Saturday, September 15, 2012

Dua Kali


Aku termangu menatap keluar jendela. Mendung. Tanpa sadar aku jadi tersenyum sendiri. Saat mendung inilah di mana kamu mulai apa-yang-biasa-disebut rempong. Buru-buru mengenakan jaket, sibuk membuat dirimu sehangat mungkin. “Kalo engga nanti kena flu. Buat orang biasa kena flu mah kecil. Buat aku, flu ntar bisa menjalar ke penyakit-penyakit laennya. Belom entar kalo asma kambuh. Kedinginan kan salah satu pemicu asma..” begitu katamu waktu pertama kali aku terheran-heran melihat tingkahmu tiap hujan akan turun.Tanpa sadar aku jadi tersenyum sendiri. Tanganku sibuk mengaduk minuman di hadapanku. Susu dingin bertabur oreo itu terus berputar-putar, sama seperti pikiranku saat ini. Aku masih terus mengaduk minumanku dengan pikiran gamang saat speaker café memutar lagu itu…



“You’re the sky that I feel through

And I remember the view whenever I’m holding you

The sun hung from a string

Looking down on the world as it warms over everything…



Ingatanku melayang. 4 tahun yang lalu kita pertama bertemu. Rasa itu sudah tumbuh dari sejak kita saling bertatapan dan berkenalan. Aku sudah mengagumimu. Kamu yang cerdas, kamu yang jadi idola, kamu yang sedap dipandang, kamu yang…ah..segala yang baik milikmu. Semua berjalan seperti seharusnya. Kita mulai sering jalan bersama sampai akhirnya kamu menyatakan cinta. Pada saat itu, bungah tidak lagi bisa diungkapkan. Kita yang bersama, kita yang saling cinta, kita yang segala. Mana tahu 4 tahun kemudian akan begini jadinya. Tidak. Bila saat itu ada yang mengatakan pada kita apa yang terjadi bertahun-tahun ke depan, aku pasti akan tertawa di wajahnya. Harmonis adalah apa yang orang bilang tentang kita pada saat itu. Bahkan mimi dan mintuna pun pasti iri. Sombong. Kita yang sombong. Merasa tidak ada apapun yang bisa memisahkan kita.



“Chills run down my spine, as our fingers entwine

And your sighs harmonize with mine

Unmistakably I can still feel your heart

Beat fast when you dance with me…



Kita yang merancang masa depan. Seolah masa depan mau dengan mudah dirancang oleh sepasang manusia lugu nan sombong seperti kita. Kita yang merencanakan pernikahan secepatnya. Seolah pelaminan bisa dengan mudah ditaklukkan oleh sepasang manusia yang belum pernah diuji cinta. Tidak, kita belum terjerat permainan takdir. Sampai aku bertemu dengan seseorang. Saat inilah keadaan mulai diluar kontrol. Sebenarnya, apalah orang ini dibanding denganmu. Tapi akal sehat memang telah terbuang keluar jendela. Aku mulai terpikat dengan orang ini, dia yang bahkan tidak kukenal secara menyeluruh. Aku meninggalkanmu. Kamu hancur. Kamu merusak dirimu sendiri setelah kepergianku. Aku tidak peduli. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kita yang membuat iri mimi dan mintuna bisa berakhir seperti ini?

Aku bersenang-senang dengan dia yang baru. Secepat itu aku melupakanmu? Tentu tidak. Di keheningan malam aku masih terbayang parasmu yang bersimbah air mata mengharapku kembali. Akal sehatku mulai muncul, namun saat pagi tiba, nafsuku menendang akal sehat yang mulai datang. Selalu begitu. Sampai kabar kamu sakit menyentak batinku. Aku tinggalkan dia yang sedang menggenggam tanganku di gedung bioskop saat film tengah berlangsung dan langsung lari ke rumah sakit. Ini lebih menampar dari sekadar tangan yang melayang di pipi. Dan tentunya jauh lebih menyakitkan. Seharusnya aku tahu. Seharusnya aku lebih tahu dari siapapun bahwa kamu tidak boleh menyimpan beban berat secara psikis. Fisikmu tidak mampu menanggungnya. Ini salahku.



“We got older and I should have known

(Do you feel alive?)

