Saturday, September 15, 2012

El


Please don’t stop the music
Please don’t stop the music

Musik berdetam keras, dalam ketukan ritme yang semakin cepat. Kuangkat tanganku tinggi-tinggi, mengikuti musik yang dimainkan DJ.

Menari dan terus menari..

..
I gotta get my body moving, shake the stress away..

Mabuk? Tidak, aku tidak mabuk. Aku peminum handal. Tiga sloki Martini yang barusan masuk ke tubuhku, tidak akan membuatku kehilangan kesadaran.

Aku menari, dan terus menari. Menghentak dan berputar, mengikuti detak jantung yang juga semakin cepat.

Mataku panas. Tapi bukan karena pengaruh liquor yang barusan masuk ke tubuhku. Ingat, Aku peminum handal. Jangan remehkan reputasiku.

Dan aku terus menari
Berusaha mengendapkan lara hati

Kulihat kamu di sana. Duduk dalam posisi sigap. Matamu mengawasiku dengan seksama.

Tapi hanya sekedar mengawasi. Tidak ada lagi lumuran cinta di matamu.

“Cinta sudah lewat, El. Tentang kita sudah berakhir.” Begitu katamu.

Lalu aku menjawabmu dengan (pura-pura) tenang. Kubilang, terserah kamu saja. Tapi sebagai permintaan terakhir, kuminta kamu temani aku ke Dragonfly. Tempat pertama kita bertemu, menari bersama, bicara, lalu saling jatuh cinta.

Dan disinilah kita berada. Kamu memenuhi permintaan terakhirku.

Aku menari dan terus menari. Berharap gerakan tarian bisa melontarkan semua tentangmu, keluar dari benakku.

Mataku panas. Bukan karena minuman Alkohol. Ternyata air mata yang merebak.

- – - – - -

Kamu cantik, pujiku dalam hati.

Meski airmata merebak, meninggalkan jejak hitam eyeliner di pipimu. Kamu tetap cantik.

Kamu menari dan terus menari. Mungkin begitu caramu mencari kesenangan. Melupakan penat hati.

Aku tidak menemanimu menari. Tidak juga bercakap berbisik ditelingamu. Tidak seperti biasanya kita ketika sedang bersama di sini.

Aku duduk saja, melihatmu dari kejauhan. Setidaknya sudah kupenuhi permintaan terakhirmu. Menemanimu ke Dragonfly, tempat pertama kita bertemu, lalu saling jatuh cinta.

Cinta kita sudah lewat, El.

Kutuki saja aku

Lelaki yang tidak tahu diri.

Jatuh cinta kepadamu, padahal diriku sudah beristri.

Kamu yang buta oleh cinta, mau saja menerima diriku. Katamu tak apa tidak bisa selalu bersama, yang penting kamu tahu bahwa hatiku untukmu, bukan untuk istriku.

Ah, Cinta.

And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside
When everything was going right

- – - – -

12 September 2012

Tanggal kadaluarsa cinta kita.

Aku menemani istriku melahirkan anak pertama kami.

Di dalam ruang bersalin, aku menemaninya, melihatnya kesakitan, bertarung nyawa demi buah hati.

Darah mulai muncrat mengenai pakaian sterilku. Istriku kian mengerang kesakitan. Awalnya hanya 10menit sekali, lalu 5menit sekali, 3menit, hingga akhirnya tidak ada lagi jeda, gelombang kontraksi terus menerus mendera istriku. Dia menggigil dan mengerang, menggenggam tanganku erat-erat.

Aku memandangnya pilu. Tuhan, seandainya bisa kutanggung sakit yang dirasanya. Agar dia tidak terlalu menderita seperti itu.

Dua jam istriku kesakitan dan mengerang. Akhirnya bayi cantik meluncur mulus keluar dari rahim istriku, menuju ke tanganku yang sejak tadi sigap bersiap menangkap bayi kecil berlumur darah dan lendir itu, bayi kami.

Selamat datang ke dunia, gadis cantikku. Papa akan selalu menjagamu.

Lalu istriku, kulihat dia menangis dan tersenyum bersamaan. Terbayar sudah letih dan sakitnya. Yang ada di raut wajahnya hanyalah rona bahagia.

Kucium kening istriku.
Kubisikkan cinta di telinganya. Kali ini dengan setulus hati. Tidak lagi terbagi.

Setelah semua darah dan air mata yang kulihat, bagaimana mungkin kusia-siakan istriku, wanita yang sudah berjuang di antara hidup dan mati demi melahirkan putri kami.

Setelah semua tangis dan rintih yang kulihat, bagaimana mungkin kudzalimi wanita yang kelak akan mengajari akhlak dan budipekerti pada anak-anakku.

Tuhan, sampaikan maafku pada Almarhum Ibunda. Baru kuketahui, betapa sulit dan sakitnya yang bunda rasakan ketika dahulu melahirkan aku. Betapa akan bertambah sakit dan sedih hati Ibu, jika tahu, aku yang dilahirkannya dengan penuh kesusahan, tumbuh menjadi lelaki tidak bertanggungjawab, melalaikan istri dan anak. Demi nafsu yang kukira cinta. Sia-sia.



Demikianlah El, cintaku padamu lalu terasa tidak penting lagi.

Maafkan jika aku pernah khilaf, berkata mencintaimu. Tolong lupakan kata-kataku itu.

Let me go home
I’ve had my run
Baby, I’m done
I gotta go home
Let me go home
It will all be all right
I’ll be home tonight

Kutinggalkan Dragonfly, tanpa menoleh lagi ke belakang. Kutinggalkan kamu yang masih terus menari sembari berlinang air mata.

Aku pulang, ke rumah.

Rumahku, ternyata bukan kamu, El.


I’m coming back home

- – - -

Doesn’t matter where you are, HOME is always the place where your family are. ~ NN.

- – - -

“Lelaki, dampingi istrimu ketika melahirkan. Jangan hanya mondar-mandir di luar ruangan. Berani berbuat, beranilah bertanggungjawab. Karena ketika mendampinginya, disanalah kamu akan belajar dan mendapat nilaimu sebagai suami dan ayah.” (Mr. Wakhid Ciptono – Operations Management)


ditulis @plut0saurus dalam http://blossomandbatman.wordpress.com

No comments:

Post a Comment