“Berhentilah mengatur hidupku, Ken. Kita bahkan belum menikah.” Aku menghempaskan badanku di sofa. Ini sudah keseribu kalinya aku dan Ken bertengkar dalam dua tahun hubungan kami.
“Apa kau bilang, aku mengatur hidupmu? Astaga, kita bahkan belum menikah dah kau sama sekali tidak mau mendengarkanku. Gimana kalau kita menikah entar?” Ken melipat ke dua tangannya di dada.
Aku hanya menggelengkan kepalaku, aku lelah dengan pertengkaran ini. Hubungan asmara kami sepertinya lebih didominasi oleh teriakan daripada bisikan lembut. “Aku mendengarkanmu, Ken. Aku mendengar setiap kata yang kau ucapkan. Tapi aku mohon, setidaknya kau memberiku kesempatan untuk bernafas. Ini bukan hanya duniamu tapi juga dunia kita berdua. Aku juga punya keinginan dan kau juga. Kita harus bisa saling mengerti.”
“Tapi aku tidak setuju kali ini. Mara kau akan pegi berdua dengan bosmu itu. Dia laki-laki mata keranjang. Ah.. sudah dari dulu aku tidak menyutujui pekerjaan sekretarismu itu.”
“Kau yang terlalu berburuk sangka. Lagian aku tidak pergi berdua saja, masih ada staf yang lain. Ini kerjaan, bukan jalan-jalan semata.”
Ken mendengus, “Ya kalau seandainya dia menahanmu di tempat tertutup, berarti kalian berdua saja. Entah apa yang akan kalian kerjakan disana.”
Aku menggelengkan kepalaku. “Kita sudah lama menjalin hubungan ini dan kau tahu seberapa besar cintaku kepadamu. Tapi, kenapa kau tidak juga bisa mempercayaiku?”
“Dulu aku memang tahu, sekarang tidak lagi, sejak kau dekat dengan laki-laki hidung belang itu. Siapa tahu kau telah membagi hatimu.”
“Cukup, Ken.” Aku beranjak dari tempat dudukku dan mendekatinya. “Mungkin dia memang laki-laki hidung belang, tapi aku tidak akan pernah masuk ke dalam perangkapnya. Aku hanya bekerja dan aku akan berhenti jika aku mendapatkan pekerjaan baru. Aku butuh pekerjaan untuk menghidupi ibu dan ke dua adikku. Kau tahu itu semua tapi yang ada diotakmu hanyalah betapa aku bisa kapan saja berselingkuh di belakangmu.”
“Aku bisa membiayai kehidupanmu dan keluargamu. Aku sudah mengatakan hal itu ratusan kali tapi kau tetap saja kepala batu.”
Aku kembali menggelengkan kepalaku. “Kita selalu begini, Ken. Membahas yang itu-itu saja dan selalu berakhir dengan pertengkaran. Apa kau tidak capek? Apa yang akan terjadi jika kita menikah kelak?”
“Kalau kau tidak suka kau bisa pergi meninggalkanku.”
Aku menatap wajah laki-laki itu. Laki-laki yang sebenarnya sangat aku cintai. Hanya Tuhanlah yang tahu seberapa besar rasa cinta ini. “Kau memang tidak akan bisa berubah, Ken. Tidak akan.” Lalu aku mengambil tasku dan pergi meninggalkannya.
Don't try to explain your mind. I know what's happening here. One minute it's love and suddenly it's like a battlefield.
One word turns into a war. Why is it the smallest things that tear us down?
Aku membuka pintu rumahku dan tersenyum ketika melihat Ken berdiri di hadapanku dengan sebuket bunga. Selalu begini, pertengkaran lalu diakhiri dengan sebuket bunga sebagai ucapan maaf. Aku bosan. Tapi aku mencintai laki-laki ini.
Aku menerima buket itu, “Andaikan ada bank tempat menyimpan buket bunga maka aku akan membuka rekening disana.” Ken tartawa lalu memelukku erat.
“Maafkan aku.” Aku menenggalamkan wajahku di dadanya yang bidang.
“Aku tidak ingin bertengkar lagi, Ken. aku capek.” Ken mengelus rambutku dan mengecup keningku.
“Aku mencintaimu, Mara. Kau adalah asMaraku.” Jawab Ken dan aku tersenyum.
I never meant to start a war. You know I never wanna hurt you. Don't even know what we're fighting for.
Ken memeluk pundakku sambil ikut melihat daftar undangan yang aku tulis. “Kau mengundang separuh dunia.” Ucap Ken sambil tertawa.
“Kau berlebihan. Aku tidak mengundang separuh dunia, bahkan separuh warga kota ini tidak tercantum di dalam daftar ini.” Aku menatap laki-laki itu dan meletakkan kedua tanganku di pundaknya. “Jadi gimana dengan pengepasan baju besok. Kau siap?” Tanyaku.
Ken menarik nafasnya berat. “Maaf, ternyata besok aku ada rapat yang tidak bisa ditinggalkan.”
Aku menjatuhkan kedua tanganku dan menggeser posisi dudukku. “Ini sudah kesekian kalinya kau membatalkan acara kita.”
“Maaf. Rapat ini sangat penting.”
“Ken, kita akan menikah dan itu hanya dalam hitungan minggu. Tapi sepertinya pikiranmu tidak sedikitpun tercurah kesana.”
Ken meraih tanganku. “Aku percaya dengan pilihanmu. Aku serahkan semuanya kepadamu.”
“Seolah-olah aku yang ingin menikah bukannya dirimu.” Sahutku ketus. “Kalau kau tidak siap lebih baik kita tunda saja pernikahan ini.” Lanjutku.
“Tidak.” Jawab Ken cepat.
Aku menatapnya. “Kau masih saja sibuk dengan pekerjaanmu. Aku seperti ingin menikah dengan angin karena calon prianya tidak pernah kelihatan saat pemilihan tempat, mengurus makanan, pemilihan undangan, semuanya. Kau ingin menikahiku atau tidak?”
“Mara, aku tidak ingin bertengkar lagi. Aku capek.” Jawab Ken.
Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak pernah ingin bertengkar denganmu, Ken. Astaga, kita akan menikah dan kita masih saja selalu bertengkar.”
“Kau yang memulai.” Balas Ken.
Aku menarik nafasku lalu menghembuskannya secara perlahan. Kalau ada penghargaan buat kesabaran pasti aku akan mendapatkannya. Bersama Ken sama saja dengan latihan menahan emosi. “Pokoknya kau harus ada besok, aku tidak akan membatalkan janji kita lagi.” Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan menuju kamarku. Dia tahu pintu depan dan bisa keluar sendiri.
Why does love always feel like a battlefield?
Sudah lebih dari satu jam, sepertinya Ken memang tidak datang. Aku menarik nafasku berat. Bagaimana ini? Kenapa keraguan ini semakin meningkat. Aku mencintai Ken, sangat mencintainya. Tapi sepertinya aku tidak akan bahagia jika bersamanya. Apakah ada yang seperti itu? Merasa tidak bahagia dengan orang yang sangat kau cintai?
“Kenapa ini? Harusnya undangan kita sudah selesai.” Ken menatapku marah.
“Aku tidak tahu, Ken. Kemaren mereka bilang akan selesai hari ini tapi ketika aku kesana mereka mengatakan ada sedikit kesalahan. Undangan itu akan selesai lusa.”
“Lusa? Apa kau bodoh, kita akan menikah tiga minggu lagi dan undangan belum selesai sama sekali?”
“Masih ada waktu, Ken. Sabar donk.”
Ken diam sejenak lalu menghembuskan nafasnya. “Aku jadi bertanya-tanya. Apa kau serius dengan pernikahan ini?”
Aku tersentak. Setelah apa yang telah aku lakukan berani-beraninya dia mempertanyakan keseriusanku. “Harusnya kau bertanya kepada dirimu sendiri. Apa kau serius? Apa kau sangat mencintaiku? Apa kau ingin menikahiku? Aku yang mengurus semuanya, Ken. Dan kau hanya sibuk dengan rapat menyebalkanmu itu.” Aku menelan ludahku. “Aku yang seharusnya mempertanyakan keseriusanmu, Ken. Aku tahu kau mencintaiku tapi aku tidak yakin cinta itu begitu besar hingga kau mau mengurus pernikahan kita bersama. Mungkin sebaiknya kita pikirkan kembali pernikahan ini. Aku tidak ingin menciptkan neraka di dalam rumah kita kelak ketika kita menikah.” Aku pergi begitu saja tanpa menghiraukan teriakan dan makian Ken.
Ken duduk dihadapanku. Tangannya menggenggam erat tanganku. “Katakan, Mara. Katakan kau sangat mencintaiku.”
Aku balas menggenggam tangannya lalu perlahan meletakkan kedua tanganku di pipinya. “Aku mencintaimu, Ken.”
“Lalu kenapa kau membatalkannya. Pernikahan ini tidak mungkin batal. Aku mohon, Mara. Tolong jangan batalkan. Aku akan memperbaiki kesalahanku.”
Air mataku menetes. “Ini demi kita, Ken. Kita tidak akan bahagia jika kita bersama. Pertengkaran hanya akan merusak rumah tangga kita kelak.”
“Aku berjanji tidak akan ada lagi pertengkaran.” Ken memelukku erat. “Aku mencintaimu, Mara. Sangat mencintaimu. Kau asMara ku.” Lanjut Ken. Tuhan, aku tidak sanggup dengan ini semua. Menghancurkan hati Ken membuat hatiku juga hancur berkeping-keping. Tapi hubungan ini tidak akan bisa dilanjutkan ke jenjang selanjutnya, kami tidak cocok sebagai sepasang kekasih, walau kami saling mencintai.
Aku melepaskan pelukkan itu perlahan. Ahh.. andaikan hubungan kami tidak serumit ini pasti aku tidak akan pernah bisa meninggalkan laki-laki dihadapanku ini. “Ken, kita butuh waktu. Jika kita memang berjodoh maka kita akan dipertemukan lagi kelak walau sebanyak apapun wanita yang telah mengisi relung hatimu.” Aku beranjak dari tempat dudukku, mencium keningnya, mengelus perlahan wajahnya. Air mata ini kembali mengalir. Aku tidak tahu kapan hati ini bisa kembali mencintai, karna hanya dia yang memiliki hatiku. Tapi, inilah keputusanku.
Aku pergi tanpa menghiraukan teriakannya memanggil namaku, raungannya, dan kepiluannya. Percayalah, Ken, hatiku jauh lebih hancur dan raungannya jauh lebih menyakitkan.
Can't swallow our pride. Neither of us wanna raise that flag. If we can't surrender then we both gonna lose.
Both hands tied behind my back with nothing. These times when we climb so fast to fall again, I don't wanna fall for it now.
(Battlefield - Jordin Sparks)
Ditulis oleh by @36rd dalam http://36rd.blogspot.com
No comments:
Post a Comment