Saturday, September 22, 2012

Saranghae, Tsukiatte Kudasai (Vol. 3)


“Jadi apa yang harus aku lakukan?”

Seketika itu air mata Davichi menganak sungai melalui pipi-pipinya terjun bebas ke bumi. Tidak ada yang dapat ia lakukan lagi selain menunggu seperti Hachiko. Hanya menunggu dengan setia hingga tibanya hari itu, takdir yang akan mempertemukan kembali meski di dunia yang berbeda.

“Paman itu menunggu sejak pukul 6 pagi. Tetapi kereta sudah tiba, sehingga ia buru-buru menuliskan surat untuk diberikan kepada kakak perempuan yang akan datang dan berdiri di tempat yang sama. Kata paman itu, berikan pada kakak cantik yang akan berdiri di samping Hachiko”, tutur gadis kecil berusia 7 tahun yang Davichi temui tidak jauh dari Patung Hachiko sedang berjualan dengan ibunya di kaki lima, gadis kecil yang memberikan Davichi surat terakhir dari Hiro.

Dengan penuh harapan Davichi memandangi Patung Hachiko, ‘akankah kami bertemu lagi, Hachi?’. Patung itu hanya diam dalam senyum rahasianya. Arah yang kini Davichi miliki hanyalah kata ‘pulang’. Seharian ia menaiki jalur Yamanote Line mengelilingi Tokyo melepaskan kegelisahan di hatinya. Bahwa semua ini benar telah terjadi, bahwa Hiro tidak akan mengingat Davichi lagi, bahwa semua yang Davichi lakukan hanyalah sia-sia.

‘Takdir yang membawa langkahku, bukan aku’
The_vici


Setibanya di rumah keluarganya, Davichi dikejutkan lagi akan kabar duka dari keluarganya yang berada di Seoul. Paman dan bibinya mengalami kecelakaan lalu lintas dan meninggal di tempat kejadian. Sementara itu putra satu-satunya mereka selamat dan terus menangis ketakutan. Ibu dan saudara Davichi yang sedang mengunjungi paman mereka di Tokyo pun harus segera pulang. Sepanjang perjalanan ke Seoul, pikiran Davichi tak pernah benar. Tatapan matanya kosong. Ia menghilang dalam relung hatinya, ia tidak menginjakkan kaki ke bumi lagi. Melayang-layang di antara mimpi dan kenyataan.

“Mama, aku yang akan merawat Eun Jo”. Dekapan hangat Davichi membuat anak laki-laki usia 1,5 tahun itu lebih tenang dan perlahan berhenti menangis.

“Bagaimana bisa? Kamu saja sudah tidak punya pekerjaan! Sebaiknya kita titipkan ke panti asuhan saja. Kita bukan keluarga mampu, kamu harus ingat itu. Perjalanan ke Tokyo kemarin menghabiskan tabungan Mama”.

“Tapi Ma, aku tetap akan merawat Eun Jo. Aku akan mencari pekerjaan. Aku akan menjadi ibu yang baik untuk Eun Jo. Eun Jo membutuhkan seorang ibu, Ma”. Anak laki-laki itu semakin erat memeluk tubuh Davichi, tak ingin melepasnya.

“Ayahmu tidak akan setuju, ia tidak setuju anak gadisnya yang belum menikah tetapi sudah memiliki anak. Tidak ada laki-laki yang akan menikah dengan perempuan yang sudah memiliki anak.” Mama mengingatkan tentang almarhum ayah Davichi yang meninggal setahun lalu.

Dengan kebaikan hati Mae Ri, teman sesama SPG dulu, kini Davichi dan Eun Jo tinggal bersama di rumah atap yang disewa Mae Ri. Meski tidak besar, tetapi cukup untuk menaungi ketiganya. Secepat mungkin Davichi mencari pekerjaan, bukan hanya untuk kebutuhan Eun Jo juga untuk membantu meringankan beban sewa rumah atap Mae Ri. Karena Eun Jo tidak bisa ditinggalkan sendiri di rumah, Davichi mengambil kerja ship malam di sebuah toko swalayan. Juga bekerja sampingan sebagai pengantar susu sebelum Mae Ri berangkat kerja.

