Thursday, September 13, 2012

Dongeng Sayap Kertas


Jangan pernah terbang dekat-dekat Manusia di malam hari Senin ketujuh belas setelah panen raya.

Larangan itu telah disampaikan turun temurun oleh nenek moyang kami pada anak cucunya entah sejak kapan. Kabarnya, sengaja maupun tidak, jika seorang saja dari kami melanggarnya, maka seluruh bangsa kami, Chartala (peri sayap kertas), akan menerima kemalangan yang luar biasa. Dikisahkan pula, dahulu, seorang pemuda Chartala pernah melanggarnya tanpa bermaksud. Pada malam keramat, ia berniat baik ingin menunjukkan jalan kepada seorang Manusia yang sepertinya sedang tersesat di Belantara Vihst. Seminggu setelahnya, banjir besar dari luapan Sungai Ilagrim menenggelamkan separuh wilayah desa kami.

Namun bagaimana, aku tetap saja benci pada pantangan tadi. Pasalnya, malam Senin ketujuh belas setelah panen raya adalah puncak perayaan Festival Suci Cornus, saat dimana bangsa Manusia tumpah ruah di Lembah Chari. Mereka berdandan cantik dan gagah, mengenakan pakaian-pakaian terbaiknya yang berbahan sutera, kemudian bernyanyi dan menari sejak pagi hingga dini hari. Hidangan-hidangan penggugah selera pun tersedia seolah tiada habisnya. Namun, yang paling membuatku geram pada tabu yang harus kupatuhi itu adalah kenyataan bahwa pada setiap Festival Suci Cornus, Puteri Szivárvány hadir di sana. Lebih dari itu, dia lah yang selalu menyanyikan Elska Melodia, lagu paling indah di seluruh Svarga, yang akan menjadi penutup keriaan malam pesta.

Kecantikan Puteri Szivárvány termasyhur di seluruh jagat Svarga. Semua pria dari berbagai bangsa, seolah tak pernah habis membicarakannya. Aku pernah mendengar sendiri dari mulut Ednosz, seorang ksatria bangsa Strellac (pemanah bintang), tentang keanggunan maha hebat yang dilihatnya saat menghadiri jamuan kerajaan. Sang puteri ia lukiskan demikian; rambutnya yang keperakan dan berkilauan ketika terpapar sinar matahari, dari tubuhnya tercium aroma yang membuat siapapun enggan menjauh darinya, serta suaranya sekali saja terdengar seolah tak henti berdengung merdu di telinga. Sejak saat itu, kuputuskan untuk bisa menemui Szivárvány, sekali saja pun tak apa.

“Senandung lagu cinta tercipta untukmu.
Yang getarkan jiwa ini lumpuhkan jantungku.
Kecantikan sempurna yang tak terlukiskan.
Bahagiakan diri ini saat bersamamu.”


***

Usaha pertama untuk menikmati langsung kecantikan sang puteri kulakukan tepat saat usiaku menginjak delapan belas tahun, ketika sayap kertasku sudah cukup kuat untuk membawaku terbang ke Istana Myrkur. Sayangnya aku tak bisa menembus penjagaan istana. Entah apa yang mereka sembunyikan di baliknya sehingga tak ada seorangpun yang boleh memasukinya selain keluarga raja dan beberapa orang tertentu yang diundang hanya saat-saat perjamuan maupun pesta. Percobaan pertamaku berujung sia-sia, ditambah hampa yang turut serta ketika setelahnya kuketahui juga bahwa sang puteri tidak pernah keluar dari istana selain pada malam raya Festival Suci Cornus.

Sejak saat itu, kegusaranku pada larangan sakral bangsaku semakin menjadi-jadi. Tak kurang dari tiga kali aku berupaya melanggarnya. Dan di tahun ini, akan menjadi percobaanku yang kelima, tepat pada Festival Suci Cornus ke-lima ratus. Segala persiapan telah kulakukan dengan sempurna. Termasuk mengambil jalan memutar untuk keluar dari desa melalui Belantara Vihst agar usahaku tak lagi bisa dicegah oleh para Chartala tua seperti percobaan-percobaanku sebelumnya. Sayap kertasku pun kini sudah semakin kuat, berkat usahaku melatihnya terbang, terutama dengan mengasahnya melayang saat langit sudah kelam.

***

Matahari hampir menyembunyikan diri ketika aku keluar dari cubila, rumah tinggal para Chartala. Aku mengendap dan bersembunyi diantara semak sebelum terbang rendah untuk masuk ke Bealantara Vihst yang kelam karena pohon-pohonnya tumbuh rapat-rapat dan tinggi menjulang. Namun, gulita tak lagi menjadi penghalangku semenjak aku menguasai kepak cahaya. Dari setiap hentakan sayap kertasku, akan terbentuk terang, yang walapun lemah tetapi dapat membantuku keluar dari kegelapan. Selepas dari kekelaman hutan, aku terbang secepatnya untuk menghindari Chartala yang barangkali mengejarku.

