Tuesday, September 11, 2012

Perjalanan Kereta Malam

Dengan kereta malam kupulang sendiri
Mengikuti rasa rindu pada kampung halamanku
Pada Ayah yang menunggu,
Pada Ibu yang mengasihiku.


Malam ini, entah mengapa aku memutuskan untuk langsung pulang ke Bandung tanpa menunggu besok. Setiap awal dan akhir  bulan, memang jatah rutin untuk pulang, melepas rasa kangen pada keluarga, suasana Bandung, dan makanannya tentu saja. Biasanya, Sabtu pagi baru berangkat naik travel. Tetapi. Malam ini sepulang kantor ingin rasanya segera pulang tanpa menunggu lebih lama lagi.

Langsung kukemas barang-barang dan pesan tiket travel. Sialnya, semua travel dari Jakarta menuju Bandung waiting list. Terpaksa naik kereta. Walaupun perjalanan jadi lebih lama dan letak stasiun jauh dari rumah, tidak masalah asalkan malam ini aku sampai di rumah.

Duduk di hadapanku seorang Ibu
Dengan wajah sendu, sendu kelabu
Penuh rasa haru dia menatapku
Penuh rasa haru dia menatapku seakan ingin memeluk diriku


Di depanku, seorang Ibu duduk dengan kaku sambil terus memperhatikan gerak-gerikku. Tahu kan rasanya jika di amati lekat-lekat oleh seseorang apalagi dalam jarak kurang dari satu meter. Awalnya, aku tidak ambil pusing. Mungkin saja wajahku mirip dengan kenalannya, atau ada yang salah dengan penampilanku, apa jangan-jangan Ibu ini mau mencuri tasku dan menunggu aku terlelap. Banyak pencurian terjadi di kereta malam ini, pasti pencurinya menunggu target hingga tertidur. Tapi rasanya tidak mungkin Ibu ini mau mencuri, ah “Aku harus tetap waspada”, dalam benakku.

“Umurnya berapa?” tiba-tiba Ibu itu bertanya.

“25, Bu.”

Aneh. Biasanya orang menanyakan nama atau cuaca hari ini, basa-basi dulu. Ini tiba-tiba bertanya tentang umur, tapi tetap kujawab juga.

“Anak Ibu tahun ini 20 tahun.”

“Oh ...”

Harus jawab apalagi selain oh, lagipula aku tidak bertanya dan tidak peduli.

“Yah, kalau masih hidup.....” Ucapnya lirih hampir tak terdengar.

Sumpah, aku tidak tahu harus bilang apa. Hanya diam dan menatapnya, berharap dia melanjutkan ceritanya.

Ia lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada
Karena sakit dan tak terobati yang wajahnya mirip denganku
Yang wajahnya mirip denganku


“Mukanya mirip sekali dengan muka Mba. Namanya Halimun.”

Kemudian dia mengambil dompet di dalam tasnya, mengeluarkan foto, dan memberikannya padaku. Aku perhatikan dengan seksama. Entahlah fotonya sudah lama, tampak menjamur, wajahnya sekilas memang nampak mirip denganku.

“Mirip yah? Ibu tadi kaget begitu lihat Mba. Rasanya ingin ...”

Aku langsung mengambil tisu, belum sempat kuberikan, Ibu itu sudah memelukku erat.

Ia lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada

Halimun, gadis berusia 19 tahun. Dibesarkan dari keluarga yang tidak mampu, ayahnya hanya seorang buruh di pabrik, ibunya berjualan sayur di pasar. Halimun, terkena penyakit demam berdarah. Demam berdarah bukanlah penyakit mematikan jika ditangani secara serius. Demam yang tak kunjung reda, bintik-bintik merah yang mulai menyebar, dehidrasi akibat kurang cairan, kondisinya kian hari kian memburuk. Akhirnya, mereka membawanya ke Rumah Sakit Negeri Bandung dengan hanya membawa surat keterangan tidak mampu.

“Anakmu masih sakit?” Tanya Pak RT.

“Iya, Kang Asep. Sudah diberi obat tapi panasnya ngga turun-turun.”

“Ada bintik merahnya?”

“Ada! Tapi sudah dikasih bedak biar ngga gatal.”

“Demam Berdarah itu. Kenapa ngga di bawa ke dokter?”

“Belum ada uangnya.”

“Saya buatkan surat miskin. Suratnya kamu bawa ke Rumah Sakit, nanti kasih ke petugas yang ada di sana. Gratis.”

“Jadi saya ngga harus bayar, Kang?”

Dengan bermodalkan surat keterangan tidak mampu, mereka berharap Halimun dapat segera sembuh.

Nyatanya proses birokrasi tidak memperdulikan keselamatan seseorang. Mengurus surat saja diperlukan waktu selama satu hari. Halimun yang siang itu sudah berada di ruang gawat darurat hanya didiamkan saja, tanpa diambil-tindakan. Mereka, para suster menunggu komando dari secarik kertas yang sedang ditelusuri kebenarannya bahwa keluarga pasien benar miskin adanya.

Akhirnya surat itu selesai diproses, selesai pula derita yang ditanggung Halimun.

Dia sudah sembuh dan tidak akan pernah sakit lagi.

Ia lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada
Karena sakit dan tak terobati yang wajahnya mirip denganku
Yang wajahnya mirip denganku


Sepanjang perjalanan kereta Jakarta-Bandung malam ini, Ibu itu terus menangis memelukku sambil sesekali mengelus-elus pipiku dan menyebut “Halimun, anakku”.

ditulis @ch_evaliana dalam http://3v4s-mind.blogspot.com

No comments:

Post a Comment