That I’d feel colder when I walk alone

(Oh, but you’ll survive)

So I may as well ditch my dismay

(Bombs away…bombs away..)



Saat itu aku mulai tawar-menawar dengan Tuhan Sang Pencipta Takdir, “Sembuhkan ia Tuhan, dan aku akan kembali padanya.” Siapa yang mampu menanggung deraan rasa bersalah saat melihat orang yang (pernah) (atau masih?) dicintainya terbaring tidak sadar di ranjang rumah sakit dengan ventilator mesin, infus, dan berbagai selang lain terhunjam ke tubuhnya? Tidak. Cukup bermain-mainnya. Tidak ada orang lain lagi. Cuma kamu. Kamu. Saat kamu membuka mata, aku akan kembali sepenuhnya kepadamu. Persetan dia.



“Circle me and the needle moves gracefully back and forth

If my heart was a compass you’d be north

Risk it all ‘cause I’ll catch you if you fall

Wherever you go

If my heart was a house you’d be home…



Kamu. Kamulah satu-satunya. Seharusnya kusadari itu sedari dulu, tak perlu disadarkan dengan kamu yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ya, kamulah utara jika hatiku diumpamakan sebagai kompas, karena itu berarti hatiku akan selalu mengarah kepadamu sebagai penunjuk jalan. Dimanapun kamu berada, hati kita saling melengkapi.



“It makes me smile because you said it best

I would clearly feel blessed if the sun rose up from the west

Flower balm perfume, all my clothes smell like you

‘Cause your favorite shade is navy blue..



Cerita usai? Tidak. Belum. Setelah beberapa bulan yang tenang, kejadian yang sama terulang lagi. Apa yang terjadi? Takdir masih mau bermain-main. Kamu rupanya masih berkubang dalam kesedihanmu. Siapa yang bisa menahan kamu untuk tidak menyakiti dirimu sendiri lagi? Tidak aku, tidak pula dirimu sendiri. Setelah aku kembali padamu, kamu masih menghukum dirimu sendiri. Ini terlalu berat untukku. Siapa yang bisa tahan melihat orang yang disayangi menyakiti diri sendiri? Apalagi itu semua karena kesalahamu. Aku kembali berpaling. Berpaling untuk melarikan diri dari hubungan yang seperti ini. Aku menemukan seseorang yang mau menampung segala curahan keluh kesahku. Salahkah aku?



“I walk slowly when I’m on my own

(Do you feel alive?)

Yeah, but frankly I still feel alone

(Oh, but you’ll survive)

So I may as well ditch my dismay

Bombs away…bombs away….

Lambat laun, aku menyadari bahwa dia memang bisa menampung keluh kesahku, namun dia tidak bisa mengusir sepiku. Ada sesuatu jauh di dalam sana yang membuatku merasa hampa. Kembali? Bisakah kembali lagi padamu? Dua kali sudah kesalahan yang sama terulang. Masih bisakah semua diperbaiki?



“Circle me and the needle moves gracefully back and forth

If my heart was a compass, you’d be north

Risk it all ‘cause I’ll catch you if you fall, wherever you go

If my heart was a house, you’d be home…”



Ternyata, apapun yang terjadi, aku selalu kembali padamu. Apapun yang terjadi. Mimi dan mintuna kembali iri. Bunga-bunga keriangan kembali mekar. Lelatu keindahahan kembali berpijar. Mungkin, saat ini pelaminan sudah mengizinkan kita untuk menaklukkannya. Mungkin, saat ini takdirlah yang menyerah pada kita. Marilah kita berharap saja. Semuanya baik-baik saja. Pesanku, aku kembali bukan karena kasihan. Aku kembali bukan karena menghindar dari rasa bersalah. Aku kembali bukan karena bujukan orang. Aku kembali, karena kamulah utara dari kompasku, rumah dari bangunanku.





Aku membayar minumanku yang belum sempat kusentuh. Aku menantang mendung dan berjalan pulang. Pulang, ke pelukanmu, orang yang akan kulindungi dan kujaga. Tempat akan kuhabiskan sisa hidupku kelak.





(Inspired by: “If My Heart Was a House” – Owl City)


ditulis @sneaking_jeans dalam http://menyingsingfajar.wordpress.com

No comments:

Post a Comment