“Jadi dia mengkhianatimu lagi?”
“Ya”
“Tsk. Dan kamu masih saja mau untuk bertahan?”
“Mengakhiri sebuah hubungan pernikahan bukanlah perkara yang mudah, Ga”
“Tapi untuk apa terus bertahan jika akhirnya kamu akan tersiksa?”
“Entahlah, aku sendiri juga tak mengerti”
“Ketika bertahan sudah tak lagi memungkinkan, mungkin seharusnya kamu menyerah, Nad”
“Bagaimana dengan kamu sendiri? Bukankah kamu juga sama?”
“Setidaknya aku punya alasan. Karena aku masih menunggumu untuk memberiku kesempatan.”
“Hatiku sudah terisi, Ga. Tak mungkin aku membiarkanmu masuk”
“Setidaknya beri aku kesempatan satu kali, Nad. Ijinkan aku untuk membuktikan semua rasa ini”
“Harus kukatakan berapa kali lagi? Pintu hatiku sudah tertutup. Toh tak ada gunanya juga jika aku memberimu kesempatan”
“Tapi ini tidak adil, Nad. Kau tak pernah memberiku kesempatan. Sementara dia, sudah berulang kali kau maafkan.”
“Sudahlah, Ga. Mungkin kamu harus mengerti, terkadang cinta tak harus memiliki”
“Omong kosong. Aku tak percaya itu. Bukan cinta namanya jika hanya menghadirkan luka.”
“Lalu apa jika bukan cinta?’
“Mimpi”
“Mimpi?”
“Ya, Cinta tanpa memiliki sama saja dengan bermimpi. Kita hanya bisa berharap jika tidak memiliki.”
“Lalu kamu sendiri?’
“Selama ini memang aku hanya sedang bermimpi, bukan mencintai. Sedang menciptakan harapan-harapan yang tak kunjung menjadi nyata.”
“Cinta memang tak selamanya sesuai dengan keinginan dan harapan kita, Ga”
“Tapi ia selalu layak untuk diberi kesempatan, Nad”
“Aku tak kan pernah bisa membalas cintamu. Kamu harus bisa menerima itu.”
“Haha, aku tak pernah memintamu untuk mencintaiku.”
“Maksudmu?”
“Aku tak pernah peduli dengan perasaanmu kepadaku. Aku hanya peduli dengan perasaanku kepadamu. Aku bahkan mungkin tak peduli jika kamu tidak bahagia bersamaku. Aku hanya ingin kau mengijinkanku untuk memilikimu, Nad. Hanya itu.”
“Kamu egois, Ga”
“Memang. Tapi rasa, takkan pernah bisa untuk dipersalahkan.”
ditulis @bumihr dalam http://bumiherarihlatu.tumblr.com | Ijinkan Aku Menyayangimu
No comments:
Post a Comment