Wednesday, September 26, 2012

Memilih Takdir

Aroma susu coklat hangat mengiringi pikiran Maya yang tengah tertegun di teras sebuah villa di kawasan Kintamani, Bali. Dingin merasuk tulang namun tak membuat Maya bergeming.

Selama ini ia selalu mencari pantai untuk melepaskan penat. Sekedar mendengarkan alunan ombak yang tergulung dan kemudian menjadi buih. Namun semenjak kepergian lelaki yang dicintainya tiga tahun lalu Maya enggan menyentuh pantai. Karena pantai itu juga menyiratkan perih. Bagaimana ia dan Tirta pernah berjalan bergandengan tangan bercengkerama bersama buih yang berbisik, merapat tanpa jarak berpeluk dan menjadikan butiran pasir itu saksi kenaifan hati lalu kemudian terlelap manis di atas sehelai kain Bali yang sebenarnya terlalu kecil untuk dipakai berdua. Hilang semua ragu dan tanda tanya mengenai eksistensi cinta. Cinta itu ada, merekalah cinta.

Percintaan yang sempurna. Mereka mensyukuri tiap detak rasa yang dihadirkan satu sama lain, mereka mengerti Tuhan berada di antara mereka hingga rasa itu bisa ada.

Lalu bagaimana hidup memutuskan ceritanya kemudian? Hanya dengan sedikit sapuan ringan maka jalinan asa yang terbangun dengan susah payah itu berpendar hilang seperti air yang menyapukan kuasanya di atas tulisan nama mereka di atas pasir. Hilang tak bersisa.

“Bawa aku. Jalanku adalah di titian langkahmu. Biarkan aku mengikuti engkau seperti pesakitan mengikuti cahaya. Dimanapun engkau, di sanalah rumahku. Apapun yang kau yakini di situ pula asaku berdiri. Hembusan nafasmu penunjuk arahku.” Berurai air mata Maya memohon agar lelaki yang dicintainya tidak pergi.

Ia rela meninggalkan apapun demi meraih masa depan bersama lelaki yang dicintainya. Namun Tirta hanya tertegun memandangi perempuan yang dicintainya dengan buram dan berkaca kaca.

“Bukankah kita sepakat saling mencinta karena Dia ada? Bagaimana dengan sosok pasangan tua yang menantimu di ruang tamu rumahmu? Tak henti memanjatkan doa agar apa yang kalian yakini mampu membuatmu memilih jalan yang benar. Walaupun kebenaran sesungguhnya adalah subyektif. Sudah habiskah cintamu kepada mereka? Sudah antakah tiap butiran air mata mereka di hatimu? Mampukah aku membuatmu menyakiti mereka yang selama ini selalu ada untukmu. Aku tidak mampu Sayang” Ujar Tirta kelu.

“Harusnya kamu sadari ini sejak pertama tangan kita berjabat. Perbedaan itu sudah ada sebelum kita saling berikrar janji. Bahkan mungkin jauh sebelum namaku dan namamu berhasil tertulis. Kita yang memilih untuk terbuai dalam rasa ini bukan? Saling ada dan saling menjaga. Tolong jangan lakukan ini kepadaku Sayang. Aku tidak mampu menolong diriku sendiri tanpa hadirmu. Kamu mengisi aku dengan rasa yang kemudian akan kamu tepikan dengan kepergianmu?” Bercampur rasa yang mendera Maya antara kemarahan dan tak berdaya.

“Mencintaimu akan tetap kulakukan seumur hidupku. Tak ada satupun yang mampu gantikan engkau. Engkau lihat bagaimana kedua orang tuaku memujamu? Dan bagaimana kedua orang tuamu berharap untuk aku mengikuti keyakinanmu? Mampukah aku menyakiti salah satunya? Jangan Sayang. Mereka telah menjadikanmu luar biasa. Karena merekalah aku mampu terkagum-kagum akan engkau, pun sebaliknya. Tak ada pilihan lain selain menepi. Biarkan takdir mengambil alih. Percayalah, ini bukan tentang kita tidak mencintai, namun karena kita sangat saling mencintai” Dan Tirta perlahan melangkah menjauh dari Maya yang terduduk rapuh seolah mati.

Kulepas semua yang kuinginkan. Tak akan ku ulangi. Maafkan jika kau ku sayangi. Dan bila ku menanti. Pernahkah engkau coba mengerti. Lihatlah ku disini. Mungkinkah jika aku bermimpi. Salahkah tuk menanti.

Tak terasa coklat hangat di gelas Maya sudah habis. Sambil menarik nafas panjang ia menaruh gelas itu dan berteriak memanggil putra semata wayangnya yang belum genap berusia tiga tahun “Tirta, sudah maghrib. Ayo masuk Sayang”. Sesosok makhluk mungil berlari ke arahnya memeluk dan menciumnya membabi buta. “Abis malgib main lagi ya Bunda…” Ujar anaknya merajuk manja.

Melihat hal tersebut Maya hanya tersenyum dan berkata dalam hati “Lihat, anak kita ini semakin mirip engkau Sayang. Semoga engkau mampu sebahagia aku, Sayang”. Maya menggendong Tirta kecilnya dan melangkah masuk ke dalam villa.

“Twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are. Up above the world so high. Like a diamond in the sky. Twinkle, twinkle, little star. How I wonder what you are…” Maya bernyanyi lirih bersama Tirta.

Tak kan lelah aku menanti. Tak kan hilang cintaku ini. Hingga saat kau tak kembali. Kan ku kenang dihati saja. Kau telah tinggalkan hati yang terdalam. Hingga tiada cinta yang tersisa di jiwa.

Di suatu tempat di saat yang sama, Tirta sang Ayah berkutat dengan asap rokokdan tetap sendiri dalam ketidaktahuannya.

Tuhan membuat kami melangkah. Namun agama memenjarakan langkah. Kalau Tuhan membenci perbedaan, Dia tak akan melukis pelangi, yang indah mutlak karena warna-warna yang tak sama.

ditulis @hauranazhifa dalam http://hauranazhifa.tumblr.com | Yang Terdalam

No comments:

Post a Comment