Monday, September 24, 2012
Kembar Nagih Janji
Seruni dan Krisan. Satu bunga, beda nama. Seruni dan Krisan. Satu rupa, beda manusia. Keduanya kembar, siapapun yang melihatnya pasti tidak akan mengira bahwa keduanya terlahir dari dua rahim ibu yang berbeda, tapi di satu waktu yang sama.
Seruni dan Krisan memang memiliki satu ayah yang sama. Tapi Seruni lahir dari rahim istri pertama Sang Ayah, sedangkan Krisan lahir dari rahim istri kedua Sang Ayah. Mereka lahir bersamaan, tapi sayang, satu dari dua ibu itu harus meninggal setelah proses bersalin. Ibu Seruni, dia meregang nyawa ketika berpacu dalam hembus napas perjuangan melahirkan Seruni. Naas, tiga tahun kemudian berganti Sang Ayah yang dijemput ajal.
***
Kini mereka sama-sama telah dewasa. Dulunya dada yang rata itu, kini sudah terisi bak buah yang meranum. Entah kenapa mereka selalu melakukan satu hal yang sama, termasuk untuk urusan profesi, mereka sama-sama memilih untuk menjadi penyanyi keroncong.
Duhai sayangku…
Betapa ku,
Meinginginkanmu,
Sampai mati…
Parutkan luka yang teramat dalam,
oh kasih…
Satu tembang terlantun manis dari keduanya. Mereka sedang berada di acara besar Kepala Desa yang tengah punya hajat. Pernikahan anak sang Kepala Desa, si Sulung, sama seperti namanya. Seruni dan Krisan menjadi pengisi acara di sana.
Secara sikap, Seruni adalah perempuan yang sangat santun, tutur sapanya sopan, pembawaan lembut. Beda dengan Krisan, ibunya mewarisi semua kekayaan Sang Ayah, hal itu membuatnya merasa berderajat lebih tinggi dari siapapun, termasuk Seruni. Krisan dan Ibunya, di rumah khas jawa peninggalan Sang Ayah, mereka sering sekali memperlakukan Seruni bukan seperti anggota keluarga.
“Seruni!” teriak seorang lelaki ketika Seruni dan Krisan secara bersamaan turun dari panggung pertunjukkan.
Sesaat setelah memanggil, lelaki itu sejenak terdiam memandangi keduanya. Seperti sama, tapi ada sorot mata yang lain dari keduanya.
“Seruni…” gumamnya.
“Ya?” jawab… ah, Krisan yang menjawab. Bukan Seruni! Tapi lelaki itu seolah tahu dan mengambil satu tangan di antara dua pasang tangan.
Lelaki itu tahu, dari pancaran mata yang tertangkap lembut dari bola mata Seruni. Beda dengan Krisan, yang sorot matanya penuh kebencian.
“Mas ini siapa?!” ucap Seruni ketika tangannya digenggam erat oleh sang lelaki. Krisan seolah kecewa melihat Seruni dihampiri Bungsu. Iya, lelaki itu adalah Bungsu, adik dari Sulung, anak Kepala Desa.
“Aku ini Bungsu, Run. Anak Kepala Desa…” jelas Bungsu.
“Oh, maaf, Mas. Saya ndak tau kalau Mas ini anak Kepala Desa. Tapi ada apa to, Mas, manggil saya?”
“Ayo, ikut aku sebentar.” ajak Bungsu.
Setelah jabat tangan perkenalan malam itu, tangan Seruni digenggam Bungsu erat-erat, diajaknya Seruni menemui Sang Ayah. Tapi tanpa disadari keduanya, Krisan ikut dalam langkah kaki mereka menuju rumah utama Kepala Desa.
Mereka bertiga masuk ke sebuah rumah yang sangat kental dengan sentuhan jawa. Ukir-ukiran pada pintu kayu, atau dinding-dinding berpapan jati. Penerangan pun di beberapa sudut masih terpancar cahaya api, tidak semuanya lampu.
Sangat banyak tamu ketika Bungsu membawa Seruni ke hadapan ayahnya. Di sana juga ada sepasang pengantin yang tengah berbahagia.
“Pak, ini Seruni!” seru Bungsu memperkenalkan Runi kepada Ayahnya.
“Oh, ini to yang namanya Seruni. Wanita yang kamu suka itu, Le?”
“Iya, Pak. Ini orangnya…”
“Lho, Mas. Wong kita kenal aja baru tadi, lha kok bisa jadi gini?” tanya Seruni keheranan.
“Nduk, biarpun kalian baru kenal, tapi Bungsu ini sudah tau siapa kamu dari lama. Di manapun kamu manggung, dia selalu ada di sana. Tapi kamu ndak sadar,” jelas Ayah Bungsu. “Lha terus, yang di belakang itu Krisan, yo? Kembarannya Runi?” lanjut Sang Ayah, menunjuk ke arah belakang mereka berdua.
“Iya, Pak. Saya Krisan…” jawab Krisan sembari menebar senyum palsu.
Malam yang singkat, namun berkesan. Keduanya diantar pulang oleh Bungsu mengendarai sebuah kereta kuda miliki orangtuanya. Rona wajah Runi memerah, malu. Dipandangnya sesosok pria di sampingnya. Ini memang baru kali pertama pria itu ditemuinya, tapi ada kesan mendalam ketika Runi tahu pria itu sudah sejak lama memperhatikan dirinya.
“Run, kamu mau to nikah sama aku?
“Tergantung restu ibu nanti, Mas. Lagian juga kita baru kenal, ndak baik kalo buru-buru. Nanti kecewanya dateng belakangan.”
“Kecewa opo sih, Run? Aku uwis mantap. Aku ndak mau lama-lama nunggu kamu!”
Mereka berdua terlihat bahagia. Tapi, seolah-olah mereka melupakan Krisan yang duduk terdiam di belakangnya.
“Awas kamu, Run! Mati kamu sampai rumah nanti!” gerutu Krisan dalam hati.
***
“Run, aku pulang ya. Salam buat ibu. Kapan-kapan pasti aku ke sini lagi,” pamit Bungsu untuk Runi. “Oh iya, Kris. Aku pamit ya. Salam buat ibu kalian.” lanjut Bungsu.
“Iya, Mas. Hati-hati.” jawab keduanya bersamaan.
Semenit Bungsu lenyap dari tatapan mata Runi dan Krisan, seperti ada lonjakan emosi yang diperlihatkan Krisan. Dipukulnya kepala bagian belakang Runi keras-keras.
“Sialan! Kamu tu di sini nginep! Ndak usah berbuat macam-macam! Dasar perek!” amarah Krisan.
“Sakit, Kris. Salahku opo? Kamu kok gini sama aku?”
Mereka berdua terdengar gaduh di halaman rumah. Dari arah dalam, ibu Krisan datang dengan segudang pertanyaan. Satu kalimat saja penyulut amarah mampu membuat satu kepalan tangan melayang ke arah tubuh Runi, dari Ibu dan Krisan.
Malam indah berakhir resah…
***
Setelah malam itu, ada banyak malam di mana Bungsu datang untuk menemui Runi. Sebanyak malam ketika Bungsu datang, banyak pula alasan Krisan dan Sang Ibu untuk tidak mempertemukan mereka berdua.
“Runi lagi ndak mau ketemu sama siapa-siapa, Mas.” alasan Ibu Runi.
Tapi ada waktu di mana Bungsu secara mengejutkan datang bersama orangtuanya. Sempat dua manusia itu berkelit, tapi toh akhirnya memang tahta yang menjawab. Runi keluar dengan wajah yang tak sesegar kembang Seruni. Rambutnya yang tergerai hampir sepanjang pinggangnya, digelungnya dan ditusuk dengan sebuah penusuk berwarna emas.
Sontak Bungsu terkejut. Digenggamnya tangan Runi. Dituntunnya perlahan Runi ke tempat di mana tidak akan ada orang lain yang mampu mendengar pembicaraan mereka berdua. Sedangkah para orangtua sibuk di ruang tamu, membicarakan urusan dan maksud mereka.
“Run, kamu kenapa?” tanya Bungsu. Runi menggeleng lemas.
“Run, kamu tinggal sama aku, ya? Orangtuaku ke sini buat ngelamar kamu jadi istriku. Aku sudah persiapkan satu rumah di dekat Telaga Arum.”
Belum sempat Runi menjawab, orangtua Bungsu keluar dengan sedikit amarah yang terlihat jelas.
“Wong yang diminta Runi, kok yang dikasih Krisan! Orangtua macam apa!” omel Ayah Bungsu.
“Pak, bawa Runi pergi dari sini, Pak! Bungsu mohon…”
“Run, kamu mau ndak ikut sama kami? Kalau kamu mau, kemasi barang kamu sekarang. Nanti malem Bapak sama Bungsu jemput. Besok akan Bapak nikahkan kalian…” tegas Pak Kepala Desa.
