Tuesday, September 18, 2012

Picture of Us


Kutatap lekat layar di depanku. Sebuah surat elektronik melayang untukku, tugas liputan yang harus aku tunaikan minggu ini. Sebuah wawancara dengan seseorang, yang sontak membangkitkan de ja vu di setiap inci tubuhku. Sebuah wawancara yang dulu pernah aku lakukan dengan tokoh yang sama, yang menjadi awal timbulnya rasa.

Aku akan kembali bertemu dengan cinta pertama, yang satu dekade lamanya lenyap dari jangkauanku. Sebuah sosok yang selama ini tersimpan manis di dalam dompet dan hatiku.

Kala itu aku duduk di kelas 3 SMP, usia 15 tahun, pertama kalinya begitu bersemangat mengejar mimpiku, menjalankan tapak pertama menuju cita-citaku menjadi seorang jurnalis. Sebagai anggota redaksi majalah sekolah, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk menulis artikel kelas wahid, yaitu mewawancarai seorang tokoh remaja yang sedang naik daun saat itu. Seorang penulis muda yang bukunya berhasil menembus penerbit luar negeri, dengan sebuah cerita fantasi yang  menyedot perhatian khalayak begitu hebatnya.

Dan…. Manusia istimewa itu bersekolah di tempat yang sama denganku.

Sekolahku memang gabungan berbagai tingkatan, mulai TK hingga SMA. Terkenal sebagai salah satu sekolah ternama di Ibukota, melahirkan beberapa tokoh berprestasi. Namun, baru dia yang berhasil mendunia. Seorang siswa kelas 2 SMA dengan sel-sel brilian mengisi benaknya.

Hugo Rolando. Pemikir dan pemimpin bijaksana. Pesona kesederhanaan, di balik senyum manis dan kepribadian hangat. Kombinasi maut untuk memikat seorang gadis naif yang belum pernah merasakan gelitik kupu-kupu di atas perutnya.

Singkat cerita, wawancara yang dijadwalkan berlangsung 15 menit, melebar menjadi percakapan 2 jam yang berlanjut dengan sebuah janji menikmati es krim di sebuah kedai mungil tak jauh dari sekolah. Rupanya kegemaran kami akan melahap berbagai pustaka, jadi semacam jembatan tak kasat mata. Satu janji berlanjut dengan janji-janji berikutnya, diselingi beberapa kunjungan ke toko buku dan menonton film-film tak biasa.

Sayang, semuanya terhenti begitu saja. Hugo harus pindah ke luar negeri. Begitu mendadak dan misterius. Kabar burung berkata, orang tuanya berpisah dan ia harus memulai hidup baru bersama ayahnya yang berkebangsaan Jerman. Kenangan indah terakhir yang berhasil kami abadikan, tersimpan dalam selembar foto kami berdua. Foto yang akhirnya menjadi harta berharga yang kuselipkan dalam-dalam di dalam dompetku. Berdekatan, terlihat begitu bahagia, jelas ada cinta di sana. Tak ada satu hari pun terlewat dalam hidupku setelah itu untuk memandang foto itu sebelum tidur.

Hingga hari bersejarah ini datang, fatamorgana raib bersama hadirnya nyata. Tanganku bisa bersentuhan kembali dengan tangannya. Lengan kekarnya begitu hangat memelukku, dengan percikan rindu menyatu.

Hugo, yang kini menetap di Inggris, ternyata makin menajamkan keterampilan menulisnya. Dengan sebuah nama pena, ia berada di balik terbitnya beberapa novel ternama. Herannya, tak satupun novel itu pernah kubaca, seakan tertutup dari radarku demi munculnya kejutan hari ini.

Salah satu karyanya, tentang kisah cinta sepasang kekasih yang begitu menggemari es krim coklat stroberi. Mengingatkanku pada janji-janji temu yang kami sering lakukan dulu.  Kini wawancara pun dilakukan di sebuah kedai es krim yang begitu kental dengan suasana tempo doeloe, seakan Hugo ingin membangkitkan kembali kenangan itu.

Diam-diam aku mencoba mengatur detak dan degup yang menggila, atas nama profesionalisme. Kutunaikan dahulu tugasku, bertanya sesuai informasi yang aku butuhkan untuk artikel nanti. Hugo tampak menyadari hal ini. Diberikannya jawaban-jawaban yang begitu lugas dan tepat sasaran. Sepertinya ia tak ingin menyulitkan pekerjaanku.

Tiba saatnya aku mengakhiri wawancara, tiba-tiba tembok itu mulai runtuh sedikit demi sedikit. Mulailah senda gurau dilontarkan demi mencairkan suasana. Topik pribadi mulai diluncurkan, tentang bagaimana hidup berputar di antara kami sepuluh tahun belakangan ini. Ada beberapa hal yang membuatku terhenyak.

Hugo sempat depresi, perpisahan orang tuanya mengubahnya menjadi sosok yang impulsif. Dari segala kenekatannya, berujung pada sebuah pernikahan dini. Pergaulan bebas membawanya pada sebuah kenyataan, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya pada seorang gadis yang ditidurinya. Hugo menjadi seorang ayah di usia belia.

Kondisi mental yang tak stabil di antara keduanya, membuat rumah tangga Hugo hanya bertahan seumur jagung. Kematian sang ayah membuka mata Hugo, bahwa hidup begitu singkat untuk disia-siakan. Ia pun mencoba bangkit kembali, dengan menumpahkan aksara-aksara dalam lembaran, sebuah bakat luar biasa yang akhirnya menyelamatkan hidupnya.

Dan, sekarang, di sinilah ia berada. Mencoba meraih apa yang dulu lepas dari pelukannya. Memperbaiki jembatan yang terputus tiba-tiba. Merajut tali yang seharusnya terikat erat sejak dulu kala.

Aku ternganga. Ini masih pria yang sama, yang merebut segala kesadaran dalam diriku. Pria yang membuat darahku menggelegak oleh debaran jantung yang menggila. Dia, cinta pertamaku.

Satu gerakan tak terduga terjadi berikutnya. Selembar foto diletakkan Hugo di atas meja. Dengan mata terpicing, aku sudah tahu apa yang terlukis di sana. Foto kenangan terakhir kami berdua. Raut bahagia yang kini tergambar serupa di wajah kami berdua.

It’s US now. It will always be, like it should be.

Ah, rupanya malam ini aku tak perlu lagi menatap lembaran foto itu dengan nestapa. Usai sudah masa kelamku, penantian dengan harapan tak pasti, kini tersenyum sembari membawa akhir bahagia.

Semangkuk es krim coklat stroberi menjadi saksi dimulainya sebuah bab cerita baru, sekuel kisah yang dulu terputus oleh takdir, bersatu kembali berkat keajaiban dari langit.


Uu … di hati ini cuma ada dirimu
Uu … di dalam mimpi pasti ada bayangmu
Uu … disini slalu masih memikirkanmu
Uu … disini aku gelisah ingin tahu


Masihkah … diriku di dalam hatimu

Masihkah … potretku di tembok kamarmu
Masihkah … bayangku di dalam mimpimu
Masihkah … fotoku di dalam dompetmu 

( Foto dalam Dompetmu - SLANK)


Ditulis @retro_neko dalam http://iammrsred.tumblr.com

No comments:

Post a Comment