Senja kembali datang. Sama seperti rinduku yang kembali menyeruak ke ubun-ubun. Mengitari kepala tanpa henti. Menyusahkan seluruh syaraf motorik didalamnya. Melumpuhkan segala indera yang kupunya.
Sudah tiga bulan hubunganku yang sudah 3 tahun lebih kujalani dengannya berakhir, namun aku masih sama sekali belum berhasil mengusir bayangnya dari benakku. Aku seperti diperbudak oleh nafsuku. Aku seperti disetir oleh amarahku. Amarah atas kekesalanku kepadanya. Amarah atas ketidak-ikhlasan hatiku menerima keputusan darinya. Amarah atas rasa kecewa dan sakit mendalam yang kurasakan.
Tidak! Mau sampai kapan aku seperti ini? Aku harus bangkit. Aku harus mampu kembali berdiri. Aku harus bisa hidup lagi! Teriakku dalam hati tiap kali aku merenung memikirkan nasibku yang semakin hari semakin terpuruk ini.
Aku mencoba mengusir sepi. Kali ini aku serius. Aku benar-benar ingin semuanya kembali. Aku merindukan rutinitasku— dan dia. Ah, tidak! Aku membencinya! Sudah sepantasnya aku tidak menginginkannya kembali! Tidak akan!
Sumpah mati, tak ingin kurasakan patah hati lagi. Cukup sekali ini. Bagiku, tak lagi ada nyali untuk mencintai. Tragedi yang hampir membuatku membeci kehadiran lelaki untuk kukasihi.
◌๛◌
Satu tahun kemudian.
Sepertinya aku mulai merasakan hidup normal kembali. Aku berjalan menyusuri koridor kampusku bersama ketiga sahabatku. Bergosip, membicarakan berita terhangat yang sedang terjadi, baik di televisi, di lingkungan kampus, di keluarga bahkan di kisah percintaan.
Tami adalah sahabatku dari kecil. Dia sangat mengerti hampir semua seluk beluk tentangku. Rumah kita satu komplek. Kita bersekolah di tempat yang sama sejak SD. Awal perkenalanku dengannya adalah saat kelas 4 SD, kita menjadi teman sebangku. Sejak saat itu hampir setiap hari kita bermain bersama, mengerjakan tugas bersama, hingga berlibur bersama. Tami bisa dibilang bayanganku. Karena hampir setiap keberadaanku, dia selalu ada. Hingga dia memutuskan kuliah di Jakarta pun aku ikut dengannya.
Selanjutnya ada Rey dan Kindy. Mereka sahabat baruku. Rey dan Kindy lebih dulu saling kenal. Kedua laki-laki ini bersahat sejak kecil. Sama seperti keberadaan Tami denganku. Kami berempat memulai pertemanan diawal masuk kuliah. Kebetulan waktu itu mentor mengelompokkan kami dalam satu group. Chemistry diantara kita terasa sangat kental. Mungkin itu sebabnya kita nyambung di berbagai macam obrolan sehingga lebih mudah menyatu.
Seperti biasa, aku dan ketiga sahabatku menyapu jalanan Jakarta di sore hari. Jam kuliah kita telah berakhir. Hari masih terlalu pagi untuk kembali ke rumah masing-masing.
“Eh, lagi pada nggak ada acara kan ini?” Tanya Rey.
“Emang lo mau ngajak kita kemana? Kalau nggak ada banyak cewek cantinya gue nggak mau ah.” Timpal Kindy.
“Eh, lo bukannya masih ada Gea, Kin?” Tanyaku kepada Kindy dengan mata melotot mengisyaratkan tak setuju dengan ucapannya tadi.
“Hehehe.” Kindy hanya membalasnya dengan tampang cengengesan, lalu Tami menoyor kepala anak itu.
“Jadinya ke mana kita? Lurus atau belok?” Tanyaku yang pegang kendali stir saat itu.
“Bowling aja yuk! Weekend gini sih biasanya ada banyak cewek cakep pada nongkrong di sana, Kin.” Ajak Rey sambil menyodok pinggang anak itu memberi kode.
“Yeee, dasar buaya!” Seru Tami.
