Aku mengetuk-ngetukkan jariku ke meja. Berpikir. Tema hari ini tentang cinta pertama. Mau tak mau pikiranku melayang padamu. Cinta pertamaku. Kata orang, cinta pertama tak pernah mati. Aku setuju secara literal, namun tidak secara harfiah. Cinta pertamaku tidak hidup lagi. Dalam artian mati, meninggal. 6 tahun sudah sejak kepergiannya. Namun, ia tidak pernah mati. Ada sepetak tempat di pikiranku tempat ia selalu tinggal.
~
Ah, kamu. Masih ingat kapan pertama kali kita berkenalan? Awal masuk SMP. Karena pengaturan duduk, kita jadi harus duduk sebangku. Untuk anak SMP, duduk sebangku dengan lawan jenis tentu saja rikuh. Saat dimana anak-anak di usia yang begitu belia sibuk ber-“ciyeee” dan “suit-suit” melihat kita. Tidak seperti anak laki-laki yang lain, kamu malah menanggapi dengan santai teman-temanmu yang menggoda. Menghilangkan rasa rikuhku.
Kita sering berbagi buku berdua kalau aku (atau kamu) lupa membawa buku cetak. Kita sering berbagi permen yang dimakan diam-diam saat pelajaran tengah berlangsung. Kita sering berbagi jajanan saat istirahat. Kita berbagi banyak hal. Bahkan, sampai sekarang aku masih menyimpan gelang buatanmu untukku. Warnanya merah biru. Anyamanmu sendiri.
Naik kelas 2, kita tak lagi sekelas. Namun, wahai! Saat kelas 3 kita sekelas lagi. Saat itulah aku mulai merasakan apa yang disebut orang sebagai cinta monyet. Aku tertarik kepadamu. Rupanya kamu pun merasakan hal yang sama denganku. Entah bagaimana awalnya, pokoknya kita mulai pacaran. Pacaran a la anak SMP. Duduk bersama, jajan bersama, pulang bersama.
Aku tau banyak hal tentangmu. Aku juga belajar banyak darimu. Ibumu yang yogi dan ayahmu yang penganut kejawen sejati. Tak heran bila di usia yang semuda itu kamu sudah terampil mengontrol pikiranmu. Kamu yang menjelaskan padaku konsep meditasi, cara bersatu dengan alam semesta dan merasakan inti diri kita melewati batas tubuh yang mengungkung menuju dimensi yang lebih tinggi. Aku, dengan pikiran anak SMPku, berusaha memahami penjelasanmu. Kamu tidak tau, bertaun-taun kemudian aku mempelajari meditasi dengan serius, berawal dari penjelasan awalmu.
Tanpa sadar, aku bernyanyi lirih,
“Where was I when the rockets came to life and carried you away into the alligator sky? Even though I’ll never know what’s up ahead, I’m never letting go…I’m never letting go..”
Ah, mengapa aku menyenandungkan lagu itu? Mungkin karena kita yang setelah lulus SMP berpisah dan lama tidak bertemu lagi, hanya berhubungan via jejaring sosial dan sms, dan aku tidak tau apa yang terjadi padamu. Mungkin karena bertahun-tahun aku tidak tau keadaanmu yang sesungguhnya, penyakitmu. Mungkin karena aku masih ingat bagaimana terkejutnya aku ketika 6 tahun yang lalu aku mendapat kabar kerpergianmu selamanya dari dunia ini. Dimana aku ketika “roket” itu datang dan membawamu pergi ke tempat asing? Aku memang tidak tau apa yang terjadi di atas sana denganmu, namun aku yakin bahwa kamu selalu memiliki tempat di pikiran terdalamku.
Tema cinta pertama ini membuatku rindu padamu. Setelah sekian tahun, aku kembali membayangkan senyummu. Tiba-tiba, aku merasakan perasaan mendesak untuk bertemu denganmu. Bukan, bukan dengan mengunjungi makammu. Tapi bertemu denganmu secara utuh. Melihat sosokmu. Menikmati senyummu. Memang sulit. Namun bukan tidak mungkin. Ada satu cara. Dan cara inilah yang satu-satunya terlintas di benakku. Karena, ini kamu. Inilah cara yang selalu kamu ajarkan kepadaku.
Malam sudah menjelang. Jam menunjukkan pukul 11. Sudah larut. Aku memaksa diriku untuk tidak terlelap. Aku memejamkan mataku dan mulai mengatur napasku. Hirup..tahan..hembus..hirup..tahan..hembus. Begitu berulang-ulang sampai aku mulai kehilangan rasa atas tubuhku. Aku tidak lagi memperhitungkan ruang dan waktu. Semua pikiran-pikiran yang menjadi jangkar ku akan realita perlahan menghilang. Saat itulah mulai kubayangkan wajahmu. Aku tidak memikirkan bahwa kamu sudah meninggal. Yang kupikirkan hanyalah kita yang bertemu. Ajaib. Kamu yang detailnya sudah mulai memudar dalam pikiranku kini bisa mewujud sempurna. Tadinya aku lupa bentuk hidungmu seperti apa, tapi kini aku mulai melihat kembali detailnya. Kamu tersenyum, melambai padaku. Aku tidak melihat bibirmu bergerak, namun aku bisa mendengar suaramu mengucapkan, “hai..”
