Friday, September 21, 2012

Jangan Berakhir!



Aku menghisap rokok dalam-dalam sambil memandang jauh ke ujung rel kereta api yang entah berujung di mana.

Sejurus kemudian kualihkan pandanganku padamu di ujung peron, yang sedang duduk kalem mananti kedatangan jemputanmu dan sesekali rambutmu diterpa sepoi angin sore.

Selanjutnya, tatapan kita berpagutan. Lengkungan kecil menato bibirmu dan mata beningmu yang hampir setiap hari kulihat selalu dapat mendatangkan setitik nyala api di didiriku untuk ingin berdekatan denganmu.

Sayang, detik tak berpihak pada kita yang masih ingin bersama serta menjadikan jarak antar dua peron seolah sulit di untuk ditempuh.

Berawal dari pertanyaan lancangku ketika melihat wajahmu yang lugu dan kebingungan saat di stasiun sebulan lalu. Kelancangan yang berbuah anuagerah indah bagi kita.

“Sedang menunggu seseorang atau?’

“I..iya. Menunggu dan janjian.”

“Dari arah mana?”

“Tanah Abang.”

“Oh.. kalau mau menunggu di peron seberang. Jadwal keretanya sebentar lagi.”

“Terima kasih.”

Lalu, hari demi hari karena seringnya bertemu, semua berjalan tak ubahnya seperti di lakon sinetron drama cinta, dua anak manusia menjadi jatuh hati.

*

Jujur harus kuakui, kau tiba-tiba datang di saat aku tengah merasa bosan akan cinta. Dan ajaib. Hadirmu dapat menyalakan perapianku yang mulai padam. Bahkan hingga aku merasa kegerahan. Gerah yang teramat sangat dan hanya kamulah isotonik pengganti ion tubuhku yang mampu menetralisir kondisiku.

Berdua kita melengkapi dan telanjang dalam kata mesra tanpa sehelai kain pun.

“Sampai besok?”

“Iya. Seperti biasa. Sisi jalan tempat kita biasa bertemu. I love you.“

“Pasti. I love you more.”

Berpisahlah kita menyesuaikan arah pulang dan peron yang akan membawa masing-masing diri ke tempat tujuan.

Berbekal baju pengharapan, di dalam dirimu aku menemukan ketenangan, setelah sekian lama aku dililit resah dan gundah dalam hubungan antar dua manusia yang kurasa kini hambar. Padamu, rasa itu menjelma serupa bunga di musim semi. Mekar kembali dan mengundang kupu-kupu untuk diambil sarinya. Ya, rasa itu datang tanpa direncanakan, begitu saja adanya.

*

Aku semacam kembali hidup setiap harinya. Hidup di dunia yang penuh keindahan dan kenyamanan; termotivasi. Ada nirwana yang kausuguhkan sebulan ini, setiap hari perjumpaan. Inikah yang disebut kasmaran? Atau hanya pengembaraan? Apa pun namanya. Aku ingin kamu tahu. Kepadamu, cinta itu terlahir. Kuyakin.

Hari ini pun, kangenku menggugat lagi dan tidak mau kompromi.

“Boleh kujemput sepulang kerja?’

“Tidak perlu.”

“Kenapa?”

“Hanya tak perlu saja. Oh ya, ada yang ingin kujelaskan.”

“Apa?”

“Nanti saja kita bertemu di tempat biasa.”

Aku tak membalas ucapanmu yang terdengar aneh. Asing. Tidak biasanya. Something wrong, i think?!

Teretas di kepalaku berbagai macam tanda tanya dengan awalan kata tanya yang beragam. Padahal detik ini, aku hanya ingin merasakan tentramnya menggenggam jemarimu.

Mentari akhirnya siap menenggelamkan diri ke pembaringan. Dengan setia, aku telah menunggumu di sisi jalan setapak tempat biasa kita janji temu memadu rindu terlarang dari cinta yang tak dapat kita ingkari.

Tak kudapatkan keceriaan di wajahmu sore itu. Yang ada hanyalah kaku dan lesu. Kesimpulan yang sempurna ketika ia makin dekat padaku.

“Hai..kok kayaknya kelihatan…”

“Aku ingin kebersamaan kita disudahi.”

Aku tercekat.

“Aku tidak bisa begini terus.”

Aku bergeming.

“Dan kuharap, ini terakhir kita bertemu. Aku tidak bisa menjalani ini dengan selalu kucing-kucingan di belakang suamiku..dan istrimu. Suamiku yang menjemputku dan istrimu yang kaujemput. Dua orang yang secara sah telah ada dikehidupan kita. Dua orang yang selalu ada dipenglihatan kita, di stasiun yang sama hanya berbeda peron dan arah.”

‘Tapi ini tidak adil…”

“Maafkan aku harus begini.”

Senja sore yang syahdu mengiringi jejak kepergianmu yang menjauh, membelakangiku.

Ini mungkin jalan terbaiknya. Ia benar. Sebelum semuanya menjadi lebih dalam.

Sakit karena kenyataan lebih baik ketimbang harus terus sembunyi dalam kesemuan. Meski aku ingin berteriak ‘Jangan Berakhir!’ tapi… ah terima kasih kamu yang telah menjadi sebagian dari takdirku.

*

Aku menghisap rokok dalam-dalam sambil memandang jauh ke ujung rel kereta api yang entah berujung di mana.

Sejurus kemudian kualihkan pandanganku di ujung peron, tak kutemukan kamu di sana. Rinduku karam. Hariku kembali kelam. Tak ada lagi tempat bersandar untuk cintaku yang bukan sekedar; padamu.

Demi kehidupanku yang terus berjalan, kusanggupi bersandiwara di depan istriku yang datang untuk kujemput.

*

Akhirnya kita harus memilih
Satu yang pasti
Mana mungkin terus jalani
Cinta begini

Terinspirasi dari lagu Cinta Begini dari Tangga


ditulis @TengkuAR dalam http://tengkuar.wordpress.com

No comments:

Post a Comment