Biana cemas dan bahagia. Senyumnya tidak berhenti mengembang, tapi bibirnya bergetar. Matanya lurus ke depan, tapi pikirannya melayang. Pagi ini, ia baru saja pulang dari dinas luar kota. Di sepanjang perjalanan, ia tak henti merindukan kekasihnya. Dan mengenang bagaimana ia jatuh bangun demi hari ini. Memperjuangkan seseorang yang bisa mencintai dan dicintainya dengan segenap jiwa dan raga. Tiba-tiba Biana melihat sebuah cahaya putih di depan mobil yang dikendarainya.
***
Laki-laki itu adalah Gema. Seorang pegawai negeri di catatan sipil. Lelaki yang berani memperjuangkan dirinya meski tahu bagaimana sulit Biana mencintai dan dicintai. Lelaki yang berani menanggung risiko sulitnya berhadapan dengan kerumitan keluarga Biana. Gema mampu mendidihkan lagi harapan dan mimpi Biana yang telah beku selama bertahun-tahun.
Setahun yang lalu, Biana datang ke tempat Gema bekerja, mengurus akte kelahiran adik tirinya, anak ibunya dari pernikahan di bawah tangan dengan laki-laki yang sebelumnya sudah beristri dua. Ibu Biana terlalu malu untuk sekedar mengurus akte kelahiran adik tirinya itu. Gema dengan senyumnya yang sederhana dan tidak dibuat-buat, datang tergesa-gesa meski tubuhnya sudah tampak sangat lelah. Mengalihkan kegelisahan Biana akan kasak-kusuk pegawai catatan sipil lainnya yang seakan-akan membuat asumsi terhadap permintaan akte kelahiran yang tanpa surat nikah, “Wah, Mbak datangnya terlalu sore. Sekarang berkasnya masuk dulu ya. Besok pagi sekitar jam 9 bisa diambil. Besok langsung aja nyari saya, Gema. Kalau orang lain nanti masih nyari-nyari berkasnya.” Biana tersenyum malu-malu. Entah apa yang dipikirannya, tapi pipi Biana memerah. Seakan ada tangan tidak terlihat menamparnya, ‘Gema sedang tidak mencari-cari cara untuk bertemu denganmu, Bi.’
You didn’t ask anything, you didn’t demand for anything
Whatever you gave, you gave from your heart
Rupanya nama adik tiri Biana salah tulis. Biana kembali berurusan dengan Gema. Hati Biana campur aduk. Ia tidak lagi mampu mendeskripsikan perasaannya. Seakan Tuhan secara perlahan telah meruntuhkan pertahanan Biana. Dan sejak hari itu, rindu Biana selalu terbit lebih pagi dari matahari.
“Wah, salah ketik ya, Mbak? Mohon maaf. Mana yang salah?”
“Ini. Namanya ‘Kinanti Tunggadewi’. Bukan ‘Kinan Tungdewi’. Apa saya nulisnya yang salah ya, Mas?”
“Ya bisa aja yang baca siwer, Mbak hehehe. Ini mepet jam makan siang. Saya kasih sekarang ke petugas bagian ngetik. Nanti jam 1 bisa diambil.”
“Oke. Di sini ada kantin ndak ya? Saya malas wira-wiri.”
“Mau makan siang bareng? Angin lagi kenceng-kencengnya, Mbak. Kalo saya sendirian naik motor nanti terbang hehehe.”
Ya Tuhan, itu adalah pick-up line abad ke-19. Tapi Biana terlalu sibuk merona, sehingga lupa untuk tidak tersipu. Semu merah menyebar di kedua pipinya. Perutnya bergejolak, dipenuhi kupu-kupu berwarna-warni. Dadanya sesak, ada sesuatu yang ingin berhamburan keluar. Tetapi Biana hanya mampu berkata, “Boleh.”
Maka jadilah setahun ini, Gema adalah detak yang beriringan dengan jantungnya. Gema yang membenarkan kacamatanya dengan sendi telunjuk kanannya yang ditekuk. Gema yang sering kehilangan sandal saat nonton di bioskop karena selalu duduk bersila di kursi. Gema yang tangannya bisa ia genggam setiap saat. Gema yang ia rindukan di detik pertama sambungan telepon yang terputus.
Satu hari teman sekampusnya yang dulu pernah jalan berdua dengan ayahnya, tiba-tiba datang ke kos Biana dan menamparnya, “Bapak lo bangsat! Berani dia nularin penyakit ke gue! Mampus keluarga kalian semua! Mampus!!!” Serta merta Biana mendaratkan pukulan keras ke pipi dan tendangan ke perut perempuan itu. Menyeretnya ke luar rumah kosnya, lalu kembali meringkuk di tempat tidur. Lalu Gema datang dengan sekotak es krim dan merengkuh Biana ke dalam pelukannya yang hangat. Usapan lembut tangan Gema di punggung Biana merontokkan bilur-bilur sakit di hatinya. Lelaki itu duduk di sudut kamar, memangku gitar dan bernyanyi serampangan, menutupi suara tangis Biana yang meraung-raung. Tidak ada kata atau pertanyaan. Cukup Gema ada di sana, membagi sebagian dirinya untuk Biana.