***

7 tahun berlalu,

Ternyata angka 7 bukanlah angka yang begitu lama untuk dilalui dengan kesibukan sehari-hari Davichi. Tidak jenuh-jenuhnya Davichi mengantarkan susu setiap pagi dari rumah ke rumah setelah pulang dari bekerja sebagai kasir di toko swalayan yang beroperasi 24 jam sehari. Juga tidak bosannya mendengarkan keluhan induk semang yang menyinggung tentang hubungan Mae Ri dan Davichi, hubungan yang bagi sebagian orang terlarang. Itu hanya gossip. Meski kini hati Davichi tengah tertutup untuk sebuah kata ‘cinta’, tetapi ia masih gadis normal yang menyukai laki-laki. Tepatnya, Davichi masih menyukai Hiro. Dan kini pekerjaan baru Davichi adalah mengantarkan Eun Jo pergi ke sekolah. Pria yang dulu kecil itu kini sudah memakai seragam sekolah dengan rapi dan menanti dengan sabar ibunya pulang dari mengantar susu menggunakan sepeda.

“Kapan kamu menikah? Aku dengar kamu sudah memiliki anak dan tinggal terpisah dari orang tuamu?”

Malam yang menyebalkan ketika seorang pelanggan menghampiri meja kasir dan membahas masalah pribadi si kasir. Davichi mengenali perempuan itu, ia selalu pamer tentang suaminya yang kaya di hadapan Davichi. Hanya seorang teman lama di bangku sekolah yang sampai sekarang tidak mengalami perubahan pada sifat sombongnya.

“Aku juga dengar kalau kamu tinggal bersama seorang wanita yang juga tidak menikah, apakah kalian sepasang pengantin?”

“Semuanya 34 ribu won. Ingin dibayar cash atau dengan kartu kredit?” Davichi mengacuhkan semua pertanyaan yang memuakkan baginya. Ia tidak perlu menjawab kabar angin yang tidak penting itu.

‘Ada saatnya untuk tidak mendengar, sebuah gossip’
The_vici


Davichi tersenyum setibanya di rumah atap. Ia menyaksikan Eun Jo dan Mae Ri yang tidur dengan keadaan tidak karuan. Setelah mengambil jaket, ia segera mengayuh sepeda berkeliling mengantarkan susu dari toko susu pesan-antar sebelum jam weker Mae Ri berbunyi dan menyuruh gadis malang baik hati itu untuk merias diri. Meski kini Mae Ri sudah menjadi staf administrasi di kantornya, pakaiannya tetap saja sama. Seksi seperti SPG, pekerjaannya dulu bersama Davichi. Kalau sudah begitu Eun Jo akan memberikan selimut agar dibawa kerja oleh Mae Ri. Eun Jo takut ibu angkatnya itu masuk angin.

***

“Bukankah sudah saatnya kita untuk mencari pasangan? Sudah 7 tahun berlalu, apakah masih belum cukup untuk melupakan laki-laki di twitter itu?”

Mae Ri membuat Davichi sadar. Alasan lain Davichi merawat Eun Jo adalah agar tidak didekati oleh laki-laki yang hanya iseng. Juga agar ia memiliki tujuan hidup baru. Jika dulu tidak ada Eun Jo, Davichi berpikir lebih baik mati saja. Mati akan lebih menyenangkan daripada dilupakan, oleh Hiro. Begitulah pikirnya dahulu. Tetapi sekarang bukankah semuanya sudah menjadi lebih baik? Juga, mengingat pada usia yang tidak akan selamanya muda lagi? Apakah aku perlu untuk menikah? Aku sudah memiliki Eun Jo, bagiku cukup. Eun Jo memberikanku kehidupan lagi. Benak Davichi dalam lamunan terus mempertanyakannya.

