan di sofa sambil terus bercerita bahwa anakmu sering sakit-sakitan belakangan ini. Kamu juga menceritakan pertemuanmu dengan seorang psikolog anak yang menyarankan kalian untuk lebih perhatian padanya.
Damn!
“Kamu nggak boleh pergi..”
Kamu bangkit dari sofa dan menepuk pundakku pelan, “maaf, Clara. Aku minta maaf untuk setahun ini. Tapi aku nggak bisa.. bener-bener nggak bisa. Sashi dan Gadis lebih butuh aku..”
Tubuhmu berbalik dan bersiap keluar apartemen, tapi terhenti oleh teriakanku. “Kamu.. nggak boleh pergi!!” Dan sebuah tembakan dari pistol yang kuraih secepat kilat. Tepat mengenai kepalamu.
Kamu tersungkur jatuh, berlumur darah. Meninggalkan hening yang penuh sesak di dalam apartemen. Juga tangisanku yang tanpa suara.
Perlahan aku mengarahkan pistol ke kepalaku sendiri. Lalu menembakkannya dalam hitungan ketiga.
Tak ada lagi selain dirimu yang aku cari
Cinta sejati yang slalu kau beri
Ku hanya ingin ini tentang dirimu dan diriku
Sampai mati
Kamu cinta pertamaku, tapi tidak bisa kumiliki. Jika aku tidak bisa, maka tak ada seorang pun yang boleh. Termasuk istrimu sendiri.
Jadi kuputuskan, lebih baik kita pergi saja selamanya. Ya, kita.. Aku, kamu, dan janin yang baru dua minggu menumpang hidup di tubuhku.
***
Ku ingin kau percaya..
Akan kuserahkan semua…
***
*) Diinspirasi dari lagu Tak Ada Lagi - Garasi
Ditulis @PPutriNL dalam http://petronelaputri.wordpress.com
No comments:
Post a Comment