Saturday, September 15, 2012
Nenek Jangan Pergi, Ya !
Jakarta,9 September 2012
Ini hari Minggu. Hari yang biasanya kuhabiskan sekedar menonton kartun di depan tv jika aku berada di Solo. “Hari malas sedunia”,begitu aku menyebutnya. Namun tidak untuk hari ini. Minggu pagi ini aku sudah ditunggu oleh serentetan pekerjaan yang mengantri untuk segera kuselesaikan. Sepertinya tidak ada habisnya pekerjaan rumah ini sedari aku membuka mata.
“Sudah pukul 08.00”,kataku sembari melihat jam dinding yang tergantung di dinding. Apakah aku sudah bisa beristirahat? Eiiits tunggu dulu. Agaknya pikiran tersebut harus aku singkirkan jauh-jauh hari ini.
Ternyata hari ini aku harus menghadiri pengajian seorang pakdeku yang tengah berulang tahun.
Jadilah aku berangkat kesana bersama nenek,tante,adik,serta kedua sepupuku.
Entah mengapa hari ini kurasakan lain tak seperti biasanya.
Celotehan nenek yang bahkan biasanya dapat ku hadapi dengan penuh kesabaran,entah mengapa hari ini tidak dapat kulakukan. Entah mengapa, rasanya amarah begitu menggebu gebu di dalam diri ini. Bahkan, aku pun tak sadar memasang raut muka yang sinis pada beliau. Akan tetapi,seperti biasanya beliau hanya diam dan bersabar.
Sekitar pukul 12.30 kami semua tiba di rumah nenek kembali.
Setibanya dirumah nenek, aku berpamitan karena besok pagi sudah harus kembali merantau di kota sebrang. Rasa haru terpancar dari raut muka nenek. Seakan berat melapasku pergi, nenek berpesan padaku seperti yang biasa dilakukannya.
13Sept 2012
Aku baru saja menginjakkan kaki di kamar kosku setelah hampir seharian berada di luar. Tak lama setelah aku berganti pakaian, terdngar bunyi telpon. Nama ayahku muncul di layar handphone samsung mini galaxy milikku.
“Hallo, kakak tadi telpon ayah?”,sapanya.
“Hah?Ngga yah.. Kenapa emangbya?”,jawabku.
“Kakak doain buat nenek ya..”,balasnya sambil terisak.
“Nenek kenapa,yah? Nenek kenapa?”,jawabku setengah berteriak.
“Nenek udah ngga ada,kak”,jawabnya.
“Nenek kenapa yah? Kok bisa? Kapan?”,kataku sambil terisak.
“Barusan aja kak. Kakak doain nenek ya!”,sambungnya.
“Ayah…nenek kenapa bisa gitu? Kk abis bkin nenek kesel”,aku mulai menjerit.
………
Telpon di sore itu bagai petir yang menyambarku. Telpon dari ayah yang biasanya begitu kunanti, kini begitu kusesalkan. Tangisku makin pecah seiring dengan panggilan memori jangka pendekku ke beberapa hari silam.
Semua memori kejadian pada hari Minggu seakan terrecall kembali pada saat itu. Tatapan mataku, raut mukaku, serta tatapan dan raut muka pasrah yang terpancar dari sosok yang begitu kucinta.
Aku masih tidak percaya. Benar benar tak percaya.
14September 2012
Kereta Argo dwipangga yang ku tumpangi perlahan namun pasti memasuki kota Jakarta. Kereta yang terdiri dari 8 buah gerbong ini seakan menyeruak dan menguak gelapnya kota Metropolitan di kala subuh. Kota yang terlihat setengah tidur ini pun perlahan bangun dan menyambut pagi.
Sekitar pukul 6 pagi, tibalah aku di sebuah rumah. Rumah yang selalu kunantikan tiap kali aku pulang ke jakarta. Rumah yang tiap kali ku rindukan celotehan canda tawa para sepupuku. Rumah yang tiap kali ku rindukan suara isak tangis mereka pada saat bertengkar satu sama lain. Rumah yang tiap kali ku rindukan sosok seorang nenek. Nenek yang selalu menyambutku dengan celotehan dan senyumnya yang khas tatkala melihatku muncul di balik pintu.
Pagi itu.. Tak ada suasana seperti biasa. Tak ada senyum hangat yang selalu kunanti. Isak tangis dan raut muka sedih terpancar dari setiap insan yang berada di sana.
06.15
Disinilah aku berdiri. Beberapa langkah di depan pintu masuk, kulihat seseorang terbaring tak berdaya ditutupi selembar kain batik di tubuhnya dan selembar kain tipis berwarna putih mnutupi wajahnya yang terlihat putih bersih dari kejauhan.
“Apakah itu nenek?”,batinku masih tak percaya.
Air mata mulai jatuh perlahan membasahi kedua mata dan turun membasahi pipi. Aku terdiam lemas. Masih dalam posisi berdiri, aku menangis. Aku menjerit. Tanteku yang paham akan maksudku, membimbibgku mendekati beliau. Membuka kain putih yang menutupinya. Benar sekali… Wajah putih bersinar tak berdaya tersebut adalah nenek. “Aaaaa nenek… Neneeek…!”,teriakku sambil menangis. Tubuhnya yang biasa lincah kini seakan tak berdaya. Tuhan, ternyata ini bukan nenek. Nenek telah tiada. Aku pun semakin lemas tatkala aku mengingat semua kebaikan beliau yang terkadang kubalas dengan kesinisan. Aku menyesal. Aku menangis. Aku larut dalam haru
Nenekku telah tiada. Aku terduduk di samping tubuhnya yang telah tak berdaya. Ku elus wajahnya yang cantik. Ku ciumi wajahnya perlahan Nenek aku cantik. Cantik sekali. Bahkan hingga akhir hayatnya. Subhanallah.
Pagi ini, diringi dengan isak tangis para saudara dan kerabat yang begitu menyayanginya, beliau kami lepas. Kami berusaha mengikhlaskan kepergiannya yang terasa begitu cepat. Andai saja bisa kuputar waktu dan ku hentikannya sebentar, aku akan berkata “Maafkan aku nenek. Nenek jangan pergi,ya!”
“Ku sadari kesalahan ini yang membuat segalanya gelap jadinya.
Oh..kasihku kuharap kau mau menerima memaafkan pengakuanku.
Jangan kau diam lagi.
Ku tak sanggup menahan.
Bicaralah kau,sayang.
Jiwa ini tak tenang.
Cinta jangan kau pergi.
Tinggalkan diriku sendiri.
Cinta jangan kau lari.
Apalah arti hidup ini.
Tanpa cinta dan kasih sayang.”
ditulis @kakaa_ami dalam http://bisikkanbintang.tumblr.com
Labels:
Hari #14,
Sheila Majid
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment