Malam yang biasa mereka tidur berpelukan. Dewi memeluknya lebih dulu hingga mereka tertidur. Pagi menjelang bangun, Budi yang memeluk Dewi. Mesra.
Hanya mereka berdua. Tanpa anak dan cucu. Tak pernah ada diantara mereka. Bukan mereka tak menginginkan atau mereka mandul tapi beginilah perkawinan mereka. Apa adanya. Mereka saling menerima dan tanpa syarat.
Tiga puluh sembilan tahun menjalani pernikahan. Sempurna? Mereka tak pernah tahu yang disebut pernikahan sempurna. Beginilah pernikahan mereka selama ini. Saling memiliki. Budi sudah pensiun sebagai seorang dosen dan peneliti. Dewi, istrinya selisih 4 tahun lebih muda, setelah pensiun dini sebagai karyawan swasta kini mengelola sebuah usaha laundry.
Apa adanya. Meski ada juga gejolak dan gelombang sepanjang pernikahan mereka tetapi cinta mereka terlalu kuat dan melalui selama ini. Pagi ini kurang dari sebulan mereka akan merayakan empat puluh tahun pernikahan, tak ada rencana pesta. Cukup mereka saja.
Ah cinta, begitu perkasakah engkau ada diantara mereka.
Siang yang sibuk. Hari ini adalah saat pemeriksaan jantung Budi ke dokter terpercaya di rumah sakit umum. Budi sendiri saja berangkat dengan angkutan umum. Dewi sedang sibuk dengan karyawan laundrynya. Budi pun telah pamit. Sejak diketahui mengalami kelainan jantung, Budi tak boleh lagi menyetir mobil.
Sesampai di rumah sakit, panas dan terik, dan antrian mulai memanjang. Budi pun sabar ikut mengantri. Tak sendiri karena di sini ada banyak kawan pensiunan dari berbagai instansi. Pemeriksaan kesehatan rutin. Hampir 2 jam lebih Budi menunggu. Lupa membawa botol minum yang disediakan Dewi. Untunglah namanya segera dipanggil.
Dokter Ario. Bukan Dokter Anas, dokter ahli jantung yang biasa memeriksa Budi. Rupanya Dokter Anas sedang bepergian, dan sementara digantikan dokter Ario. Masih muda. Lebih cocok disebut anak bagi Budi.
“Selamat siang Bapak Budi,” senyum ramah seorang dokter muda.
“Selamat siang, Dokter. Pengganti sementara Dokter Anas ya?” tanya Budi.
“Iya, beliau sedang bepergian. Saya baca dulu catatan yang ditinggalkan Dokter Anas ya, Pak Budi.”
“Silakan dokter. Jantung saya memang sakit dan berbeda dengan yang lain. Mohon jangan kaget,” masih sempat Budi melemparkan canda.
Dua menit kemudian.
“Mari Bapak, saya periksa dulu.”
Stetoskop pun ditempelkan. Dingin.
“Hmmm… hmmm…hmmm…,” ketiga kalinya sebuah hmmm digumamkan Dokter Ario.
Budi hanya memandang mencoba membaca raut wajah dokter itu.
“Bapak Budi, sebaiknya berbaring dulu ya, jangan bergerak, sabar ya Pak.”
Budi hanya mengiyakan. Dokter Ario bergegas memanggil seorang perawat. Berbincang sesuatu. Sesekali memandang Budi yang berbaring. Perawat keluar ruangan. Sejeda. Masuk kembali.
“Pak Budi, mohon sabar ya Pak, kami carikan kamar. Bapak, anggota Askes pemerintah ya?” tanya perawat itu.
Kembali Budi mengiyakan. Suasana pun tiba-tiba menjadi cepat, dan seperti ada suatu kepanikan saja. Budi masih berbaring seperti yang dikatakan Dokter Ario. Seorang perawat memasangkan jarum infus.
Heran. Budi hanya bisa bertanya dalam hati saja. Ada apa dengan dirinya. Budi menurut saja kepada dokter dan perawat itu. Hanya satu yang dikuatirkannya. Dewi.