Aku sampai di Lembah Chari ketika bintang-bintang mulai bermunculan. Malam ini juga purnama, namun terangnya diredupkan oleh cahaya-cahaya warna-warni yang berkelap-kelip dari tengah lembah yang landai, tempat keriuhan Festival Suci Cortus berpusat. Aku mengamati dari kejauhan, berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. Seperti apa yang pernah kudengar, perayaan ini begitu gempita. Tetapi selain bangsa Manusia, ternyata banyak juga orang-orang dari bangsa lain yang ikut meramaikan festival ini.

Perlahan kurapikan sayap kertasku, kemudian berjalan mendekat menuju pusat kegembiraan. Dengan melipat seksama sayapku, kuharap orang-orang tak akan mengira aku seorang Chartala. Aku berjalan hati-hati sekali, kadang-kadang kutundukkan kepalaku ketika beradu tatap dengan bangsa Manusia. Pusat kemeriahan malam ini ternyata sebuah area lingkaran yang cukup luas yang tanahnya lebih tinggi dari daerah sekelilingnya. Di tengahnya, sepasang paruh baya, yang dari pakaiannya dapat diterka bahwa mereka adalah Raja dan Ratu bangsa Manusia, duduk di singgasana. Sementara di sampingnya, seorang gadis Muda tampak memancarkan keanggunannya melalui senyum dan tatapannya.

“Itu Szivárvány! Tak salah lagi,” hatiku meneriakkan kegembiraannya.

Sebelum sempat menikmati keindahan Puteri Szivárvány lebih lama, aku dikagetkan dua lengan besar yang menggamit kedua sayap kertasku. Yang kuingat kemudian adalah salah satunya mencoba merobek sayapku dengan menariknya kuat-kuat. Setelah itu semua mengabur, dan rasa yang tersisa di tubuhku hanyalah panas.

***

Saat tersadar dan kubuka mataku, yang kulihat di sekelilingku hanyalah abu kehitaman dari sisa-sisa pembakaran. Entah apa yang terjadi semalam. Kusadari bahwa aku masih berada di tengah Lembah Chira. Namun, tak kulihat lagi penanda bahwa di sini sebelumnya telah berlangsung perayaan besar. Perlahan aku bangkit. Kurasakan nyeri yang amat sangat di punggungku, juga rasa panas yang terlalu.

Sayapku terbakar.

Kukepakkan perlahan sayapku yang kini menyala terang. Panasnya perlahan mereda. Aku mulai nyaman dengan api-api di sayapku. Dari ketinggian, samar kulihat sesosok makhluk yang tergeletak lemah tak berdaya di utara Lembah Chari. Bergegas kuterbangkan tubuhku menujunya. Semakin dekat jarakku dengannya, kurasakan lagi panas mendera di punggungku. Api-api di sayapku bergelora. Namun, kupaksakan untuk terus terbang menujunya.

Aku kini berdiri di depannya, dengan nyala sepanas neraka di kedua sayapku. Sosok di hadapanku kini kukenali. Ia Szivárvány. Aku harus menyadarkannya. Baru saja kalimat tersebut kuucapkan dalam hati, sebelum aku sempat berbuat apa-apa lagi, Szivárvány membuka mata. Tampak kekagetan yang luar biasa di kedua matanya yang hijau zamrud.

“Kita tak seharusnya sedekat ini,” ujarnya segera. Ia lalu bangkit dan menjauhkan diri dariku sebisanya. “Tak tahukah kamu kedekatan kita akan berujung petaka?” Kali ini ia mengatakannya dengan berteriak.

Aku yang tak mengerti sedikitpun apa yang dibicarakan Szivárvány, mencoba mencerna setiap kata yang terlontar dari mulutnya. Ia bercerita tentang legenda kebakaran dahsyat yang menghanguskan seperlima wilayah Svarga. Darinya kuketahui bahwa malapetaka itu terjadi karena murka Homignis, pria sakti dari bangsa Chartala, yang cintanya pada Myriad, seorang gadis bangsa Manusia, dihalangi oleh tetua kedua bangsa. Sejak saat itu, di setiap generasi Chartala, lahir seorang Homignis yang bila bertemu dengan seorang Myriad, sayap kertasnya akan terbakar oleh api-api kemurkaan.

Ah.. Aku Homignis. Ia Myriad.

“Jurang yang dalam pisahkan kita,
dan tak mungkin untuk dilalui.
Biarlah lagu cinta ini,
terdengar dalam kalbu.”


Setelah ia selesai bercerita, tanpa banyak bicara, kusegerakan pamit kepadanya. Aku terbang dengan sayap terbakar. Namun, yang kini hangus adalah hatiku. []


*)Diinspirasi dari lagu Senandung Lagu Cinta - Ada Band

Ditulis oleh @__adityan dalam http://deetzy.tumblr.com

1 comment: