Hope I’m not disturbing you
Because you look into thought right now
I don’t mean to be rude
Cause this is normally not my style
Can I take you out
I feel that if I don’t ask, chance will pass
And I’ll never see your face again,
I’ll never see your face again. No!
“Cello.”
“Rimba.”
Kita adalah pendatang baru di dalam sekumpulan orang-orang pecinta aksara yang menjelma menjadi rasa.
Bukan tak sengaja kita berkenalan saat itu. Aku bisa ada di sana karena hasil dari kesepatanku dengan temanku, Aya.
“Banyak yang bisa kamu dapat kok dari pertemuan weekly aku dan teman-teman nanti.”, Aya meyakinkanku suatu senja.
Lagi pula, jurusan Sastra Inggris yang kuambil saat kuliah dulu cocok dengan perkumpulan pecinta kata-kata indah dan romantisnya Aya. Itulah alasan kedua mengapa aku mau bergabung.
Dan hadirlah aku di coffee shop minggu lalu. Yang sesekali hanya menebar ukiran senyum mendengar celotehan tujuh orang teman Aya yang sudah sering berkumpul. Meski diam lebih mendominasiku. Oke, aku ralat, kita berdua yang lebih banyak diam.
“Tinggal dimana?”, aku berusaha mencairkan suasana denganmu.
“Bintaro.”
“Oh dekat Nomo ya?”
“Iya, makanya ke sininya sama-sama.”
Aku menyambut dengan anggukan tanda mengerti. Lalu, kita kembali larut dalam ngalor ngidulnya kelompok pecinta puisi. Tidak ada kelanjutan obrolan di antara kita.
Asumsiku, kamu belum nyaman dengan lingkungan baru. Atau, kamu seorang yang introvert. Entahlah. Karena tak banyak informasi yang kudapatkan darimu.
Siapapun takkan nyaman bila dihadapkan dengan lingkungan baru. Ibarat Alien yang nyasar ke bumi. Perlu banyak adaptasi. Tak ingin merusak suasana hangat yang ada, aku berusaha menunjukkan kesan pertama yang baik. Itu saja.
Tiga jam sudah. Tak terasa. Aku dan Aya pamit lebih dulu. Sedangkan yang lainnya masih berenca untuk melanjutkan kegembiraan dengan berkaraoke. Termasuk kamu. Dan kita harus berpisah.
*
Pada gelap yang menggantung, dimana Purnama sedang bercumbu mesra dengan awan.
Ada yang salah malam itu ketika sampai di rumah.
Ada yang beda dengan diriku saat kujatuhkan badan di atas pembaringan.
Ada yang tidak beres dengan otakku malam itu di atas pembaringan.
Sialnya semua itu tentang kamu, Cello.
“Kamu percaya cinta pada pandangan pertama?”
Ingatku…Ketika tangan kita bersentuhan
Ada nada indah musik gesek bergetar menjalar ke dalam pori-poriku
Serupa dua sisi magnet yang menyatu, rekat dan tak ingin melepaskan tanganmu
Di sana ada kelembutan yang tegas menyapaku untuk meminta, “Bolehkah aku mengajakmu makan malam berdua suatu hari nanti?”
Ingatku…
Ketika mata kita beradu pandang
Ada unsur Kimia yang melebur menjadi sekawanan rasa
Waktu juga menyuruh kita untuk mencuri perhatian lewat tatapan
Di sana ada kekaguman yang tak habis-habis serta tergambar, “Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Bisa?”
Ingatku…
Ketika (mungkin) pikiran kita menyatu tanpa disadari
Ada bahasa tubuh yang mengisyaratkan ketertarikan untuk tak ingin berjarak
Cangkir kopi kita saja bisa saling menghangatkan, tapi tidak kita
Di sana, dalam interval yang telah membuat titik, penanda belum waktunya kita berbuat apa-apa yang berusaha menyapa, “Aku mau mendengarkan kisahmu. Keberatan?”
Ingatku…
Ketika semua harapan kutuliskan di selembar kertas yang lalu kusimpan di dalam laci terkunci di sudut otakku
Berisi, “Semoga kita berjumpa kembali. Karena ini belum berakhir.”
Rimba kepada Cello, 2 September 2012
ditulis @TengkuAR dalam http://tengkuar.wordpress.com
No comments:
Post a Comment