Monday, September 3, 2012
Simfoni Tiga Dara
Rumah itu jelas tidak terlalu mewah, tapi ruangannya cukup besar untuk menampung keluarga Handyono beserta ketiga putri kembarnya : Shinta, Julie dan Dewi. Sedikit aneh memang, kenapa nama mereka sama sekali tidak mirip, padahal mereka bertiga kembar identik. Rose—ibu mereka yang keturunan Belanda—mengatakan, dengan memberi nama itu ia berharap suatu saat nanti Shinta, Julie, dan Dewi akan menemukan pangeran yang tepat untuk menjadi Rama, Romeo, dan Dewa mereka.
Rosemary Van Houtten, sang ibu yang memang asli keturunan Belanda itu telah meninggal tujuh belas tahun yang lalu, tepat saat ia melahirkan ketiga putri kembarnya. Dan dalam rentang jarak selama itu, tiga dara ini hanya tinggal bersama ayah mereka.
Shinta, Julie dan Dewi memang identik dari segi wajah mereka yang cantik, tapi mereka sama sekali tidak identik dalam segi kegemaran.
Shinta lebih suka memetik gitarnya seharian sambil menciptakan lagu baru atau sekedar bernyanyi mengisi waktu luang. Julie lebih suka melukis. Banyak lukisannya yang sudah terpajang di rumah, bahkan di kamarnya sendiri. Sedangkah Dewi lebih suka menulis. Menulis adalah hobinya sejak kecil, menulis apa saja—cerpen, puisi, essay, cerbung, bahkan novel.
Pagi itu jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi, embun masih menetes membasahi dedaunan di taman, udara pun masih terasa cukup dingin. Begitulah jika tinggal di daerah ketinggian, biasanya panas mentari akan datang sedikit terlambat.
***
TENTANG DEWI
“Shinta !” Aku keluar rumah dan menghampiri saudari kembarku yang sedang asik memetik gitar kesayangannya di taman, “Lagi ngapain lo ?”
Shinta menulis beberapa not di atas kertas, lalu menjawab pertanyaanku dengan nada tidak begitu peduli, “biasa, bikin lagu.”
“Kenapa harus pagi buta begini ? Lagian, di kamar aja kan bisa. Nanti malah sakit lagi.” Aku mengambil tempat duduk di samping gadis itu.
Shinta menghela nafas, “Soalnya yah sekarang ini idenya ada. Kalo harus nunggu nanti siang, ide gue keburu ilang. Kalo di kamar malah suntuk. Asikan di taman, udaranya segar. Brrr..” Shinta menirukan gaya orang sedang kedinginan.
“Huu.. Ya yaa, terserahlah. Mending gue nonton si Julie melukis di dalam.” Aku lalu beranjak meninggalkan Shinta yang masih cuek dengan gitarnya.
***
Setelah masuk ke rumah, aku mendapati Julie duduk di depan kanvas di kamarnya. Matanya sibuk meneliti warna-warna di atas kanvas, sambil sesekali menyapukan kuas ke kanvas untuk merapikan susunan warna. Pasti ia sedang membuat lukisan baru lagi !
“Ngelukis apa, Jul ?” Aku memperhatikan lukisannya yang baru setengah jadi.
“Menurut pandangan lo ini apa?” Julie menghentikan gerakan tangannya dan balik bertanya. Ia menoleh dan memperhatikan reaksiku.
Aku menyipitkan mata, “Hmm, kayak wajah orang ya. Tapi belum sepenuhnya jadi sih. Wajah, wajah cowok gitu!” Aku menebak.
“Right!” Julie mengangguk, “ini cowok gue,” perlahan ia meraba lukisannya.
Aku hanya diam, sambil terus berfikir, Rasanya belum pernah aku melihat Julie jalan dengan cowok, dan wajah cowok ini rasanya familiar. Tidak asing lagi. Dia adalah… !
***
Malam itu juga aku tidak sengaja mendengar percakapan Julie dengan seseorang di taman. Mereka terlihat dekat sekali, tapi wajahnya tidak kelihatan, wajah cowok itu! Ia melihat ke arah lain. Tapi tanpa melihat wajahpun, aku sudah mengenali karakter suaranya..
“Kenapa kok nggak mau masuk dulu?” Julie menyahut.
“Nggak, disini aja. Nggak bisa lama-lama, Sayang.” Cowok itu membelai pipi Julie.
“Ya udah deh. Tapi besok Mas Bhima datang lagi kan? Katanya mau kenalan sama Ayah..”
“Hmm, iya.. Besok datang lag,” hanya itu kalimat terakhir yang ku dengar, tepat setelah itu aku melihat Shinta berlari ke kamarnya dari arah lain. Ia menangis! Sepertinya ia juga baru saja memperhatikan Bhima dan Julie. Ada apa dengan rumah ini…?
