Friday, September 14, 2012

Pikiranku Dan Nyali Yang Melayang

“Ayah, bawa Aku pulang.”

“Aku tidak pernah tahu di mana harusnya kau berpulang.”

“Tapi, kau adalah Ayah. Dan, Ayah selalu punya rumah untuk anaknya.”

“Setiap Ayah membangun atap untuk anaknya sebagai tempat berteduh. Bukan rumah.”

“Lalu, ke mana Aku harus pergi, jika Aku ingin pulang?”

“Naiki keretamu, jangan berbalik. Keretamu pasti membawamu pulang.”

Tiga puluh dua dan tidak jadi apa-apa. Oleh karena itu, Aku ingin berhenti di sini. Oleh karena itu, bila tuas pintu ini kuungkit, bila kemudian Aku keluar dan melangkah kepada bilah-bilah kayu tua berbingkai baja itu, pada saat yang tepat, tidak akan ada lagi keraguan dan langkah mundur. Pada saat itu, segala ruang menjadi vakum, semua masa akan terhenti, dan hidupku selesai.

Ini kehormatan yang sia-sia. Kilatan dan sorotan sudah melumuri mataku hampir tiap hari sepanjang enam tahun belakangan. Mari hitung, satu lelaki yang tidak teringat namanya, dua bungkus rokok, tiga peragaan busana, empat butir obat penenang, lima kaleng minuman keras, enam atau tujuh telepon dari majalah mode atau acara gosip televisi atau setidaknya dari manajer, delapan, sembilan, sepuluh. Entah apa lagi. Semua dalam semalam, setiap harinya, selama enam tahun. Ini sia-sia. Aku ingin sekali kembali jadi gadis kecil kepunyaan Ayah. Aku ingin pulang.

Ayah pergi saat Aku delapan tahun. Tidak, dia bukan meninggal. Ayah dan Ibu berpisah. Sebetulnya, entah Ayah yang pergi, atau Aku yang berkhianat, karena pada akhirnya Aku malah tinggal bersama Ibu.

Dulu, kami tinggal bersama di sebuah kampung kecil di pinggir Bandung. Ya, kami tinggal bersama, dan kami sederhana. Kami keluarga kecil dalam rumah kayu kecil yang dibuat oleh Ayah sejak muda. Ayah adalah tukang pahat kayu, dan kami hidup dari hasil jualan pahat kayunya setiap hari. Ayah sering membawa aku ke pasar seni di kota, tempatnya bekerja. Sore hari, kami kembali ke rumah dengan berkereta. Dalam setiap perjalanan pulang, Ayah selalu berkisah, bahwa pada salah satu potong kayu rel kereta api yang kami lalui, ada gores pahat Ayah. Tanpa tahu kebenarannya, Aku tidak pernah bosan mendengar cerita itu dari Ayah. Setiap hari, dalam setiap jalan pulang. Aku bahagia bersama Ayah, tapi Ibu sepertinya tidak. Maka, mereka berpisah. Sayangnya, tanpa terbantahkan, Aku bersedia dibawa oleh Ibu ke Jakarta. Sayangnya, tanpa terelakkan, bersama Ibu, adalah putusan yang salah.

Sejak perpisahan itu, Aku hanya sempat sekali bercakap dengan Ayah lewat telepon. Kini, aku tak tahu Ayah di mana.

Mengapa pada saat ini, malah semua kenang-kenangan soal Ayah berhambur. Mestinya ini saatnya Aku kosong dan siap saja membiarkan rel kereta tua itu menangkap nyawaku. Mungkin saja, batang kayu di mana Aku akan berbaring adalah betul batang kayu yang menyimpan ukiran tangan Ayah. Pada saat itu, mungkin sama rasanya seperti dipeluk Ayah. Ah. Maaf, Ayah. Bukannya menaiki keretaku, Aku malah ditunggangi oleh gerbongnya.

Ini saatnya. Sepuluh detik. Mari hitung. Satu, untuk malam-malam hampa bersama para lelaki yang tak kukenal. Dua, untuk kepulan asap yang sebenarnya tak pernah nikmat. Tiga, untuk pakaian-pakaian bodoh yang norak. Empat, untuk butiran-butiran kepalsuan yang tak pernah menenangkan. Lima, untuk racun-racun perusak ginjal. Enam, tujuh, untuk banci-banci bangsat. Delapan. Sembilan. Sepuluh.

*****

Baiklah. Aku tak punya nyali sebesar itu. Aku tidak jadi bunuh diri. Kereta datang. Aku pulang.

    So scared of getting older, I’m only good at being young

    So, I played numbers game to find a way to say that life has just begun

    Had a talk with my old man, I said: help me understand

    He said: turn 68, you’ll renegotiate, don’t stop this train

    Don’t for a minute change the place you’re in

    Don’t think I couldn’t ever understand

    I tried my hand, John, honestly,

    We’ll never stop this train


ditulis @augustalks dalam http://petikanbulan.wordpress.com

No comments:

Post a Comment