Monday, September 3, 2012

Lebih Dari Ini

Float - Sementara. Sekedar kembali memaknai cerita yang saya karang sendiri. Cerita tentang aku dan kamu. Bagianku aku tulis sendiri dengan goresan tinta rindu, dan kamu pun menulis bagianmu dengan goresan yang entah. Mungkin rindu, mungkin juga bukan.

Luka. Atau lara, seperti yang tertulis di lirik lagu ini, memang bukan satu hal yang terlalu banal untuk dipikirkan. Ada kalanya kita memikirkan lara hingga kita lupa dengan yang pernah kita sebut bahagia. Namun benar, kita harus percaya terhadap hati kita sendiri, bahwa lara tak pernah melebihi batas kemampuan kita untuk menyembuhkannya.

Saya pernah mendengarkan lagu itu ketika suasana hati saya bisa disebut sedang dirundung lara, dan untuk kesekian kalinya lagu itu menyadarkanku;
Percayalah hati, lebih dari ini pernah kita lalui. Jangan henti disini.
Ya, memang, sudah pernah saya lewati lara yang lebih pekat dari ketika itu. Maka ketika kali itu saya merasakannya, mungin barang sebentar saja akan saya rasa. Sedikitnya mungkin untuk menghormati Tuhan yang telah menciptakan kita perasaan; sebuah medium untuk merasa. Juga lara itu sendiri, yang Tuhan ciptakan untuk mengingatkan kita bahwa bahagia itu ada. Karena tanpa lara, tak akan ada bahagia.

Nikmatilah lara. Benar, nikmati saja untuk sementara. Karena bagaimanapun pada waktunya setiap lara akan berubah menjadi bahagia. Menjadi apa yang kita cita-citakan; bahagia. Bahwa sesungguhnya menjadi bahagia bukan sebuah angan mustahil yang mungkin akan muncul di benak Wladyslaw Spilzman dalam film The Pianist yang selalu dalam hidupnya dirundung lara, walaupun niatnya baik. Bukan, kita bukan Spilzman. Kita adalah tokoh utama dalam cerita kita. Maka tak ada salahnya kita menikmati lara, sambil menunggu datangnya bahagia.


ditulis @pemirza dalam http://menyebutkan.blogspot.com

No comments:

Post a Comment