You didn’t say anything, you didn’t weigh the pros and cons
You’re the warmth, you’re the shade. You’re my own and a stranger
Kehadiran Gema adalah candu, repetisi rindu yang tidak pernah membuat Biana bosan. Gema bagi Biana seperti Rahul Raichand yang rela melepaskan keluarganya demi Anjali Sharma. Atau Kertawiyoga yang berani memperistri Dewi Erawati dengan mempertaruhkan semua yang ia punya sebagai pewaris tahta kerajaan Tirtakandasan.
Gema meminangnya, empat bulan yang lalu, tanpa ragu. Heningnya malam itu seakan ikut turut andil memberikan suasana yang syahdu. Daun-daun pohon mangga bergesekan ringan dibuai angin. Sesekali terdengar sayap serangga yang berderik-derik.
“Kamu ngerti kan tentang semua ketakutanku pada sebuah pernikahan? Dan kamu juga paham bagaimana malunya aku pada keluargamu, Ge…”
“Aku tahu, kamu sudah melalui perjuangan yang sulit, bahkan untuk mau membicarakan ini denganku. Keluargaku sudah setuju, Bi. Memang sangat sulit meyakinkan mereka. Tapi aku sudah sampai di sini, dan aku ndak mau mundur. Kamu ndak akan menyia-nyiakan perjuanganku ini, kan?” kata Gema sambil tersenyum dan menggenggam jari-jari Biana yang basah karena keringat.
Dalam jeda percakapan sakral mereka, terdengar jarum jam yang berdetik, nafas yang mmeburu dan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Biana memandang Gema dengan setengah menahan tawa. Terlihat jelas bagaimana laki-laki di depannya itu berusaha untuk tetap menapakkan kedua kakinya di ubin yang dingin. Tubuhnya sudah basah oleh keringat, kemejanya sudah hampir menempel di kulit. Tangannya gemetar dan kakinya mungkin terasa kram. Beginikah sulitnya melamar seorang gadis, Ge?
“Bagaimana bisa kamu seyakin ini, Ge?”
“Bahkan aku sudah meyakini takdir sejak pertama kali kita ketemu di kantor catatan sipil. Sejak saat itu, aku selalu berdoa, Bi. Berdoa agar Tuhan melunakkan hatimu, dan membiarkanku membangun mimpi-mimpi yang pernah kamu buang. Membiarkanku memporakmorandakan dindingmu yang terlanjur tinggi. Aku tau, pasti akan sakit dan terluka merasakan runtuhannya. Tapi aku ingin kamu percaya, sebagian dari ketakutanmu akan aku tanggung, dan aku sudah mengambil langkah besar dengan mencintaimu.”
“Dan aku berdoa, Bi… Aku berdoa agar Tuhan segera memulihkan hatiku jika aku lelah, agar Tuhan melemparku pada hari pertama aku sudah terpikat pada senyummu, pada saat aku memperjuangkan kita atas keluargaku, dan pada hari-hari aku berusaha meyakinkan kamu bahwa kita hidup untuk satu sama lain.”
Sesaat Biana masih dilanda bimbang. Ia berusaha membaca apa yang dituliskan Tuhan untuknya. Cinta pernah menyatukan ayah ibunya. Atas nama cinta pula Biana hadir di dunia ini. Jika cinta kedua orang tuanya gagal, mungkin Tuhan menginginkan Biana membuat cintanya berhasil. Mungkin, di masa lalu Tuhan merancang hidupnya menjadi carut marut. Orang tuanya berpisah, ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dan memiliki anak, Biana mengurus akte kelahiran adik tirinya, dan voila… Gema adalah jawabannya. Tuhan telah menggariskan takdir dan mengirimkan Gema untuk Biana. Dan Biana tidak akan melepaskannya. Demi apapun.
***
Di sinilah Biana. Di ruangan serba putih, kamar pengantinnya, memandangi punggung Gema yang duduk dengan gagah di satu sisi ranjangnya yang wangi karena bertaburan bunga. Sebuah belati terselip di jemari tangan Biana. Ia ingin segera menyelesaikan rencana Tuhan. Hari ini.
God has joined this couple together
***
Epilog
20 September 2012
[Semarang] Pagi ini, warga Desa Mulyorejo, Kecamatan Kedopok, digegerkan oleh sosok mayat pria berinisial G, 28 tahun, yang ditemukan tewas di kamarnya dengan belati tertancap di dada kirinya. Sudah dilakukan otopsi serta penyelidikan terhadap TKP dan barang bukti, namun pihak kepolisian mengalami jalan buntu. Didapatkan satu sidik jari di belati tersebut, dan pemiliknya adalah wanita berinisial B, 25 tahun, yang telah tewas akibat kecelakaan lalu lintas tiga hari sebelumnya.
***
[Tujh Mein Rab Dikhta Hai – Shreya Ghoshal]*
September 23th 2012
Kalabahi – Alor – NTT
* Lagu ini adalah soundtrack dari film india berjudul Rab Ne Bana Di Jodi
ditulis @noichil dalam http://noichil.tumblr.com
No comments:
Post a Comment