‘Satu hal yang tidak kutemukan di google search, jodohku’
The_vici


Hari ini adalah hari bahagia untuk Mae Ri. Ia menikah dengan atasan di kantornya. Ia telah pindah ke rumah baru mereka dan meninggalkan Davichi beserta Eun Jo di rumah atap. Mae Ri mengakhiri gossip murahan yang sempat beredar di lingkungan mereka. Meski Davichi merasa kehilangan, tetapi ia sadar ini adalah hidup Mae Ri. Davichi pun tidak mungkin selamanya sendirian seperti ini, pun ketika kesendirian Davichi tidak begitu berarti dengan adanya Eun Jo.

Dari kejauhan Davichi melambaikan tangan pada Mae Ri, ucapan terima kasihnya karena telah mengembalikan kehidupan Davichi menjadi normal lagi setelah peristiwa 7 tahun lalu. Ia dan Eun Jo melangkah ke luar gedung resepsi untuk pergi meninggalkan Mae Ri yang sedang merayakan kebahagiaannya. Ternyata hari berhujan. Hujan berkat untuk pernikahan Mae Ri. Hujan adalah kebahagian. Juga hari berhujan yang mengingatkan Davichi akan payung merah itu. Seakan payung plastik bening yang dipakaianya kini berubah merah. Getir, Davichi melangkahkan kakinya di bawah hujan bersama Eun Jo.

“Eun Jo …”

Habis sudah suara Davichi ketika bola mainan yang Eun Jo bawa terjatuh dan menggelinding ke tengah jalan raya. Eun Jo yang masih kecil bergegas mengejar bola kesayangannya itu, bola yang kemanapun selalu dibawanya. Malang nasib Eun Jo. Hari itu hari yang berhujan dan mobil yang melintas akan susah untuk melakukan pengereman secara mendadak. Meski telah berusaha, bapak yang duduk di bangku kemudi itu tidak mampu melakukan apapun selain memejamkan matanya ketika menabrak tubuh kecil Eun Jo. Darah segera mengalir bersama air hujan. Dan Eun Jo dalam pelukan.

“Eun … Jo …”

Tubuh Davichi bergetar hebat menyaksikan pemandangan di hadapannya. Seorang laki-laki tengah mendekap tubuh Eun Jo. Dengan tubuh penuh darahnya ia berhasil melindungi Eun Jo kecil. Meski tidak mengalami luka berat, Eun Jo pingsan dalam pelukan itu.

“Saya mengenalnya, dia bernama Hiro Takagawa, tinggal di Shibuya, Tokyo, Jepang. Usianya saat ini 37 tahun. Dan sampai saat ini dia masih hidup”, Davichi memberikan kesaksiannya pada pak polisi.

“Iya, dia bernama Hiro-oppa. Dan saya, Nam-Chan. Hiro… ini saya, Nam-Chan.” Kali ini Davichi tak mungkin salah mengenali wajah bulat kemerahan memakai kacamata yang sedang dilarikan ke UGD.

Air mata Davichi kembali membasahi kedua pipinya. Ia merasa seperti pernah melakukan hal yang sama sebelumnya. Ia merasa pernah begitu sedih membiarkan orang yang dicintainya berlalu tanpa berdaya, tanpa bisa Davichi temani sisinya. Perasaan itu yang mendorongnya untuk menerobos pintu UGD sebelum tertutup penuh. Ia hanya terisak di sisi ranjang Hiro yang masih tidak sadarkan diri.

***

Aku tak ingin cinta yang seperti ini, berkalipun aku mengatakannya, aku tetap melakukan lagi, aku tetap mencintaimu meski dengan cinta yang seperti ini.’

***



*) Diinspirasi dari lagu Sad Promise – Davichi

Ditulis oleh @___eL dalam http://noteofme.wordpress.com

No comments:

Post a Comment