Jadi aku berhasil. Aku mulai berjalan mengikutimu yang bergerak cepat menembus lapisan cahaya berkilauan dimana-mana. Saat itulah aku mulai memperhatikan sekitar. Hamparan semesta yang tak terbatas. Ratusan ribu pendar cahaya keperakan ada dimana-mana. Mungkin inilah quanta, inti dari semua hal di semesta raya. Aku bisa mendengar suaramu;
“Remember to breathe, ‘cause it’ll take your breath away,
When the engines cough, and you blast off, ignite the night with a firecracker flash
Remember to live, ‘cause you’re gonna be thrilled to death,
When the stars collide and your eyes grow wide, take it in with your breath against the glass
Remember to dream, ‘cause it’s gonna be a starry night
Over every town if you look down, so harmonize with the singing satellites
Remember to scream, ‘cause you’re gonna be lost for words,
When the sparks erupt and they light you up, dip your toes in the galaxy ‘cause it’s yours to explore tonight.”
Tepat sekali. Tepat seperti itulah yang dijabarkannya. Aku lupa segala-galanya. Keindahan ini melenakan. Aku tak sanggup berpikir. Yang bisa kurasakan hanyalah aku tenggelam dalam segala keindahan tempat tak berujung dan tak berdasar ini. Aku membalasnya, menyuarakan pikiranku tanpa berbicara sama sekali;
“Rollercoaster through the atmosphere, I’m drowning in this starry serenade
Where ecstasy becomes cavalier, my imagination’s taking me away
Reverie whisper in my ear, I’m scared to death that I’ll never be afraid
Rollercoaster through the atmosphere, my imagination’s taking me away.”
Aku tidak bisa lebih bahagia lagi. Ini benar-benar menakjubkan. Aku melihat berbagai kilasan pikiran orang-orang yang mewujud menjadi ratusan ribu getaran yang bergetar dalam frekuensi berbeda-beda. Semua itu terlihat dalam kilat cahaya keperakan yang bergerak super cepat seperti bintang jatuh, bergerak lalu lalang. Ada banyak kilasan pikiran yang kembali kebawah, menuju asalnya, membawa sesuatu di ekornya. Ada banyak juga yang terus berputar-putar tanpa arah disini. Segala seusuatu disini bergetar, berdenyut, bergerak. Dan semua memancarkan keindahannya masing-masing.
Mungkin ini memang hanya imajinasiku. Mungkin dibawah sana aku sedang bermimpi dan inilah mimpiku. Mungkin aku terhanyut dalam khayalan liarku. Apapun. Yang jelas aku melihatmu berada ditengah-tengah keindahan ini. Kamu mengajakku menjelajahi semesta raya. Entahlah di dimensi berapa. Aku tidak tau sudah berapa lama aku disini. Di tempat ini, waktu tidak berjalan lurus seperti anggapan semua orang, tapi berputar, berlekuk, berbelok, dan memelintir di porosnya, sehingga aku bingung memetakan konsepnya. Yang kutau, aku merasa semakin berat. Semakin berat, hingga perlahan tertarik ke bawah. Aku mendengar kamu bilang padaku untuk sering-sering kesini. Dan lamat-lamat, masih kudengar suaramu dalam alunan melodius berkata seiring aku yang tertarik ke bawah;
“Let’s hear it for the universe
Where it never hurts
Diving in head first
Take a taste of the melting Milky Way
And remember to laugh, ‘cause you’re living in a crazy world
Where you’ll never guess what could happen next
Give the outer limits my regard as you float to fly away..”
Semua yang kurasakan tadi mulai pudar. Aku merasa semakin berat, sampai akhirnya aku bisa merasakan tangan, kaki, kepala, dan yang lainnya. Aku bisa merasakan tubuhku lagi. Perlahan aku menggerakkannya. Kubuka mataku perlahan. Astaga..mengapa bantalku basah kuyup? Menangiskah aku? Sepertinya ya. Karena aku merasakan tusukan kesedihan di dalam sana.
Aku melompat turun dari tempat tidur dan membongkar kotak kenanganku, sampai kutemukan fotomu. Foto kita, yang sedang tertawa ke arah kamera waktu acara darmawisata sekolah. Semua ini menimbulkan kenangan akanmu kembali berpijar. Aku menatap matamu di foto itu dalam-dalam, tanpa sadar aku berujar sendiri, “Ndra, ternyata kamu udah enak ya disana. Kapan-kapan ketemu lagi ya. Aku suka maen-maen di tempatmu….”
Kututup kotak kenanganku, setelah sebelumnya meletakkan foto itu di tempat teratas. Cinta pertama, memang pantas dikenang. Ialah awal mula segala pahit getir asam manis cinta yang kurasakan. Tapi biarlah ia tetap disitu, dalam kenangan, meski aku tau ia tidak akan pernah mati, apapun yang terjadi pada tubuhnya. Cukup sesi mengenang malam ini. Yang penting aku sudah bertemu dengannya dan memuaskan rasa rinduku. Cukup. Ia pun sudah bahagia di sana. Kuharap ia mendoakan kebahagiaanku di bawah sini.
Kulirik jam radioku. Sudah fajar. Saatnya mengucapkan selamat pagi untuk cinta terakhirku.
*) Diinspirasi dari lagu “Alligator Sky” NO RAP VERSION – Owl City
Ditulis @sneaking_jeans dalam http://menyingsingfajar.wordpress.com
No comments:
Post a Comment