****
Hari ini Dewi sangat sibuk sekali. Rejeki mengalir. Usaha laundry sedang laris manis. Tak hentinya order masuk. Pembantunya hanya seorang dan hampir kewalahan. Dewi ingat hari ini adalah jadwal Budi kontrol ke dokter. Tadi pagi dia meminta maaf tak dapat menemani seperti biasanya. Budi pun memaafkan, memahami kesibukan Dewi.
Meski sibuk, tapi Dewi gelisah memikirkan Budi. Dia tahu Budi mandiri, tapi hati resah sebagai istri tetap menghampiri.
Sudah siang terik matahari meninggi Budi pun belum pulang, belum ada kabar. Mungkin antrian sangat panjang. Hanya membatin saja. Dewi pun menunda kembali untuk menelepon Budi. Sebentar lagi.
Kriiiiiiiiing…
Kriiiiiiiiing….
“Ah, pasti Budi.” Dewi bergegas.
“Selamat siang, bisa berbicara dengan Ibu Dewi, kami dari Rumah Sakit Umum.”
Dewi terhenyak. Berusaha tenang dan sabar.
“Saya sendiri?”
“Oh, begini Ibu, kami mengabarkan bahwa Bapak Budi berada di rumah sakit kami, sekarang Beliau berada di kamar Dahlia 301. Sesuai petunjuk Dokter Ario bahwa Bapak Budi dimohon untuk beristirahat.”
“Baiklah, saya segera ke rumah sakit. Terima kasih.” Dewi pun menutup pembicaraan.
Tanpa suara Dewi hanya mengusap air mata.
“Oh Budi, bertahanlah demi aku,” berkata dalam desahnya.
Dewi pun segera memesan sebuah taxi dan segera mempersiapkan segala yang diperlukan Budi selama di rumah sakit. Entah untuk berapa lama. Dewi hanya pasrah.
Sepanjang perjalanan, sepanjang doa diucapkan untuk Budi, untuk mereka.
“Budi bertahanlah,” desah Dewi.
****
“Aku ini baik-baik saja. Dokter itu pengganti Dokter Anas, sudah kukatakan jantungku ini memang sakit. Jika diperiksa pasti berbeda dengan yang lain,” bersungut-sungut Budi menjelaskan kepada Dewi segera setelah tiba.
Dewi tersenyum mendengar penjelasan Budi sambil mengelusnya. Menyimpan kembali sebuah kekuatiran dan air matanya.
****
Hari ke-5 Budi di rumah sakit. Dewi masih menjaganya. Sabar. Budi terkadang bertingkah seperti anak kecil. Besok Budi sudah boleh pulang. Dokter Anas akhirnya kembali dari bepergiannya dan sudah memeriksa hasil Budi. Semua “baik”, dokter pun mengijinkan besok sudah boleh pulang.
Malam terakhir di rumah sakit.
“Dewi, tidurlah di ranjang bersamaku. Pasti masih muat untuk kita berdua. Aku ingin dipeluk.”
“Eh, mana boleh. Nanti ketahuan perawat bisa kena tegur. Malu kan.”
“Aku ingin sekali dipeluk sampai aku tertidur nanti,” sambil bergeser posisi ke tepi.
“Aku elus-elus saja ya, seperti kemarin.”
“Dipeluk. Naiklah. “ berkeras Budi meminta.
Dewi akhirnya menuruti keinginan Budi. Ada sedikit berdesir di hatinya. Sebuah kekuatiran menyergap yang tidak ingin dipikirkan malam itu.
Dewi pun tidur disamping dan memeluk hingga Budi tertidur. Gelisah masih menjaganya, tak lekas tidur. Hingga kelelahan hati dan firasat datang, Dewi pun tertidur.
Hingga subuh berlangit suara mesra panggilan dari Tuhan.
Dewi terjaga, dan mendapati dirinya dalam pelukan Budi. Dengkur perlahan di telinganya. Lega. Budi diciumnya perlahan.
Budi terbangun. Dewi baru saja selesai menjalankan ibadahnya dan segera mendapati Budi sedang tersenyum memandang. Mereka berpelukan.
Selamanya saling memiliki.
Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti
ditulis @embunbeningpagi dalam http://embunbeningpagi.wordpress.com | Takkan Terganti
No comments:
Post a Comment