Saturday, September 22, 2012
Mimpi Peri Mimpi
Sedikit terengah, kularikan kaki-kakiku secepat kumampu. Dua menit lagi akan resmi menjadi hari pertama aku bekerja di tempat baru. Fiuhh. Tepat waktu! Di depanku, sebuah pintu besar bercat pelangi, jendela mungil warna-warni di kanan kirinya, serta tulisan indah “Rumah Mimpi” di atasnya, menyambut kedatanganku dengan gembira.
Bagaimana aku bisa bekerja di Rumah Mimpi adalah keajaiban pertama. Bagaimana tidak? Dalam mimpi, tepat di hari ulang tahunku ke dua puluh satu, seorang bernama Feya mendatangiku. Ia menawariku pekerjaan yang menurutnya paling menyenangkan di semesta, menjadi seorang Tèväta, peri mimpi. Entah bagaimana, dalam mimpiku, aku mengiyakan tawarannya. Kemudian di malam selanjutnya, Feya, yang akhirnya kuketahui merupakan seorang Samovíla, kepala para peri mimpi, menjelaskan kepadaku segala hal tentang Tèväta, Rumah Mimpi miliknya, dan pelayanan mimpi indah yang ditawarkannya.
Dan di sinilah aku akhirnya berada, di Rumah Mimpi milik Feya, bersiap menjalankan tugas pertamaku sebagai Tèväta tingkat pemula.
***
Tugas pertamaku berjalan luar biasa juga berakhir sempurna. Aku menghadirkan diri dalam mimpi seorang gadis remaja yang sedang dilanda cinta pertama. Di mimpinya, aku menjelma pemuda idamannya, membawakannya seikat bunga, mengajaknya berjalan berdua, lalu mengecup keningnya sebelum ia dibangunkan pagi. Esoknya, Rania, si gadis remaja di mimpi pertamaku tadi, bersekolah dengan senyum paling manis yang pernah ia punya.
Tugas-tugas selanjutnya pun kujalani dengan hati gembira. Menjadi istri yang melahirkan anak pertama, memerankan dosen penguji yang meluluskan mahasiswanya, juga muncul sebagai seorang artis kelas dunia yang memberikan kesempatan untuk berfoto bersama penggemarnya. Selain itu semua, yang paling kusukai dari pekerjaan ini adalah kenyataan bahwa mimpi-mimpi tidak hanya memberikan harapan tak berkesudahan, tapi juga menumbuhkan optimisme tanpa membutakan.
***
Hari ini kumasuki Rumah Mimpi lebih dini dari biasanya. Kecemasan luar biasa meliputi pikiranku. Pasalnya, aku resmi naik tingkat menjadi Tèväta tingkat dua. Dan hari ini pula harus kujalani tugas kesembilan belasku, yang menjadi hal baru buatku karena inilah kali pertama aku diizinkan mengaktifkan falår, kemampuan untuk berinteraksi lebih leluasa dengan pemilik mimpi. Feya yang bijaksana, menenangkanku dengan petuah-petuahnya, juga berulang kali mengatakan kepadaku bahwa semua akan berjalan baik-baik saja.
Klienku kali ini adalah seorang pemuda biasa bernama Fabian. Kepadanya, Feya memilihkan tema cita-cita, satu hal yang mungkin ingin ia pastikan. Di mimpinya, aku memerankan Aliya, rekan Fabian, sesama anggota teater yang akan pergi berlomba ke sebuah negeri di utara.
Di mimpinya, Fabian terdeskripsikan sebagai sesosok pria muda dengan kepribadian luar biasa. Semua orang jatuh hati pada karismanya. Tak terkecuali aku. Walaupun ini bukan kali pertama aku dibuat kagum oleh klienku sendiri, ada pesona lain yang kedapati dalam diri Fabian. Aku sampai lupa aku bisa mengaktifkan falår di mimpinya. Aku bahkan enggan mengakhiri tugasku ketika kemudian pagi sudah memberi tanda bahwa Fabian harus kembali ke alam nyata. Sejak malam itu, Fabian resmi menjadi keajaiban keduaku.
Setelahnya, aku meminta pada Feya untuk bisa hadir kembali di mimpi Fabian. Feya akhirnya mengiyakan, walaupun ini melanggar aturan bahwa seorang Tèväta tak boleh hadir lebih dari satu kali di mimpi seorang manusia. Sekali ini saja, katanya pendek, tetapi serta merta menerbangkan hatiku ke angkasa.
Kesempatan kedua ini tak kusia-siakan begitu saja. Falår kuaktifkan sejak awal, tak peduli seberapa lelah yang akan kurasakan setelahnya. Sebagai Aliya, kutenggelamkan diriku ke dalam lautan maha luas bernama mimpi Fabian. Berkat usaha kerasku, Aliya mendapatkan peran utama wanita dalam drama yang akan diikutsertakan dalam lomba. Hal ini tentunya berarti aku akan beradu akting dengan Fabian sebagai pemeran utama pria.
“Hanya dalam mimpi
dan khayalan dalam kenyataan.
Kini kualami satu masa indah dalam tidurku.”
***
Kurasakan bibir lembut Fabian menyentuh bibirku, bibir Aliya, yang saat ini begitu cantik dalam gaun seorang putri raja. Pria tampan yang baru saja mengecupkan hangat kepadaku berdiri gagah dengan balutan lengkap jirah besi ksatria yang baru pulang dari medan perang.
Fabian lalu menggamit lenganku. Ia membawaku ke tengah pesta. Kami berdansa begitu mesranya dilatari alunan merdu dari orkestra yang mengiringinya.
“Kita pun bermesraan, saling mengikat janji,
seolah diriku dan kamu bagai sepasang kekasih.
Bagaimana bisa kau hadir di mimpiku?
Padahal tak sedetikpun kurindu dirimu.”
Aku terbangunkan oleh deringan alarm yang meraung-raung di telinga. Kuambil telepon selulerku dengan tergesa. Tanda di layarnya menunjukkan bahwa ada dua pesan baru yang belum terbuka. Pesan pertama ternyata dari Fabian, sahabatku.
Fabian:
Gw jemput jam 11. Balik kuliah, Andri ngajak kita Futsal bareng temen-temennya. Jangan lupa bawa sepatu & baju ganti.
Lagi? Futsal? Ah, kalau bukan karena kamu, Fabian, mana mau aku berlelah-lelah melakukannya. Kututup pesan darinya, lalu kubuka pesan kedua. Nomornya tak terdaftar di phonebook-ku.
+66670735474:
Terima kasih atas kepercayaan anda menggunakan jasa kami. Sampai jumpa di mimpi-mimpi berikutnya. Feya, Rumah Mimpi.
[fin]
*) Diinspirasi dari lagu Khayalan - The Groove
Ditulis oleh @__adityan dalam http://deetzy.tumblr.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment