Wednesday, September 19, 2012

Surat Kelima Untuk Dirga

Jika hati adalah pintu, maka kamu adalah tamu;
yang tanpa mengetuk, sudah kupersilakan masuk.


Pagi itu kamu tersenyum, dan saat itu pula aku jatuh cinta kali pertama. Dirga. Hanya itulah satu-satunya hal yang kuketahui tentangmu ketika itu. Dari bordiran huruf-huruf besar-besar di dada kiri seragam putihmu, kukenali namamu yang separuh. Tetapi yang menyertainya, sebongkah rasa bernama cinta yang bulat penuh.

Saat jam istirahat tiba, dengan segera kularikan diriku ke ruang tata usaha. Di sana, kupinjam buku register siswa kepada salah seorang petugasnya. Kutelusuri setiap nama pada entri dengan D sebagai huruf awalnya. Ah, Dirgayuza Mahardika, 3 IPS 1. Setelah kupastikan tak ada Dirga lain di daftar tersebut, kutuliskan di ingatanku semua hal penting tentangmu yang bisa kudapati di situ.

Hari itu, aku pulang dengan setengah melayang, diterbangkan khayalan-khayalan tentangmu yang membayang.

***

Kulipat kertas yang sudah sejak satu jam lalu kutulisi huruf-huruf yang akan menyampaikan rasaku padamu. Ia siap kumasukkan ke dalam amplop merah muda yang teronggok di atas meja. Tapi sebelumnya, tak lupa kusemprotkan minyak wangi milik ibu padanya. Kuhirup dalam-dalam aromanya, lalu kuletakkan di dada. Kemudian kusebut namamu dalam hati. Teruntuk Kak Dirga, kugoreskan tiga kata di amplopnya.

“Sepucuk surat yang wangi,
warnanya pun merah hati
bagai bingkisan pertama
tak sabar kubuka.”


***

Ialah aku, huruf-huruf yang merindu kamu,
berharap kaubaca, di semestamu yang pustaka.




Ini sudah kelima kalinya kupaksakan berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Pada kelima kesempatan tersebut, yang kutuju pertama bukanlah kelasku, melainkan sebuah ruangan persis di seberang perpustakaan. Kelas 3 IPS 1. Kubuka pintunya perlahan, lalu kuberjalan ke arah barisan paling belakang. Di kursi keempat dari kanan, kuselipkan dalam-dalam surat kelimaku untuk kamu.

Siangnya, seisi sekolah dihebohkan oleh teriakkan seorang perempuan yang membentakmu. Ia, yang kuketahui setelahnya bernama Arina, kapten tim pemandu sorak sekolah kita yang juga kekasihmu saat itu, kemudian membacakan keras-keras kalimat-kalimat yang tidak asing di telingaku.

Kak Dirga,
Ini surat kelimaku.
Semoga yang pertama hingga keempat,
juga sempat kauhadirkan di matamu.

Kak Dirga,
Kemarin sore, aku sengaja mangkir hadir dari bimbingan belajar.
Tapi aku tidak menyesal, satu jam lebih kurekam imajimu di ingatan.
Tahukah, Kak, setiap berhasil melesakkan bola ke dalam keranjangnya,
senyummu selalu sebuku jari lebih lebar?

Kak Dirga,
Sekali waktu, pernah kuajak kau mampir di mimpiku..
Di sana, kauajak aku ke hangat paling syahdu; pelukanmu.
Esoknya, hariku berputar luar biasa.
Bila dalam mimpi saja begitu memesona,
apa yang lebih surga jika itu dalam nyata?


Arina tidak meneruskan, ia remas kertas di tangannya sebelum ia lemparkan ke mukamu. Sialan! Bagaimana bisa ia yang menemukan suratku untukmu.

***

Di hari berikutnya, ada hal yang membuatku lebih kesal sekaligus gemetar ketakutan. Arina dan teman-teman satu geng-nya, tanpa sepengetahuan guru-guru, mendatangi kelas-kelas 1 dan 2 satu demi satu. Mereka memeriksa tulisan tangan di buku catatan para siswa untuk kemudian dicocokkan dengan guratan-guratan pada surat kelimaku untukmu.

“Anak cowoknya, cepet kumpulin buku catatan semua anak cewek di kelas ini!” Suara tinggi Arina serta merta mengagetkan seluruh penghuni kelasku yang sedari tadi ia perintahkan untuk menunduk.

Namun, bukan lagi ketakutan yang kurasakan saat itu, melainkan kelegaan. Dengan tenang, kumasukkan kembali ke dalam tas, sebuah buku catatan bersampul cokelat milikku. Kemudian aku beranjak dari kursiku, dan bersama dengan separuh penghuni kelasku, mulai kukumpulkan buku catatan milik teman-teman perempuanku. []

*) Diinspirasi dari lagu Surat Cinta - Vina Panduwinata

Ditulis oleh @__adityan dalam http://deetzy.tumblr.com

1 comment:

  1. hah?! yang nulis suratnya cowok? *jreng jreng* :))

    ReplyDelete