Mata Runi menatap samping tempatnya berdiri. Di sana ada Krisan dan Ibunya. Pelan-pelan Runi mengurai rambutnya, dan dirapihkannya kembali, masih dengan tusuk rambut berwarna emas. Sebenarnya apa yang dilakukannya adalah mengambil jeda waktu untuk berpikir. Runi pun nekat menganggukkan kepalanya, pertanda dia mau ikut bersama Bungsu dan Ayahnya.
“Run, aku janji, ragaku ini buat kamu, jiwaku ini buat kamu. Ulung hatiku setiap debarnya juga buat kamu. Alir darahku juga menetes untuk kamu. Tunggu aku nanti malam ya, Run. Kita pasti bahagia!”
Tapi tidak sekarang… Masih nanti malam…
***
Ketika cahaya mentari mulai surut
limpahan sinar bulan membajiri alam.
Kunang-kunang berjalan sendiri,
terbawa angin dia mengitari bumi.
Sebuah kereta kuda datang dan berhenti di halaman rumah Seruni. Dua orang pria berbadan tegap keluar dari sana, Bungsu dan Ayahnya.
Secara lembut dan sopan, pintu rumah diketuk oleh Bungsu. Tak lama setelahnya, keluarlah Runi dengan beberapa tas bawaannya.
“Runi. Ibumu mana?” tanya Sang calon ayah mertua. Lagi-lagi Runi hanya menggeleng lemas. Rambutnya tergerai panjang, tak lagi dirapihkan dengan tusuk rambut yang dia punya.
“Kita berangkat langsung saja, Pak. Ibu Runi sepertinya ndak sudi ngelihat Runi lagi.” ucap Runi.
Jadilah malam itu Runi pergi tanpa pamit kepada Krisan ataupun Ibu tirinya. Tapi jika diamati, pancaran wajah Runi memang tak secantik dulu. Mungkin karena ada sebuah tekanan dalam hatinya. Tentang Krisan, ataupun Ibunya.
“Kita ke rumah yang sudah Bapak siapkan untuk kalian, ya. Di dekat Telaga Arum.” tutur Ayah Bungsu. Keduanya pun menuruti. Tapi, sepengelihatan Bungsu, Runi agak berbeda dengan Runi yang beberapa malam lalu ditemuinya. Sesekali dengan sapu tangan miliknya, Bungsu membasuh peluh di wajah Runi.
***
“Pak, Bungsu minta izin buat nemenin Runi dulu di rumah sini. Nanti biar Bungsu pulang jalan kaki. Bapak duluan aja ndak apa-apa.” tutur Bungsu ketika kakinya menginjak halaman rumah masa depannya bersama Runi di pinggiran Telaga Arum.
“Ya memang sebaiknya begitu, Le. Ya sudah, Bapak pulang. Jaga calon istrimu baik-baik ya.”
Pelan-pelan, Runi melangkah ke dalam rumah. Ditinggalkannya Bungsu melepas ayahnya pulang, sebelum akhirnya Bungsu mengikuti Runi yang sudah tenggelam dalam rumah tradisional yang terlihat mewah itu.
“Run.. Runi.. Kamu di mana?” cari Bungsu. Runi seolah menghilang tertelan sunyi, sampai pada akhrinya terdengar suara gemericik air dari arah belakang rumah.
“Run…” gumam Bungsu ketika mendapati dari arah belakang tubuh Runi yang basah oleh air sumur. Dia tidak lagi berpakaian, hanya satu lembar kain batik yang dikenakannya sebagai penutup tubuh.
Dari sana, tergambar siluet tubuh Runi yang begitu indah. Perlahan, Bungsu mulai mendekat, semakin mendekat, hingga tubuh bagian depannya melekat erat di punggung Runi.
“Run…” gumamnya lagi. Runi berbalik, dengan santai dilepasnya kain penutup tubuhnya itu.
Dan…..
***
Sudah lewat tengah malam ketika tubuh polos Runi didekap dalam pembaringan oleh Bungsu. Seolah sedang mengambil napas sejenak, ketika Bungsu lelah mengarungin samudera cinta yang dipersembahkan Runi malam ini. Ini dosa, ketika Bungsu mengingat belum ada ikatan diantara mereka.
Mereka saling menyeka keringat kekasih yang ada di hadapannya, sambil sesekali kecup mesra tercipta dari lumatan-lumatan bibir yang hangat.
Tapi kemesraan itu lenyap setelah pintu depan rumah didengar mereka dibuka secara paksa. Menimbulkan suara yang cukup keras, membuat mereka agak panik.
“Mas!! Mas Bungsu!!” ucap seseorang yang… mukanya mirip Runi, apa itu Krisan yang datang dengan linangan airmata? Wanita itu menangis menyaksikan dua tubuh yang terkulai di ranjang itu tak berpakaian. Merasa kehilangan. Dia jatuh tertunduk.