Sejak hubunganku dengannya berakhir, aku tidak begitu memiliki banyak kesibukan. Merekalah pengisi hari-hariku. Berhubung aku anak tunggal dan ayah bundaku bekerja di luar negeri, aku sering merasa kesepian jika hanya berdiam diri di apartemenku. Lagi pula, di sini aku sebagai perantau. Aku bukan asli Jakarta, tak ada sanak saudara yang aku kenal. Tujuanku ke sini hanya untuk kuliah. Rumah orang tuaku sebenarnya ada di Bandung. Aku rasa tak ada salahnya jika aku mengikuti ke mana mereka pergi. Asal masih dibatas kenormalan saja, pikirku.
Ku nyalakan radio tape di mobilku. Ku biarkan lagu mengusir penatku menghadapi kemacetan jalanan ibu kota ini. Tanpa sadar ku nikmati syair yang sedikit mirip dengan kisah hidupku.
“Tuhan, aku berjalan menyusuri malam— setelah patah hatiku..
Aku berdoa, semoga saja ini terbaik untuknya..
Dia bilang, “Kau harus bisa seperti aku, yang sudah biarlah sudah.”
Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu.
Andai saja— cintamu seperti cintaku..”
Seketika aku tersenyum kecut dan memalingkan wajah ke jendela samping kananku. Mungkin benar, yang sudah biarlah sudah, batinku.
◌๛◌
Mobilku sudah terparkir di halaman depan tempat bermain Bowling. Tanpa menunggu lama aku, Rey dan yang lain membuka pintu mobil dan bergegas memasuki arena permainan Bowling tersebut.
Tiba-tiba terdengar dering dari ponselku. Tumben sekali ada yang menghubungiku. Kedua orang tuaku memang sering menghubungiku, tapi tidak di pukul segini. Mengingat mereka tinggal di luar negeri, biaya telfon interlokal sangat mahal, karena hal itu mereka lebih sering menghubungiku ketika hari mulai larut. Lantas aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku.
Seketika tubuhku terbujur kaku. Seperti ada virus yang menyerang membabi buta secara tiba-tiba. Aku ternganga mendapati namanya di layar ponselku. Raka! Untuk apa dia menghubungiku lagi? Kurang puas apa dia memporak-porandakan hidupku setahun belakangan ini? Maunya apa sih?! Gerutuku dalam hati. Dengan gusar aku menekan tombol reject di layar ponselku.
“Tumben lo nggak ngangkat telfon. Ada apa?”, tanya Tami yang tak kusadari sedari tadi memperhatikanku.
“Eh, ng... nggak ada apa-apa kok. Cuman nomor tak dikenal, males aja ngangkatnya. Paling kalau ada penting juga nanti sms sendiri. Eh, udah pada sewa sepatu?” Tanyaku mengalihkan topik.
“Udah kok, tinggal lo doang. Sepatu lo ukuran berapa, Mon? Ke sana aja tanya ke mbak yang itu tuh.” jawab Kindy sambil menunjukkan ke arah petugas di sana.
“Gue 41. Oh, okay, sip.” Jawabku singkat dengan raut muka yang –masih– terlihat gusar. Aku tak begitu peduli apakah Kindy memperhatikannya atau tidak. Semoga saja tidak.
Setelah kudapatkan sepasang sepatu itu, aku berjalan menghampiri mereka yang sedang duduk. Jantungku masih belum kembali berdetak normal gara-gara insiden tadi, tiba-tiba saja aku dikagetkan –lagi– dengan getar di ponselku. Masih dari dia.
1 message arrived
From Raka.
“Hai, Mon. Apa kabar? Lagi sibuk nggak?”
03:49 PM 01/09/2012
Aku mendengus kesal. Andai kau tahu, mengingatmu bagai menguak luka lama, aku yakin kau pasti berpikir empat ratus kali sebelum menghubungiku lagi.
Seketika lantunan lagu itu terputar kembali di benakku. Sepertinya otakku menyadari hal yang baru saja terjadi..
“Selang waktu berjalan— kau kembali datang tanyakan keadaanku.
Ku bilang, "Kau tak berhak tanyakan hidupku. Membuatku semakin terluka."
Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu.
Coba saja— lukamu seperti lukaku."
