Sunday, September 9, 2012

Ini Tentang Aku dan Kotamu


Ini tentang aku, yang terlalu dini untuk mencintaimu. Tentang aku yang berharap banyak untuk masa depan bersamamu. Juga tentang aku yang bahkan belum tahu sebenarnya, apakah kau juga sama mencinta sepertiku.

Hujan turun semakin deras. Mengguyur seluruh tubuhku. Jalanan sepi, petir menyambar, dan aku berjalan menyusuri sepinya jalanan kota ini.
Kota ini…lagi.

Kemarin aku begitu bahagia. Akhirnya aku bisa datang ke kota ini untuk melepas segala bentuk rindu kepadanya. Rindu yang sudah aku pendam sejak 3 bulan yang lalu, terakhir aku dan dia bertemu. Seperti gadis remaja yang sedang jatuh cinta, suara deru roda kereta menyatu dengan detak jantungku yang tak keruan pertanda bahagia. Langit senja terlihat begitu bercahaya dan merona mewakili wajahku yang sumringah. Senyum indah bak peri kahyangan tak kunjung reda terbentuk di bibirku. Membayangkannya menungguku turun dari kereta dengan senyum dan lesung pipi itu. Yah, aku merindukan lesung pipinya. Juga pelukan hangat yang mencairkan dingin tubuhku yang belum terbiasa dengan udara di kotanya.

—-

“Aku ingin berbicara serius denganmu, Nia.” Katanya saat kami makan siang.
Kami sedang makan siang di kafe favoritnya. Dan juga menjadi kafe favoritku semenjak dia mengajakku kemari untuk pertama kalinya setahun yang lalu.

“Bicara tentang apa?”
Dia diam. Lama. Hingga aku memutuskan untuk memberikan pertanyaan lagi kepadanya mengenai kami.

“Apa rencanamu untuk hubungan kita ke depan?” Dia masih saja diam.
“Kita sudah lama menjalin hubungan ini. Jarak dan waktu bukan hal yang mudah untuk kita bukan?” Dia tetap diam. Menunduk menatap piring yang hampir kosong.
“Aku ingin sebuah kepastian, Adi.”

“Nia…” Dia menatapku tajam tanpa senyuman. “Ibu menginginkan aku menikah…” Lanjutnya.
Aku tersentak bahagia. Yah, aku amat sangat bahagia mendengarnya. Bagaimana tidak? Ini adalah keinginan terbesarku, menikah dengannya dan menghabiskan sisa hidupku di kota ini bersamanya.
Akhirnya aku bisa mengalahkan jarak dan perbedaan waktu adzan yang hanya beberapa menit di antara kita, pikirku bahagia.

“Dengan anak temannya….” Lanjutnya mengambang.

Tiba-tiba langit bergemuruh bersamaan dengan detak jantungku yang kala itu berhenti sejenak. Aku tak bisa merasakan nafasku. Aku bahkan tak sanggup mengedipkan mataku. Genggaman tanganku pada cangkir kopi favoritku mengendur bersamaan tubuhku yang melemas dan menyandar pada kursi rotan kafe itu.

“Kau tahu aku amat mencintai ibu. Kau tahu aku berbakti kepadanya melebihi apapun. Itu permintaan terakhirnya, Nia.”
Aku masih memandangnya tanpa berkedip. Aku merasakan ada bendungan air di kelopak mataku yang siap jatuh kapanpun aku mengedipkan mataku.

“Maafkan aku, Nia. Aku harus menyerah terlebih dulu dengan hubungan kita. Aku akan menikahi gadis pilihan ibu.”

Dia beranjak dari kursinya kemudian berjalan ke arahku. Duduk bersimpuh di sampingku sembari merengkuh jemari tanganku dan menenggelamkan wajahnya pada pangkuanku.

“Aku mencintaimu, Nia… Tapi aku tak sanggup melawan ibu.” Katanya lagi.
Aku masih tak sanggup mengedipkan mata. Bendungan airmata semakin memenuhi kelopaknya.

“Kau berjanji akan mengalahkan segalanya untukku, Di.” kataku berusaha menahan airmata agar tak jatuh.
“Kau yang dulu meyakinkan aku bahwa kita bisa bersatu…” Kata keduaku masih membiarkan jari-jariku digenggamnya. Namun entah mengapa genggaman hangat yang biasanya menegarkanku, sekarang terasa menyakitkanku.

“Maafkan aku, Nia…”

“Kau yang dulu mengajariku tegar agar tak menyerah pada keadaan dan segala perbedaan kita”
“Kau juga yang membuatku kuat bertarung melawan jarak yang ga dekat buat kita, Di.”
“Kau yang dulu sangat yakin bahwa ibumu bisa menerimaku. Kau yang meyakini semua itu, Adi!!!”

Hujan turun pada gemuruh petir ketiga. Di saat itu juga aku berusaha mengedipkan mata dan menjatuhkan semua isinya.
Pipiku menghangat dan basah. Aku tak mampu lagi meneruskan kata-kata. Tenggorokanku tercekat. Sakit. Udara dingin yang selalu aku rindukan terlalu menusuk tulang.

—-

Dan di sini, aku berjalan menyusuri kotamu, dibawah rintikan hujan yang dinginnya menusuk tulang. Aku, yang dulu kau bilang adalah tulang rusukmu.

Di kota ini aku pernah berjanji akan kembali menghabiskan waktuku bersamamu.
Di kota ini aku sempat bermimpi akan hidup selamanya bersamamu.
Kota ini adalah rumah bagiku, dan kamu adalah ruangan ternyamanku untuk melepaskan rindu dan lelahku.

Dan di kota ini…
Aku berhenti mencintaimu dalam sekejap waktu.


Aku tak percaya lagi
Dengan apa yang kau beri
Aku terdampar di sini
Tersudut menunggu mati

Aku pulang…
Tanpa dendam
Kuterima kekalahanku…

Kau ajarkan aku bahagia
Kau ajarkan aku derita
Kau berikan aku bahagia
Kau berikan aku derita…


Terinspirasi oleh: Sheila On 7 - Berhenti Berharap


ditulis @iddailiyas dalam http://iddailiyas.tumblr.com

No comments:

Post a Comment