Friday, September 14, 2012

The Man Who Can’t Be Moved

Matanya masih saja meneropong jauh ke depan dengan tatapan kosong. Di taman yang ditumbuhi banyak kenangan itu, seorang lelaki berpiyama sewarna gading masih saja terduduk di bangku kayu.  menunggu musim menumbuhkan mawar-mawar tiba. Sudah hampir satu tahun ia masih saja asyik bercakap-cakap dalam kebisuan dengan ingatan yang merajah hatinya. Sesekali matanya berpendar isyaratkan ia tengah mengenang masa-masa indah, namun sering pula matanya berkaca-kaca hingga butir-butir bening melintasi pipinya yang sudah kian keriput.

Dulu, lelaki ini adalah seseorang yang memiliki lengan-lengan baja. Di bahunya berpuluh-puluh ton beban kehidupan bukan masalah untuk dipikulnya. Dulu, lelaki ini memiliki tawa dan senyum yang mampu mengobati luka hati orang di sekitarnya. Dulu, lelaki ini memiliki pelukan sehangat mentari pagi. Ah, itu dulu. Kini ia hanya terdiam sepanjang pagi dan saat mentari sudah condong ke atas kepalanya barulah ia akan beranjak dari tempatnya terduduk dan akan kembali lagi sore harinya. Seperti biasa, duduk dan terdiam hingga malam menenggelamkan bayang-bayangnya di taman itu.

“Ayah, makan dulu. Sudah seharian ini ayah belum makan.” Pintaku. Namun ayah masih saja terdiam.

“Ayah nanti sakit lho. Yuk makan dulu. Ini Nina sudah buatkan semur daging kesukaan ayah. Memang sih belum seenak buatan ibu. Tapi Nina janji yah, Nina akan terus belajar masak. Ayo dong yah, makan.” Pintaku sekali lagi tapi tetap saja ayah tak mau makan, ia justru menampik sendok yang hendak kusuapkan ke mulutnya.

Entah aku ini orang macam apa, memiliki kesabaran di luar nalar orang-orang lainnya. Seperti apa yang dikatakan teman-temanku. Ya, aku hanya berusaha menjadi sosok ibu, wanita yang dicintai ayah. Aku pun merelakan bila kebahagiaan ku harus terenggut karena mengurusi ayah sepanjang waktu. Beberapa pria yang datang kepadaku, menyerah untuk berlama-lama menjalin hubungan denganku.  Entahlah, masihkah ada pria seperti ayah, yang dapat mencintai wanita pujaannya sedemikian besar dan apa adanya? Mungkin sudah tak ada. Sebab itu kuputuskan, bila kau mencintai ayahku maka akupun akan mencintaimu.

Ayah masih saja belum mau makan. Nasi yang tadi hangat kini telah dingin. Kalau sudah begitu, aku hanya duduk saja di samping ayah dan sesekali kuletakkan kepalaku di bahu ayah, mencoba merasakan kehangatan yang dulu pernah ayah berikan. Akupun sering mengajaknya ngobrol, entah itu tentang pekerjaan atau tentang tingkah-laku para pria yang mendekatiku namun mundur teratur saat mengetahui keadaan ayah.

Malam sudah kian larut, udara dingin pun sudah menusuk rusuk. Ayah selalu menolak bila kuajak pulang, dengan memegang erat bangku taman. Ia selalu ingin menghabiskan malam di taman ini. Taman ini adalah harta yang paling berharga yang ditinggalkan ibu, selain aku tentunya. Di taman ini ia bertemu ibu, lalu menyatakan cinta kepada ibu, dan melamar ibu pun dilakukan ditaman ini. Dulu saat ia menceritakan itu, ia selalu sumringah menatap ibu dan aku hanya dapat memandang iri kemesraan kedua orangtuaku. Sekarang semua itu hanya kenangan manis yang semakin manis hingga terasa begitu pahit.

“Nina…”

Apa? ayah malam ini memanggil namaku. Tidak, tidak aku pasti salah dengar. Sudah hampir satu tahun ayah membungkam mulutnya, tidak mungkin dia memanggil namaku.

“Nina…”

Aku setengah tak percaya ayah memanggil namaku.

“Nin, maafkan ayah ya?” Ucap ayah. Lirih sambil menoleh ke arahku.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, ayah. Kalau ayah tidak mau makan ya, tidak apa. Besok-besok Nina akan belajar masak lagi deh. Janji.”
“Bukan. Bukan tentang masakanmu, Nak. Tapi karena waktumu tersita hanya untuk mengurusi ayah saja.”
“Tidak apa ayah. Nina senang kok mengurusi ayah.”
“Nina, Bimo yang kamu kenalkan pada ayah kemarin sepertinya ia pria yang baik untukmu dan dapat menjagamu kalau ayah sudah tak ada. Berilah ia kesempatan.”
“Ayah ngomong apa sih. Hati Nina sudah Nina beri untuk Ayah, jadi kalau pria lain mau hati Nina, ia harus memintanya pada ayah.”
“Usiamu sudah semakin bertambah. Berilah ia kesempatan, Nak.”

Bimo adalah pria yang dikenalkan oleh sahabatku empat bulan lalu.  Sudah sebulan ini, ia coba mendekatiku. Dan minggu kemarin aku mengenalkannya pada ayah. Semenjak kukenalkan pada Bimo memang ada perubahan dari air muka ayah, ia seperti menemukan semangat hidupnya yang hilang. Dan malam itu, sebelum kembali ke rumah, ayah bercerita banyak tentang Bimo. Aku baru tahu, Bimo adalah orang yang menyelamatkan Ayah dan ibu saat terjadi kecelakaan, ya walaupun pada akhirnya nyawa ibu tak dapat terselamatkan.

Malam itu jadi perbicangan terakhir sejak setahun lalu ayah terdiam. Dan tanpa sepengetahuanku pula, minggu lalu Ayah telah menitipkan aku pada Bimo. Entah harus sedih atau senang, pagi ini ayah kembali kepelukan ibu.

ditulis @acturindra dalam http://senjasorepetang.wordpress.com

No comments:

Post a Comment