Sejujurnya, aku masih terlampau sakit hati dengan keputusannya meninggalkanku dulu. Tanpa sebab. Tanpa alasan pasti. Tanpa masalah yang berarti. Percakapan terakhir yang terucap dari mulutnya sesaat sebelum ia pergi, aku masih mengingatnya dengan jelas. Tersusun rapi di memori otakku. Malam itu...
“Halo, sayang!”
“Hai. Ada yang mau aku bicarakan denganmu.”
“Oh, ada apa?”
“Mon, kayaknya kita udah nggak bisa sama-sama lagi.”
“Eh, mm.. maksud kamu apa, sayang?”
“Kita udahan aja, Mon.” Nada suaranya terdengar dingin.
“Udahan gimana maksudnya?” Raut mukaku menegang mendengar ucapannya.
“Kita putus. I'm done.”
“Hah?– done for what, darl?” Aku mencoba memancing tawa.
“Aku.. mulai bosan dengan hubungan kita.”
“W-wait. Are you kidding me, honey?”
“I'm not, Mona. I'm so serious.”
“T-tapi kenapa?” Tanpa sadar aku mulai meneteskan air mata.
“Mulai sekarang jangan panggil aku sayang lagi, ya.”
“Ka.. Tapi–”
“Aku jenuh menjalani semua ini. Tiap hari selalu saja ada keluhan yang kamu ceritakan. Hampir tiap jam kamu selalu memonitor aku. I'm tired, Mon. Please, understanding me.”
“Ka.. I don't know what you mean. Aku nggak bermaksud buat– ”
“Aku capek, Mon. Capek denger curhatan kamu yang kebanyakan nggak penting. Dari dulu aku udah sering omongin ke kamu buat berubah, tapi kamu tetap seperti ini. I'm giving up. On everything. You messed me up, Mon.”
“....” Aku terdiam. Tangisanku semakin terisak.
“Udahlah, Mon. Jangan menangis.”
“Ka.. Aku sayang kamu, Ka.” Ucapku lirih, hingga hampir menyerupai bisikan.
“Aku juga masih sayang kamu, Mon. Tapi aku nggak bisa ngejalanin hubungan ini lagi. Ngertiin aku, ya.”
“....”
“Mulai sekarang kita temenan. Sama kaya dulu lagi, sebelum kita pacaran.”
“....” Aku kembali menumpahkan tangisanku. Kali ini semakin menderu.
“Kau harus bisa seperti aku, yang sudah biarlah sudah.”
“....”
“Jaga dirimu baik-baik, Mon. Bye.”
“Raka, Tunggu!”
Klik.
Telfon terputus. Aku masih meletakkan ponselku di telinga kananku. Berharap kamu masih mendengarkannya diseberang sana. Berharap kamu akan menarik kembali semua ucapan itu. Berharap yang barusan terjadi hanya mimpi. Tapi mustahil sepertinya.
◌๛◌
Sekali lagi, aku tersenyum kecut mengingat percakapan itu. Masih bisa kurasakan segarnya darah yang mengalir ditepian luka hatiku yang ia torehkan setahun silam. Luka yang masih basah. Tak akan ku biarkan kamu menguaknya lagi, Ka.
“Mon? Lo sehat? Atau lagi ada masalah?” Suara itu membuyarkan lamunanku akan masa lalu. Tami memergokiku sedang melamun.
“Ah, iya. Gue sehat kok, Tam. Dan lagi nggak ada masalah juga. Yuk, main!” Jawabku sedikit gugup dengan seulas senyum ceria yang kupaksakan mengembang di wajahku, sekedar meyakinkannya saja.
◌๛◌
Sesampainya di rumah aku segera mandi, membersihkan badan, dan merebahkan tubuhku di kasur setelahnya. Aku memainkan ponselku dan membuka lagi pesan darinya. Raka. Tanpa sadar bibirku bergumam menyebut namanya. Pertama kali. Setelah satu tahun aku mencoba tidak mengingatnya. Lantas, kenapa sekarang dia datang lagi? Aku mendengus kesal. Sepertinya aku akan lebih sulit lagi melupakanmu, batinku. Malam itu, ku benamkan wajahku ditumpukan bantal sudut kasurku. Berharap, esok tak akan ada lagi masa lalu yang mengusikku.
◌๛◌
ditulis @monicaaFB dalam http://monicabelinda.blogspot.com
No comments:
Post a Comment