Sunday, September 2, 2012

Langit Biru (Sang Arsitek dan Gadis Api)

Ketika kamu harus membayar mahal untuk melihat langit biru….

**

Aku berlari di bawah bayang-bayang gedung pencakar lari. Di belakangku, menggema rangkaian derap-derap langkah dari para guardian. Guardian, huh, setiap kali mengatakannya cuma celaan yang rasa ingin kumuntahkan. Guardian, seharusnya menjadi pelindung. Oh, mereka memang melindungi, hanya kepada mereka yang terpilih.

Kuloncati tumpukan sampah, cicit tikus terdengar di mana berlarian karena terusik oleh keramaian yang aku buat. Sinar-sinar dari lampu yang sekarat menerangi lorong itu. Air berkecipak karena pijakan sepatu bootku. Selanjutnya semua suara itu digantikan hal lain, sebuah letusan. Mereka benar-benar serius. Letusan senapan itu terdengar lagi. Berdesing si sisi telingaku.

Aku terjatuh. Dipaksa untuk jatuh dan berlutut. Ini pertama kali aku berada di puncak Gaia Tower, gedung tertinggi di New United States. Sinar matahari menerobos masuk lewat jendela-jendela kaca besar di luar dinding bangunan. Bentuknya mengikuti terali jendela yang dibuat dengan motif-motif prisma yang kelihatannya abstrak. Di belakang sosoknya, kacanya langsung menghadap langit. Langit yang biru.

Lagi, aku dipaksa kembali, kini dengan dahi yang diangkat dengan ujung senapan, pandanganku pun tak bisa luput dari seseorang di hadapanku itu. Mata birunya mengarah tepat kepadaku. Tatapan mata yang dalam, membuat tubuhku gemetar dalam sekejap. Tubuh tinggi dan bidangnya dihiasi jubah hitam. Paling berbeda dengan orang-orang lain yang ada di dalam sini yang berjubah putih. Aku meneguk ludah. Ketakutan dan terpesona pada saat yang sama.

Itu pertama kalinya aku melihat langit biru dan dia, Sang Arsitek.
**

Mataku masih belum bisa mengenyahkan gambaran api yang menari-nari. Dari ujung bangunan itu dengan sebuah sumbu kecil aku menyulutnya. Butuh waktu lumayan lama membuat api tersebut dengan sepasang batu api yang kugunakan. Namun semua tidak sia-sia, api itu bekerja cepat, laksana raksasa yang kelaparan. Melahap sisi demi sisi bangunan itu, bahkan tanpa perlu usaha keras karena bangunan itu tak bisa lari kemanapun.

Sebab itulah aku berlari di kelokan-kelokan gang sempit seperti sekarang. Ini bukalah aksi pertama yang kulakukan. Gedung-gedung super tinggi itu telah merebut hak kami. Kami adalah penduduk miskin dan kekurangan yang tinggal di lantai dasar dan basement gedung. Hanya harga sewa tempat itu yang bisa kami bayar, termasuk membayar kawanan tikus yang hidup berkeliaran, penerangan yang tidak memadai, dan air limbah yang terus-menerus bocor dari mereka yang hidup di Level.

Bahkan bisa tinggal di Level terendah pun sama sekali tidak menjamin kamu bisa melihat langit biru.

**




ditulis @adit_adit dalam http://aditiayudis.wordpress.com

No comments:

Post a Comment