***
TENTANG SHINTA
Aku masuk kamar lalu membanting pintu, tidak peduli ada orang yang mendengarnya, lalu menjatuhkan diri di tempat tidur. Keterlaluan !! Julie keterlaluan ! Dia ada hubungan apa dengan Bhima ? Padahal kemarin Bhima janji akan mendengarkan lagu baruku, tapi hari ini ia malah datang menemui Julie !
Pengkhianat !
“Shinta..”
Tok tok… Terdengar suara pintu diketuk, itu Julie.
Aku berusaha mengubah air mukaku agar menjadi datar seperti biasanya, lalu membukakan pintu. Julie masuk dan mengikutiku duduk di kasur, “hey, tebak deh ! Barusan cowok gue datang !” ujarnya sumringah. Daun telingaku bagai terbakar. Bhima dan Julie…?
“Sejak kapan, Jul?” Aku meliriknya.
“Sejak dua bulan lalu. Bhima nembak gue. Terus kemaren kan gue bikin lukisan wajah dia. Besok dia mau kenalan sama Ayah,” pipi Julie bersemu merah.
Aku lalu beringsut ke arah meja belajar dan membuka laci meja. Sebuah kotak musik berwarna hitam kuraih dan kuberikan pada Julie, “liat deh.. Coba baca nama di dalamnya !”
“Bhima Love Shinta..” Julie menirukan tulisan di kotak musik itu, “Nama cowok lo Bhima juga? Kok bisa kembar gitu sama gue? Berarti kita…”
“Bukan, Julie ! Mereka orang yang sama !” Aku menggeleng, menahan emosi, “lo tau ? Itu dikasih dua bulan lalu, tepat waktu kami jadian ! Dan lo ngerebut cowok gue !”
Julie diam, perlahan matanya menyipit, “LO YANG REBUT BHIMA ! DIA PUNYA GUE !” Gadis itu mendadak histeris.
Aku tidak sempat menghindar lagi, Julie tiba-tiba maju dan menyerangku!
***
TENTANG JULIE
Aku tidak terima ! Shinta dengan gampangnya berkata bahwa kotak musik itu juga pemberian Bhima, sedangkan aku memiliki kotak musik dengan model dan warna yang sama di kamarku! Disana jelas tertera nama Julie & Bhima! Shinta merebut Bhima dariku diam-diam.
“JULIE ! APA – APAAN LO ?! LEPASIN GUE !” Shinta berteriak saat aku menjambak rambutnya. Aku tidak berfikir panjang lagi. Persetan!
Shinta merapat ke meja, perlahan tangannya meraih benda-benda di atas meja..
CROSS!
“AAAAARRRGGHH…!” Aku berteriak. Gadis itu menyerangku dengan silet. Tanganku terluka, mengeluarkan darah segar.
Kesabaranku habis sudah, aku kembali maju untuk menyerang, tapi Shinta bertindak lebih cepat dengan mencekik leherku dan menjatuhkan tubuhku ke lantai.
“Lo mau nyerang gue, hah ?!! Liat aja, gue bunuh lo !!” Shinta kalap, lebih kalap daripada tingkahku barusan. Barangkali kami sudah terlalu gelap mata.
Shinta mencekik leherku dengan tenaga yang amat kuat, aku terbatuk-batuk berusaha menahan serangannya. Dalam hitungan detik aku mulai pusing, aku butuh udara ! Nafasku tersengal-sengal, mungkin sebentar lagi aku akan mati dan Shinta akan menang.
BRUK !!
Tubuh Shinta ambruk oleh hantaman guci yang tiba-tiba menimpanya, aku dapat melihat jelas.. Di belakangnya Dewi berdiri dengan wajah pucat.
“De.. Dewi..” Aku berusaha mengatur nafasku.
“Gue udah denger semuanya.” Dewi bergumam, nadanya dingin, tidak seperti biasanya, “Lo berdua pengkhianat ! Lo berdua ngerebut Bhima dari gue ! Dia cowok gue !!”
Aku kembali kaget, ada apa dengan seisi rumah ini?! Kenapa semuanya jadi begini?! Hanya karena Bhim?!
“Wi, sebenernya..”
“Tapi lo cukup seneng kan Shinta udah ‘gugur’ sebelum perang ? Harusnya lo berterimakasih, gue udah bantuin lo. Kalo nggak ada gue, lo bakal mati di tangan Shinta tadi.” Dewi tersenyum sinis, seolah mengejek.
“Terus lo mau apa ?! Mau kalap juga kayak dia ? Norak lo !” Aku berusaha mengalihkan perhatian Dewi. Di tangannya sudah tergenggam sebuah pisau dapur.