“Le, wanita yang ada di sebelah kamu itu… dia Krisan. Dan yang ini adalah Runi.” ucap Ayah Bungsu yang mengantar Runi asli ke rumah itu.
Bungsu tertegun memandangi keduanya. Tapi dia seolah mengerti ketika melihat gelungan rambut wanita yang menangis dihadapannya terlihat rapih dengan tusukan berwarna emas.
Kalau sudah begini, esok hari siapa yang akan menikah dengan siapa? Bungsu seolah sudah mati langkah. Di dadanya meluap rasa benci, tapi di lain sisi dia merasa memikul beban yang sangat berat karena mencampakan Runi, walaupun tanpa sengaja.
“Bagaimanapun kamu udah ngelakuin itu sama Krisan! Besok Krisan lah yang harus kamu nikahi!” tegas sang Ayah, tanpa menghiraukan perasaan Runi.
***
Hari ini berbeda dengan rencana kemarin. Semua akal licik Ibu yang menyuruh Krisan menggunakan tubuhnya sebagai senjata, telah menghancurkan segala rencana indah yang Runi dan Bungsu bangun.
Runi terkurung dalam rumahnya sendiri. Sang Ibu tidak memberinya izin untuk menghadiri pernikahan Krisan dan Bungsu hari ini.
Kamarnya berantakan. Dalam sendirinya, dia terus berpikir…
“Kenapa seperti ini? Apa yang ada dalam pikiran Ibu? Ini semua licik. Kenapa otak Ibu bisa sampai merencanakan ini semua?” pikir Runi dalam hening. Dia merasa harus mencari tahu bagaimana bisa ibunya melakukan ini semua kepadanya.
Lagi-lagi malam, ketika Runi berdiri memaku di depan pintu menunggui ibunya pulang. Begitu daun pintu bergerak, ada satu kebahagiaan sendiri dalam hati Runi.
“Ibu…” sambut Runi dingin. Ibunya tersentak kaget mendapati Runi berkelakuan seperti itu.
“Apa kamu?” Ibu berbalik bertanya dengan nada ketus. Sedikit senyum yang terlihat pahit, Runi melepas tusukan rambutnya dan membiarkan rambutnya tergerai indah.
Dan….
JLEB!! Tidak ada yang menyangka, tusuk rambut itu menancap sadis ke bagian kening Sang Ibu.
“Maafkan Runi, Bu. Runi hanya ingin tahu apa yang ada di dalam kepala Ibu, sampai-sampai ibu bisa sekejam ini kepada Runi…” ucap Runi, sembari diambilnya kembali tusuk rambut itu, dan berpindah menjadi pengkait gelungan rambut yang cantik.
Sempat ada rasa ingin membelah kepala Ibunya, demi mencari apa yang Runi cari. Tapi pikiran Runi sudah jauh melayang ke rumah di dekat Telaga Arum. Dengan kaki mungilnya, dan dengan tangan yang berlumuran darah, Runi berlari ke tempat itu.
***
Tok… Tok… Tok…
“Krisan… Krisan…”
Cukup lama ketika Runi mengetuk pintu rumah pengantin baru itu. Sampai suara bernada jengkel keluar dari mulut Krisan.
“Sebentar!!” pekik Krisan. Begitu dia melihat ada Runi di depan pintu, ada amarah yang lagi-lagi tersulut. “Kenapa? Ada apa? Kamu ndak tau ya lagi ganggu malam pertama pengantin baru?”
“Malam pertama, katamu? Bukannya kemarin adalah malam pertamamu, wanita murahan?” balas Runi dengan tatapan mata yang sangat tajam. Krisan agak tidak percaya Runi yang di kesehariannya terlihat lemah-lembut, sekarang begitu berbeda.
“Ndak usah banyak omong. Ngapain kamu ke sini?”
“Kamu… Di cari… Ibumu…” ucap Runi terbata kelita melihat Bungsu yang keluar dari kamarnya. Memperhatikannya dan Krisan.
“Bohong! Ngapain ibu nyari aku?”
Runi tak menjawab dengan kata-kata, cukup ditunjukkannya tangan yang berlumur darah. Sontak Krisan berlari dengan berteriak memanggil ibunya.
Kini hanya ada Runi dan Bungsu di rumah itu. Memang seharusnya seperti itu.
“Mas Bungsu, apa kabar?” sapa Seruni yang pelan-pelan mendekati Bungsu. Bungsu diam tidak menjawab Runi. Dia masih merasa bersalah.
