Friday, September 21, 2012

Especially for You


Dearest you, my beloved Captain Cartenz..

Menemukan engkau tersenyum seperti malam itu adalah sebuah anugerah Tuhan untukku. Selepas perjalanan panjang yang kau tempuh, yang bahkan tak bisa kubayangkan hingga detik ini, engkau masih bisa menemaniku berjalan menikmati keramaian pusat kota. Di sana, ya, Jogja nol km. Masih ingatkah engkau pada nasi uduk yang kita nikmati bersama ditemani alunan syahdu tabuhan gamelan? Masih ingatkah pada obrolan kita dengan seorang pedagang kerak telor? Masih ingatkah? Kita dalam keramaian menikmati romansa yang tak pernah sekalipun kurasakan. Engkau, pun sama, seumurmu belum pernah kau berjalan beriring dalam keramaian semacam itu. Di sana, pasar seni Sekaten 1,5 tahun lalu. Aku masih setia menyimpan baik-baik segala yang pernah kita lalui bersama terutama malam itu, 13 Februari 2011.

     I remember..

     All the things that we shared,

     and the promise we made, just you and I

     I remember..

     All the laughter we shared, all the wishes we made,

     upon the roof at dawn

     …….

Aku ingat, pada raut wajahmu yang terlihat sedikit gusar ketika melihat makanan yang sebelumnya tak pernah kau santap.  Hm, ya aku tahu kau senang betul dengan nasi uduk. Hampir tiap kali kau sarapan pagi, hampir selalu ada seporsi nasi uduk. Ah, kau.. menyodorkan sesuap kacang tumbuk ke arah wajahku lalu bertanya,

     “Ini apa?”

Kau, kau membuatku tersipu malu..

     “Itu bumbu kacang, Akang..”

Aku ingat, bagaimana kita berjuang hingga bertemu kembali tepat lepas jamaah sholat Isya di pelataran Masjid Agung Gede, Kauman. Sebelumnya karena jalanan tlah kian padat merayap, kita terpaksa berpisah. Aku menemukan tempat parkir lebih dulu, sementara motormu meraung-raung karena terjebak di padatnya lalu lintas petang itu. Kutemui engkau bersama si Hitam lepas memarkir motor. Harus bagaimana? Mustahil memblokade jalan demi menyelamatkan engkau dari jebakan massa kendaraan bermotor. Oh my..

     “Akang terjebak, ga bisa gerak ini. Arus dari sana ga mau ngalah.. ga bisa parkir di sini juga. Bingung..”

Lalu? Sesaat kejadian remeh itu membuatku bingung. Baru kali itu engkau menjelajah pasar malam sekaten, bagaimana mungkin meninggalkan engkau kebingungan tak tahu arah? Makin lama, posisi kita makin jauh oleh padatnya kendaraan yang ingin melintas Jl. Ibu Ruswo dan itu membuatku terpaksa memundurkan langkah, menepi ke trotoar.

     “Pergilah.. Nanti kita pasti ketemu..!” katamu setengah berteriak.

Aku menatapmu dengan pias. Benarkah keputusanmu? Gusar menyergapku, tapi..

     “Ya.. Berjalanlah ke sana, Kang.. ke arah suara gamelan, ke arah masjid..!” teriakku membalasmu.

Aku sebenarnya ragu; harus menunggumu atau mengantarkan bulik dulu hingga ke rumah beliau di belakang masjid.

     “Akang ga apa-apa, nanti kita contact-contact-an…!!” teriakmu mencoba menenangkanku.

Kulambaikan tangan tanda perpisahan. Aku pergi meninggalkanmu terjebak sendiri. Ragu, tapi tetap kulakukan.

Aku ingat, sekalipun itu bukan kali pertama, tapi tetap saja menyeberangi pasar sekaten sebesar alun-alun utara memang bukan perkara gampang. Manusia hilir mudik, berdesakan di antara banyak kepentingan. Yang sekadar melihat-lihat; yang mengantri naik bianglala; yang mengajak keluarga, sanak famili, bahkan tetangga juga tak kalah banyak. Yang menonton pementasan di depan panggung terbuka pun tak kalah menyemut. Gusti, kupercayakan akang kepada-Mu.

Aku ingat, kita berpisah, menempuh jalan masing-masing. Entah, tak kuhitung berapa lama. Tapi yang jelas terjebak sedari Maghrib hingga tiba waktu Isya itu bukan hal mudah bagiku, entah bagimu yang telah terbiasa dengan hiruk pikuk masyarakat ibukota. Kau tahu, Kang? Kecemasanku menjadi saat tiba di rumah bulik. Hendak menghubungimu tak bisa, hanya tersisa bonus SMS gratis ke semua operator. Jadilah kuminta adik sepupuku membelikan pulsa. Sayangnya, pulsa yang kumau segera tiba itu malah baru sampai beberapa puluh menit kemudian. Hmm…

Aku ingat, lepas mengantar bulik, aku bergegas. Dua orang sahabatku juga tengah menanti kita. Mereka berangkat bersama, yang untung mereka tak terpisah. Sementara kita? Tak perlu menyesali keadaan. Kukatakan padamu kita bertemu di depan pintu timur masjid. Syukur alhamdulillah, akhirnya kita bertemu di depan masjid. Rupanya kau sempatkan berjamaah sholat Isya lebih dulu sebelum menemuiku. Bermula dari sana, kita bercengkerama bersama. Makan malam nasi uduk. Kita duduk berempat. Kau, aku, juga Erlang dan Lia, dua sahabatku.

O ya, masihkah kau ingat dengan gadis kecil yang menyuguhkan menu makan malam untuk kita? Heran ya, kau masih saja sempat menggodanya. Tangan kecilnya belum mampu terentang sepanjang tanganmu, Akang. Jadi maklumlah kalau ia belum bisa menghidangkan piring-piring nasi uduk beserta gelas minum tepat di hadapan kita. Hehe.. aku tahu kau hanya bercanda. Seperti juga kala kau menggodaku dengan menyodorkan  sesendok  kacang tanah tumbuk ke arahku. Ah, kau..

     …..

     And the way you smile at me,
     yes I remember

     (I Remember – Mocca)




ditulis @phijatuasri dalam http://asree84.wordpress.com

No comments:

Post a Comment