Wednesday, September 19, 2012

First, Last, Everything


Dian mondar-mandir di perpustakaan sekolah. Beberapa murid perempuan bergerombol di ruang baca. Dian berwajah serius, berkacamata minus, dan hampir menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan. Salah satu teman menarik tangannya. Mengajaknya duduk di karpet lembut dengan beberapa bantal kecil di sekitarnya.

“Jadi gimana? Jangan mondar-mandir gitu terus” Nina berbisik, sementara sahabatnya yang lain, Dilla ikut mendesaknya. Dian layaknya orang cemas, tapi tak bisa menyembunyikan binar cemerlang pada matanya.

“Ayo dong Yan.. ga ada salahnya kok dicoba” Dilla memasang senyum meyakinkan. Dian berpikir lagi. Kepalanya seolah mau meledak. Bagaimana mungkin Dimas bisa melakukan hal yang konyol itu tadi pagi. Di depan kelas, setelah guru Matematika mengakhiri pelajaran, Dimas dengan santainya menarik Dian ke hadapan teman sekelas mereka dan bertanya

“Dian would you be my girlfriend?”

Dian melongo. Seluruh kelas riuh. Dimas menyodorkan sebatang cokelat. Entah apa yang ada di kepala Dian hari itu. Tapi Dian berharap Dimas akan patah hati sesaat setelah Dian membentak “Kalo mau becanda jangan sama gue!”. Dan disinilah Dian berada. Di perpustakaan sekolahnya, dengan dua sahabat terbaiknya. Paling tidak sejak enam bulan terakhir ini.

Siapa yang tak kenal Dimas di sekolah itu? Tak ada. Semua kenal Dimas. Terutama dengan gelar playboy-nya. Dian berusaha mendengar kata hatinya sendiri. Mencoba menemukan rasa untuk Dimas. Minimal rasa suka, atau mungkin nyaman. Tapi lantas ragu kembali setelah mengingat reputasi Dimas dengan beberapa mantan pacarnya. Beberapa? Mungkin Dian salah. Mungkin beberapa belas? Atau beberapa puluh?

Semua tahu Dimas. Dia populer, aktif di berbagai organisasi, dan berwajah tampan. Setidaknya begitulah kesan pertama orang yang melihatnya. Good looking, with a good smile and good eyes. Ingatan Dian kembali ke enam bulan silam.

“Cieee Dian sama Dimas sekelas lagiiii.. jodoh banget deh”. Beberapa teman meledek. Hari itu hari pertama masuk kelas 3. Setelah meneliti daftar nama siswa yang tertera di depan pintu, Dian melangkah gontai ke ruang kelas. Tak satupun sahabat sekelas dengannya. Kecuali Dimas. Tidak. Dimas bukan sahabatnya. Mereka hanya sebatas teman sekelas, selama tiga tahun tentunya. Entah siapa yang mengatur ini semua. Tak ada yang mengira Dimas akan mengambil jurusan yang sama dengan Dian di kelas 3 ini. Dimas pula yang menyapanya lebih dulu.

“Hai Dian, ketemu lagi kita” dengan senyum menawannya. Dian hanya tersenyum kecut sambil berkelakar “Bosen ih, lo lagi lo lagi” dan membiarkan Dimas dan teman-teman meledeknya serupa teman-temannya di luar kelas tadi.

“Follow your heart. Nyaman sama dia? Sahabatan sama dia enak kan? Lo yang sekelas sama dia tiga tahun Yan…” Dilla menepuk-nepuk pipi Dian dengan buku perpustakaan.

“Pokoknya gue sih ngga setuju yah. Dian itu belom pernah pacaran. Masa pacaran pertamanya kudu sama playboy sih? Nanti lo kenapa-kenapa gimana?” Nina menimpali.

“Hmmm. Iyah, oke. Gue masuk kelas duluan yah” Dian meninggalkan dua sahabatnya itu. Kemudian pergi mencari Dimas.

“Gue ngga becanda Yan. Kita udah tiga tahun bareng-bareng di kelas. Lo pasti tau bedanya. Gimana gaya gue becanda atau gaya gue serius”

“Oke, kita coba” Dian memutuskan. Dimas melongo. Tapi kemudian sumringah.

“Makasih Dian sayang” Dimas mengeluarkan sebatang cokelat yang tadi tak disentuh Dian. Dian tertawa kecil. Dan berkata dalam hati ‘gue pengen tau aja, seberapa playboy-nya Dimas’.

But something happened
For the very first time with you
My heart melts into the ground
Found something true
And everyone’s looking round
Thinking I’m going crazy


“Harus berapa kali sih gue ngeyakininlo? Gue tau ini sulit buat kita. Tapi tolong liat perjuangan gue juga. Apa selama ini gue keliatan genit sama cewek-cewek itu? Apa selama ini gue masih deket-deket sama mantan-mantan gue itu?” Dimas menghela napas. Dian duduk di sebelahnya. Di taman sekolah.

“Lo ngga tau sih gimana susahnya jadi gue. Hampir tiap hari gue terima sms dari yang ngaku-ngaku mantan lo, hampir tiap hari gue diomongin di kantin, di perpustakaan, di kelas orang. Mereka ngomongin kita. Mereka bilang gue korban. Korban lo selanjutnya!”

“Trus mau lo apa? Putus? Terserah lo mau mutusin gue atau percaya sama omongan orang-orang itu. Tapi yang jelas, gue sayang sama lo, dan gue ngga mau putus. Titik.”

Beberapa bulan berjalan, tak terhitung mereka beradu argumen tentang hal yang sama. Mendebatkan permasalahan serupa. Tapi Dian mulai menemukan sayang diantara sejuta ragu dalam otaknya.

Trying hard not to hear
But they talk so loud
Their piercing sounds fill my ears
Try to fill me with doubt
Yet I know that the goal
Is to keep me from falling


Dian bertemu Dilla dan Nina di restoran favoritnya. Sudah dua tahun mereka tak bertemu. Sejak masuk universitas. Dan betapa kagetnya mereka saat tahu Dimas masih menjadi pacarnya hingga kini.

“Astagaaaa… gue kira udah putus abis lulus ituuuu” Nina menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Playboynya insyaf. Hahahaha“ Dilla tertawa keras.

“Kalian akur terus?” Dilla menatapnya dengan penuh curiga.

“Ya ngga dong. Kita sempet beberapa kali putus. Tapi entah kenapa selalu ada jalan untuk balik lagi. Kuncinya adalah gue percaya dia, bukan orang lain” Dian tersenyum menatap dua sahabatnya itu.

“Semoga memang yang terbaik untuk kalian…” Dilla menerima ucapan “amin” dari dua orang di hadapannya. Kemudian melanjutkan nostalgia jaman SMA mereka.

But nothing’s greater than the rush that comes with your embrace
And in this world of loneliness
I see your face
Yet everyone around me
Thinks that I’m going crazy, maybe, maybe

“Happy anniversary sayangku. Senang tiga tahun bersamamu. Semoga sampai pada beribu-ribu tahun lagi. Amin”.

Dimas menyerahkan se-toples keju oles dengan pita di atasnya. Dian tertawa. Dimas tak pernah memberinya cokelat kecuali tiga tahun yang lalu. Dian lebih suka keju. Dan Dimas mengerti itu. Dian membuka toples keju-nya, mengambil keju dengan telunjuknya dan meminta Dimas membuka mulutnya. Dimas mengulum telunjuk berlumur keju itu sejenak, lalu menirukan apa yang dilakukan Dian barusan.

“Aku sayang kamu, Dimas. Senang bisa sampai sejauh ini”. Dimas mengecup dahinya lembut.

But I don’t care what they say
I’m in love with you
They try to pull me away
But they don’t know the truth
My heart’s crippled by the vein
That I keep on closing
You cut me open and I
Keep bleeding
Keep, keep bleeding love


“Bunda, bekalku sudah siap?” Dian terkejut sesaat. Lalu tersadar lamunan telah membawanya ke masa lima tahun silam. Tidak terlalu jauh, tapi cukup membuat dirinya senyum-senyum sendiri. Segera dimasukkan kotak bekal buatannya ke dalam tas Dinda, anak pertamanya yang masih duduk di taman kanak-kanak. Dinda mewarisi mata dan senyum ayahnya, tajam dan menarik.

Dian telah selesai membereskan meja makannya saat dua orang yang dicintainya pamit. Dinda mencium punggung tangannya dan Dian mengusap kepalanya.

“Dah Bunda…” Dinda melambaikan tangan kecilnya.

“Hati-hati, Ayah” Dian mencium punggung tangan Dimas. Suaminya saat ini. Suami yang dulu selalu diragukannya. Cinta pertama sekaligus pacar pertamanya. Ayah dari anak dan calon anak-anaknya. Pendampingnya sekarang dan semoga untuk selamanya.


*) Diinspirasi dari lagu Bleeding Love - Leona Lewis

Ditulis oleh @_lele19 dalam http://leletrash.tumblr.com

No comments:

Post a Comment