“Aku pikir Mas Bungsu itu orangnya berpendidikan, ternyata sama saja. Lelaki memang seperti anjing yang selalu menjulurkan lidah berliur ketika mendapati seorang wanita sedang telanjang. Bukan begitu, Mas?”
“Ndak begitu, Run. Tapi aku….”
“Ah, sudahlah Mas. Wong udah terlanjur juga. Tapi, Mas, apa Mas Bungsu ndak mau ngelakuin hal yang sama juga ke aku?”
“Maksud kamu, Run?”
Runi berjalan semakin mendekat ke arah Bungsu. Dilepasnya satu kebaya penutup dadanya, diikutin selembar kain batik yang menutupi bagian bawah tubuhnya.
“Run, ndak perlu seperti ini…” gumam Bungsu ketika Runi melumat butiran keringat di atas bibirnya.
“Mas, kamu udah janji sama aku. Ragamu untukku, jiwamu untukku. Aku menagih itu hari ini, Mas. Setubuhi aku…”
Tangan Runi perlahan kembali melepas tusukan di gelungan rambutnya. Gini geraian rambut panjang itu meutupi tubuh indahnya.
“Bawa aku ke kamar pengantinmu, Mas. Aku mohon.” pinta Runi.
Dengan sangat lembut, diangkatnya tubuh Runi dalam gendongan Bungsu. Bungsu membawa Runi ke ranjang pengantin berkelambunya, lalu membaringkan tubuh Runi sebelum dia melucuti pakaiannya sendiri dan ikut bergabung dalam pembaringan itu.
***
“Runiiii!!!! Runiiii!!” itu suara Krisan dari luar rumah. Dengan santainya Runi tetap ada di ranjang pengantin itu, memeluk Bungsu yang tengah tertidur berselimut peluh.
“Runi!!!” pekik Krisan ketika mendapati tubuh Runi tengah berbaring di samping suaminya.
“Ssstt.. Mas Bungsu sudah tidur, mungkin dia terlalu lelah…” ucap Runi pelan. Dilihatnya Krisan tengah menangis di hadapannya, tepat di tempat kemarin Runi menangis meratapi nasibnya.
“Run! Kamu ngapain di situ! Keluar!” teriak Krisan sembari masuk ke dalam kelambu, meminta Runi untuk pergi.
Tapi betapa kagetnya Krisan ketika satu selimut yang menutupi tubuh bugil Bungsu tersingkap. Luka sayat dari ulung hati hingga ke perut mengurai seluruh organ tubuh Bungsu hingga keluar.
“Runi!! Kenapa kamu bisa jadi seperti ini? Kamu udah bunuh ibuku, sekarang kamu bunuh Bungsu?!” ucap Krisan dalam linangan airmata.
“Aku hanya ingin mencari tau apa yang ada di otak ibumu, sampai dia begitu licik,” balas Runi dingin. “Sedangkan Bungsu, dia sudah berjanji memberikan raga dan jiwanya untukku. Aku ke sini untuk menagih janji!”
Duhai sayangku,
Betapaku,
Menginginkanmu,
Sampai mati…
Parutkan luka yang teramat dalam,
Oh kasih…
Semua hangatnya, oh dirimu…
Berikan aku arti hidup…
Suguhkan segala raga dan jiwamu untukku…
Dendangkanlah tangis itu, sayang…
Manis rasa, perih dirimu…
Ragamu untukku…
Jantungmu untukku…
(Mantra feat Keronco Suropati – Cinta Matiku)
“Krisan, asal kamu tau, kita ini saudara kandung!”
“Bohong… Kamu bohong…”
“Krisan, anak dari istri muda ayah mati bersama ibu kita. Sebagai ganti, ibuku memberikan satu anak kembarnya sebagai pengganti anak ibu tiri kita. Anggap saja itu penghiburan!”
“Benarkah itu, Run?”
“Ya, seperti itu. Maaf jika aku mengambil semua hal yang kamu suka. Anggap saja ini hukuman karena keserakahanmu. Aku tidak akan memberikanmu kesempatan untuk mencintai siapapun, termasuk aku, saudara kandungmu…”
Darah segar mengalir dari kepala bagian samping…. Itu Runi, yang menancapkan tusuk rambutnya ke kepalanya sendiri, yang juga digunakannya untuk menyayat bilik dada Bungsu.
Kris, hiduplah sendiri. Anggap saja ini hukuman dariku. Rasakanlah bagaimana nikmatnya hidup dengan tidak ada satupun orang yang mencintai dan kamu cintai…
ditulis @misterkur dalam http://samuderakering.wordpress.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment