Monday, September 24, 2012
Membayar Nyawa
Lelaki itu tersenyum bahagia saat menatap wanitanya dalam balutan gaun pengantin, ia terlihat cantik, walaupun agak sedikit pucat. Mungkin rasa sakit yang dideritanya beberapa hari lalu masih menyiksa.
Gaun itu, yang sengaja dipesannya khusus pada seorang desainer ternama, dan hanya dibuat satu-satunya; untuk wanita cantik yang begitu ia cintai ini.
Perlahan sang lelaki mengulurkan tangannya ke atas meja kecil yang tidak jauh dari mereka, lalu mengambil lipstik berwarna soft dan memoleskannya di bibir mungil kekasihnya. Setelah memperhatikan dengan seksama, ia tersenyum puas. Warnanya ternyata cocok.
“Kamu cantik sekali dengan gaun itu, sayang.”
Sang wanita tidak berkomentar apapun, tapi lelaki itu tahu bahwa ia juga bahagia, jauh di dalam hatinya. Pernikahan adalah salah satu mimpi besar mereka selama ini.
Masih ada perasaan yang tak menentu di hati
Bila ingat sorot matamu yang kurasa berbeda
Oh, janganlah terjadi yang selalu kutakutkan
Beribu cara ‘kan ku tempuh
“Kamu masih sakit? Jangan terlalu dirasa. Sakitnya pasti akan hilang,” lelaki itu bergumam lagi sambil menambah polesan bedak di wajah sang wanita, sebelum akhirnya melingkarkan cincin emas putih yang sudah dipersiapkannya. Cincin pertunangan mereka.
Sedikit terlambat, harusnya ia memberikannya beberapa hari lalu, tapi rasanya tak apa, yang penting benda mungil itu sudah melingkar cantik di jari wanitanya sebagai pengikat.
Ia lalu mengecup punggung tangan pujaan hatinya, lalu akan membuka suara lagi, tapi sebuah berita di televisi mengganggu mereka. Breaking News di sebuah stasiun televisi swasta.
“Selamat siang, pemirsa. Saya Anggun Puspaningrum, inilah Breaking News siang hari ini.”
Seolah opening yang dilontarkan pembaca berita barusan menarik, lelaki itu terdiam, lalu berbalik dan menatap televisi yang menyala di sudut ruangan kecil itu.
“Pembunuhan satu keluarga yang dilakukan oleh putra kandungnya sendiri, hingga saat ini masih belum terungkap. Kejadian itu diduga berlangsung malam hari di sebuah perumahan mewah daerah Jakarta Selatan. Seluruh penghuni rumah yang berjumlah tiga orang ditemukan tewas.” Wanita yang membacakan berita itu terus mengoceh sementara layar televisi beralih menayangkan gambar sebuah rumah elit yang dihadang police line.
“Sejak polisi tiba di TKP, puluhan warga setempat tampak memadati lokasi. Kini jenazah korban berada di rumah sakit untuk diotopsi.”
“Tidak lama setelah polisi memeriksa TKP, seorang lelaki separuh baya bernama Adji mengaku sebagai korban yang selamat dari tragedi berdarah tersebut. Ia juga mengaku mengetahui siapa tersangka dari peristiwa ini. Hingga kini tersangka masih berstatus buron dan Saudara Adji diperiksa kepolisian sebagai saksi.”
Tangan lelaki itu mengepal kuat saat meliat wajah tua bangka yang selama ini membuatnya muak, ditambah lagi dengan wajahnya sendiri yang kemudian ditampilan satu layar penuh sebagai buronan, lengkap dengan identitas.
Ingatannya melayang ke tengah malam di beberapa hari lalu, ketika suara sinis ibunya terdengar.
“Mama sudah bilang, kamu nggak boleh ketemu wanita pelacur itu lagi!”
Oh, cintaku
Kumau tetap kamu yang jadi kekasihku
Jangan pernah berubah
“Tapi aku sayang dia, Ma!”
“Dia nggak akan kembali, Bram.”
“Maksud Mama?!”
“Kalau kamu tidak mau menjauhinya dan dia pun tidak mau pergi, Mama terpaksa memaksanya pergi.”
Lelaki itu baru mengerti maksud sang ibu sepenuhnya saat pria tua bangka bernama Adji yang selama ini menjadi tangan kanan sang ibu masuk ke dalam rumah.
“Sudah saya bereskan, Nyonya.”
“Buang mayatnya jauh-jauh!”
Lelaki muda itu histeris. Seisi rumah lalu tak sanggup lagi meredam amarahnya. Ia meraih pistol dari laci dan menembak seluruh penghuni rumah, termasuk ibunya sendiri.
Kejadian itu terasa amat cepat, bagai potongan film. Adji yang sedang beruntung berhasil kabur malam itu..
Malam itu..
…tapi tidak kali ini. Lelaki tadi berpaling dan kembali menatap jasad wanitanya yang mendingin di atas pembaringan, “dia harus membayar semua rasa sakit yang kamu rasakan, sayang.”
Perlahan air matanya menetes, saat mendapati wanita cantik itu kini hanya bisa diam dan terbujur kaku. Tak bisa lagi tertawa seperti saat pertama mereka bertemu.
Selamanya kan ku jaga dirimu, seperti kapas putih di hatiku
Takkan kubuat noda
Lelaki itu mengisi peluru pistolnya, lalu berbalik dan mengunci seluruh ruangan Villa.
Malam ini juga Adji harus membayar semua kesakitan yang diderita kekasihnya.
***
NOTE:
Marcell – Jangan Pernah Berubah
ditulis @PPutriNL dalam http://petronelaputri.wordpress.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment