Wednesday, September 19, 2012

Pergi Saja, Kamu...


Aku duduk di depan beranda kelas menerawang ke awan dalam teriknya mentari siang. Dan melihat sekeliling, tempat yang tidak asing untukku. Dulu, di tempat yang sama, selalu saja ada kamu yang diam-diam ada aku yg memperhatikan. Tapi sekarang, hanya sekelebat bayanganmu dalam ingatan yang mampu menemani hariku.

Lalu di sebrang sana terdengar sayup-sayup teriakan yang mudah aku kenali mampir di telingaku menyebut-nyebut namaku, aku melihat dia yang melambaikan tangan dengan penuh senyum padaku. Aku membalas senyum sekenanya. Di lawan arah itu, terlihat pula dia berlari-lari kecil menghampiriku

“Yuk pulang.” Aku hanya mengangguk seraya dia menggandeng tanganku.

“Aku jadi teringat ketika zaman SMA kalau datang kesini.” Tambahnya saat menuju parkiran. Senyum simpul aku berikan untuknya sebagai jawaban.Mungkin menyenangkan untukmu mengenang kisah-kisah di sini, tapi bagiku setengahnya ingin lupa.Aku membatin.

Kini aku teringat 4 tahum silam, setelahnya kamu memutuskan untuk meninggalkan kota ini, aku merasa seperti setengah jiwa pun ikut hilang.Bagiku 4 tahun tanpamu seperti mengambang di lautan, entah harus naik ke daratan atau menenggelamkan diri hingga ke dasar.Hatiku masih melayang, mencari-cari kamu yang sudah entah dimana, seperti apa rupamu sekarang dan masihkah ingat dengan kata kita. Walaupun 1tahun terakhir ini, ada dia di sampingku yang setia menemani dengan kebosananku yang menantimu.

Aku hanya ingin kamu perrgi saja dengan semua hal-hal yang telah kita lalui. Jangan seperti ini, sebentar-sebentar kamu datang, lalu hilang lagi terlalu lama setelah hatiku penuh terisi namamu.

Guncangan kecil membangunkanku dari lamunan tentangmu, aku tersadar ada wajah kebingungan dihadapku.

“Kamu kenapa?” Tanyanya lagi.

“Mmmhh… Enggak apa-apa. Yuk..” Balasku sambil menggandeng tangannya dan lagi-lagi memberi senyum yang sebenarnya enggan aku berikan.

Hingga sesampainya di rumah, tak ada kata yang ingin aku sampaikan. Aku mematung.

“Aku langsung pulang yah, maaf nggak mampir dulu, nanti aku telepon.” Ucapnya sambai melambaikan tangan tanda perpisahan. Tapi belum sempat aku jawab, dia sudah hilang dan pergi dengan raungan motor yang dikendarainya.

***

Beberapa hari setelahnya, aku dikagetkan dengan teman sekaligus tetanggaku yang tiba-tiba datang ke rumah.

“Tumben kemari tanpa telepon, ada apa?” Tanyaku.

“Ayo kerumahku, di sana teman-teman lama sedang kumpul. Pasti kamu suka.” Jawabnya sembari mendorongku keluar rumah. Aku mengikutinya berjalan sambil kebingungan.Teman lama? Siapa dia?Tanyaku dalam hati.

Dan tiba-tiba…

Hatiku seperti tersambar kilat ketika melihat siapa ‘teman lama’ yang dimaksudkan. Mematung tanpa ekspresi, perasaan tak karuan, seakan-akan ada sesuatu yang akan meledak dalam hati.Kamu… hadir lagi.Teriakku di hati.

Entah apa yang dapat aku rasakan,aku seperti es yang mulai dibakar oleh api besar agar meleleh.Hati yang tadinya beku lambat laun mencair ketika kamu tanpa kabar dan sapa kini ada dihadapku. Lalu apa setelah ini? Kamu akan pergi lagi?

***

Kedatanganmu kemarin sore membuat ingatanku semua tentangmu masuk lagi dalam memoriku. Saat itu naluriku sebagai anak belasan tahun yang mulai menyukai pria, itu jatuh di kamu. Agak asing memang, pertama kalinya mempunyai rasa seperti ini. Jantungku selalu berdetak lebih cepat kala kamu ada dalam pandanganku. Senyum tanpa sebab saat meningat tingkamu pun tak dapat aku elakan. Kamu yang selalu menggodaku lucu di depan teman-temanmu saat di kantin sekolah, kamu yang tanpa malu masuk dalam kelasku dan meneriakan namaku lalu bilang ‘I love you’. Dan aku tentu saja hanya tersipu dengan memerahnya pipi. Aku ingat pula, saat kamu untuk pertama kalinya menawarkan pulang bersama tapi karena maluku seketika aku menolaknya. Kamu yang menarik lenganku dan menyeretku pergi hanya untuk memintaku agar bisa foto bersama. Tapi kamu pula yang saat itu menghancurkan harapan-harapan dikala aku dan kamu agar menjadi kita. Kini setengah jiwaku pun ikut hilang bersamaan dengan tidak adanya kamu. Betapa sulitnya membuang rasa yang tidak sengaja menempel begitu lekat dalam hati.

Tak terasa, hangatnya air mata yang terjatuh mulai membanjiri pipiku.

“Aku rindu kamu.” Gemetar suaraku ketika aku tak tahan untuk tersedu diatas foto kita berdua.

***

Waktu terus saja berjalan cepat. Kini aku mengenali diriku sebagai wanita yang hanya memenangkan hati sendiri. Berminggu-minggu sudah dekatnya kamu denganku terjalin. Tanpa peduli ada hati yang merasa diacuhkan, tanpa peduli ada mata nanar yang memandang keanehanku. Ya, kini kamu menang. Namamu kini terisi penuh lagi dihatiku.\

Hingga saat di bawah gemercik gerimis malam. Aku dan kamu bersama, mengenang kita dalam alunan-alunan lagu.

“Kamu ingat, dulu aku bernyanyi lagu ini dengan kencangnya? Itu semua agar hamya kamu bisa dengar.” Ucapnnya.

Mataku memandangmu dalam.

“Kamu harus tahu. Semua tentang kita, dulu maupun sekarang. Tidak ada yang aku tidak ingat.” Jawabku sambil tersenyum. Dia membalas senyumku dengan usapan lembut tangannya di helai rambutku.

“Hingga kapan kita begini?” Tambhaku seketika. Air muka kamu berubah seketika mencari-cari apa maksudku.

“4 tahun, bukan waktu sebentar agar bisa membenahi hati. Tapi hanya dengan kamu yang sebentar di sini lalu setelahnya pasti pergi lagi. Entah berapa tahun lagi hatiku bisa terbenahi.” Ucapku parau.

“Keadaan yang membuatku begini, kamu tahu perasaanku padamu seperti apa sejak dulu.” Balasmu.
Aku tersenyum mendengar ucapanmu, seolah tidak membenarkan setiap ucap demi ucap yang kamu lontarkan.

“Wanita mana yang akan tahu jika lelaki macam kamu seperti ini. Kamu tahu? Di lain sisi ada hati yang terkoyak melihat kita.” Setengah teriak aku berucap.
Hanya hening yang kudapat. Aku menahan agar air mata yang hampir menggenang di sudut mata tidak pecah.

“Buktikan… Bagiku itu cukup hingga aku dapat melepas semua yang aku peroleh selama tanpa kamu.” Kataku lagi. Kamu hanya mematung terdiam dalam kesunyian malam. Gerimis pun terhenti kemudian. Kini aku dan kamu sama-sama berbicara pada pikiran masing-masing sambil menikmati perjalanan pulang.

Aku sudah terjebak dalam perjalananku sendiri, aku emndapatkan persimpangan jalan dalam gulita, entah jalan mana yang akan memberiku cahaya. Haruskah aku melepaskan dia yang dapat melepasku dari belenggu-belenggu luka dan pernah menjerat dalam hati? Ataukah memilih kamu dengan masa lalu kita yang belum usai?

Tapi kini aku terlambat, aku terlalu ragu melangkah. Banyak ketakutan menyelimuti hati. Sampai keadaan yang membalikanku. Bukan aku yang melepasnnya, tapi dia yang membiarkanku pergi.

“Aku tidak bisa memaksakan hal yang tak ingin kamu lakukan, termasuk bertahan dan mencintaiku.” Ucapnya waktu itu. Mataku membelalak setelah mendengarnya. Hujan air matapun tak terbendung, andai dia tahu rasanya jika jadi aku.

“Maaf..” Hanya itu yang bisa aku katakan.

Setelahnya dia mengizinkanku pergi dan melakukan apa yang ingin aku lakukan, mendapatkan apa yang seharusnya aku dapatkan.

Tapi dia keliru, kita salah. Bukan ini yang ingin aku dapatkan. Setelah dia menyerah dan pergi, aku tak bisa temukan kamu.Iya, aku terlalu sombong melangkah. Kamu pun belum berjanji akan membuktikan semua, tapi aku sudah terlanjur pergi dari hidupnya. Kini kamu pergi lagi, seperti biasa.

Hatiku bagai pasir pantai yang bisa aku raup sendiri butirannya.Hingga saat itu, aku menyadari hadirnya kamu tak lebih dari malapetaka yang menjadi bumerang bagi diri sendiri. Silakan kamu pergi, mulai saat ini aku tak akan menoleh pada masa lalu lagi.Bagiku, kembali ke masa lalu adalah melukakan hati yang sudah terlanjur luka atau melompat ke dasar tebing yang sulit untuk naik ke atas lagi.

Kini aku akan belajar, seperti apa rasanya tak punya rasa padamu. Datanglah lagi setelah aku bisa menyombongkan diri di hadapmu bahwa aku bukanlah aku yang dulu, yang selalu berkata kisah kita belum usai.

Kini aku melepasmu. Cinta pertamaku.


*) Diinspirasi dari lagu Pergi Saja - Ajeng

Ditulis oleh @winaafauzia dalam http://fauziawina.tumblr.com

No comments:

Post a Comment