“Kalo Bhima cuma ada satu. Sedangkan kita bertiga. Berarti harus ada dua orang dong yang mundur?” Dewi melangkah pelan, maju mendekatiku, “Shinta udah ‘gugur’, sekarang tinggal lo dan gue!” Dewi berlari ke arahku dan siap menghantamkan mata pisau yang amat tajam itu. Aku menoleh ke kiri kanan, berusaha mencari bantuan.
BRAKK!
Tubuh Dewi limbung dan terkulai lemah di lantai, sebelum akhirnya benar-benar kehilangan kesadaran. Aku tadi tiba-tiba saja meraih vas bunga yang cukup berat dan berhasil menghantam kepalanya sebelum ia menusukku dengan pisau.
Hening. Kamar ini seolah dipenuhi bayang malaikat kegelapan. Perlahan aku melihat kotak musik tadi terbuka dan mengalunkan simfoni sendu. Kotak musik itu adalah kotak musik yang sama seperti yang ada padaku dan Dewi.
Kotak musik itu..
Simfoni itu..
Aku pembunuh!…
***
TENTANG MEREKA
“Bagaimana keadaan anak saya, Dok ?” Seorang pria setengah baya menghampiri dokter dengan wajah cemas.
Dokter hanya menggeleng, “luka yang ada pada Shinta dan Dewi parah sekali, Pak. Mereka sedang koma. Saya harap bapak bisa bersabar, butuh waktu lama untuk proses penyembuhan keduanya.”
Lelaki itu menggeleng sedih, “Lalu, ada apa dengan Julie ? Saya tidak habis pikir, ia menjadi kalap dan bisa menyerang bahkan hampir membunuh kedua kembarannya sendiri.”
Dokter itu terdiam sejenak, lalu mengajak sang lelaki berbicara empat mata di ruangannya.
“Menurut saya, ketiga anak Bapak menderita sebuah penyakit kejiwaan. Mungkin penyakit itu tumbuh sedari mereka kecil, atau mungkin juga mereka baru terserang setelah dewasa. Mereka bertiga berkhayal bertemu seseorang yang abstrak. Tidak terlihat mata manusia biasa, namun hanya ada dalam bayangan mereka. Dan gilanya lagi, mungkin ketiga orang yang ada dalam banyangan mereka adalah orang yang sama.”
“Bagaimana dokter bisa tahu ? Siapa orang itu ?”
Dokter Bram menggeleng lemah, “itu ilmu medis dari sudut kejiwaan, Pak. Tadi saya sudah diskusi dengan salah satu teman saya yang ahli jiwa. Tentang siapa orangnya, saya sendiri tidak tahu. Orang itu hanya ada dalam ilusi Shinta, Julie dan Dewi. Jadi, hanya mereka yang tahu bagaimana sosok manusia abstraknya itu.”
“Terima kasih, Dok..” Lelaki tua itu mengakhiri pembicaraan mereka dan menyalami Dokter Bram.
“Ya, sama-sama Pak..”
***
TENTANG BHIMA DAN SEBUAH ILUSI
Bhima, ia memang ada. Tapi ia hanya hidup di dalam bayang – bayang ilusi Shinta, Julie dan Dewi. Manusia biasa tidak akan merasakan kehadirannya. Bahkan Bhima yang berkunjung malam itu sebenarnya juga tidak ada. Jika dilihat baik-baik, malam itu Julie bicara sendiri di taman depan rumahnya.
Julie sekarang duduk meringkuk di sebuah ruangan, ruangan yang gelap, dingin dan di pagari oleh jeruji besi. Dari sini ia tidak bisa berfikir lagi, yang terngiang di kepalanya hanya Shinta, Dewi dan Simfoni kegelapan itu. Simfoni yang muncul dari kotak musik tepat setelah tubuh Shinta dan Dewi rebah ke lantai.
“Pembunuh.. Pembunuh !” Julie menarik-narik rambutnya sendiri. Histeris.
“Julie..” Perlahan Julie menatap ke balik jeruji, disana ada Bhima yang sedang tersenyum sinis padanya sambil mengenggam sebuah kotak musik.
Julie terbelalak. Tiba-tiba di samping Bhima muncul bayangan Shinta dan Dewi. Berlumuran darah..
Bhima, yang hanya sesosok ilusi berhasil menguasai pikiran tiga dara itu, hanya dengan sebuah simfoni.
***
“Di hatiku terukir namamu …
Cinta rindu beradu satu..
Namun s’lalu aku bertanya…
Adakah aku di hatimu?”
(Simfoni Hitam – Sherina)
***
NOTE:
salah satu cerpen lama yang (nggak terlalu sempat) diedit lagi. Pernah dimuat di Kumcer “Dosa Terindah” self publishing by Nulisbuku w/ Jenny Thalia F & Ivana Yusti. *sekalian iklan
ditulis @PPutriNL dalam http://petronelaputri.wordpress.com
Labels:
Hari #2,
Sherina Munaf
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment