Monday, September 17, 2012

kgn bdg.

Ketika mencintai sebuah kota karena keberadaan seseorang di dalamnya, kau harus siap jika suatu saat kau membenci orang itu lalu kotanya tidak.
Begitulah. Hari ini adalah siang yang panas di bulan September. Hujan jarang turun. Bahkan hampir langka. Di setiap rumah dengan perekonomian menengah ke atas, kipas angin ataupun pendingin ruangan dipasang nonstop 24jam. Sisanya melebar-lebarkan ventilasi. Memperbesar kemungkinan bergeraknya udara.
Aku sedang berdamai dengan kegerahan dan mendapati linimasaku mengabarkan kecemburuan sosial. Jakarta 34 derajat dan Bandung hujan. Sial. Aku tiba-tiba kangen Bandung. Lalu aku tiba-tiba kangen cinta pertamaku.
Mungkin kita memang tidak pernah tau kapan rindu meminta eksistensi. Ketiba-tibaan yang bodoh kupikir, bagaimana mungkin dengan mudahnya aku mengakui kangen dia padahal baru beberapa menit yang lalu linimasanya kuteliti. Mungkin pengaruh panas. Mungkin pengaruh kicauan tadi. Aku kangen Bandung sepaket dengan aku kangen dia.

And i am temporarily broken
It does not get me off watching you walk


Mungkin kalau tidak panas, tidak ada kabar Bandung sedang hujan, aku tak perlu merasakan rindu sebodoh ini.
Takdirku melewati lima tahun masa-masa mudaku di kota ini, Jakarta. Menikmati panasnya. Macet  dimana-mana. Sumpek. Terlalu banyak manusia dengan tipikal khas ibukota. Emosi yang mudah terpancing dan langkah-langkah kaki yang selalu tergesa-gesa. Sementara di Bandung sana, sejak pertama kali menonton Petualangan Sherina, aku mencintai kota itu dengan kekaguman yang sungguh. Jika di Jakarta gedung-gedung pencakar langit membumi, di Bandung banyak pohon-pohon hijau menjulang tinggi. Disana aku lebih mudah membayangkan bentuk pepohonan tempat Edward Cullen dan Bella Swan menghabiskan kencan pertama mereka. Aku mencintai Bandung dengan segala keteduhannya. Apalagi sejak aku menemukan keberadaannya di kota itu.

I fall for your normal tone
I wanna take part in your tonight’s
dream
This idiocy’s just all over me
Those butterflies won’t stop flying


Mungkin karena rutinitas dan kewajiban menjemukan di hari-hariku, jatuh cinta pada kehidupan dia di kotanya begitu mudah. Bahkan hal-hal kecil yang terjadi disana, bersamanya, menjadi sesuatu yang indah. Dia yang baik dengan kotanya yang apik. Dia yang membuat kisahku berakhir dengan tanda titik-titik. Sebenarnya aku menginginkan tanda baca titik-titik di kisah ini. Sementara dia sepertinya memberi titik. Tapi aku juga tidak yakin, dia seperti tak memberi tanda baca. Terakhir kali kami berkomunikasi dia hanya diam.

I am temporarily broken
When it’s clear and bright i’m
confused


Sejak dia memilih diam, aku menyimpulkan aku mengalami patah hati. Semacam aku berteman dengan sepi, enggan menyapanya duluan lagi. Ah, aku berhak membencinya. Seharusnya dia tidak sepihak begitu menyelesaikan kisah kami. Bahkan dengan tanda baca yang hanya bisa kutebak-tebak. Aku masih ingin menjelajahi Bandung tapi aku tidak ingin kekesalanku padanya memuai lagi.
Panasnya Jakarta makin menjadi-jadi. Mengabaikan semua rasa atas seseorang dari masa lalu itu, kutelusuri linimasa. Jakarta sedang diwarnai politik. Di tab mensyen, seseorang yang menginginkanku untuk menjadi bagian dari masa depannya memberi kabar sesejuk angin beranda.
“ay, minggu depan, abis nyoblos pilkada maen ke bdg yuk!”

Sialnya, sejujurnya, yang terlintas di kepalaku adalah andai mensyen itu dari dia..

I am temporarily broken
When it’s clear and bright i’m confused
And i am temporarily broken
It does not get me off yet flatters me watching you walk


ditulis @ezapia dalam http://komidiputar16.wordpress.com

No comments:

Post a Comment