Sunday, September 2, 2012
Rheana
Bruk! “Rhea?!” aku tersentak melihat sosok semampai terkulai tak berdaya di depan pintu rumahku. Sambil memapah dan mendudukannya ke sofa di ruang tengah, aku memerhatikan wajahnya dengan saksama. Mukanya memerah dan kelopak matanya membengkak. Sepertinya dia habis menangis lagi. Perlahan kubersihkan wajahnya dengan sapu tangan handuk yang kurendam di air hangat.
Merebahkannya di sofa sampai tertidur dan menyelimutinya. Entah sudah berapa kali hal ini terjadi. Tetiba dia muncul di depan pintu rumah dengan cara yang berbeda. Hanya sembab di matanya yang selalu sama. Lelaki itu, yah siapa lagi…
“Aryaaaa…”
“Sudah bangun tuan puteri Rheana Sasmita? Ini, diminum dulu.” Aku membuatkan honey tea kesukaannya. Menunggunya menceritakan ‘ada kisah apalagi kali ini’.
“Aku sayang sama kamu, Ar.”
“Iya aku juga. Kenapa sama Rangga?” Dengan gaya khasnya, dia mulai menceritakan kisah tragisnya tadi malam. Dimana, Rangga, yang pada malam itu masih berstatus kekasihnya, memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka karena ‘bosan’.
Rhea mengatakan kalau dia yang salah karena mempertanyakan foto mantan kekasih Rangga yang masih tersimpan rapi sejak mereka sedang berada dalam masa penjajakan sampai sudah hampir 2 tahun menjalani hubungan. Rhea tidak pernah merasa lelah mencintai Rangga. Dia selalu yakin Rangga adalah cinta sejatinya, pujaan hati yang ia dambakan selama ini.
“Kenapa dia menurunkanmu disini? Di rumahku?”
“Itu menjadi alasan kedua.”
“Alasan kedua? Dia tidak tahu apa kalau kita ini…” mulutku terkatup beberapa saat “…sudah seperti saudara. I…iya kan, Re?” rasanya aku ingin melihat ekspresi wajahku ketika mengatakan itu.
Pasti sangat memalukan. Rhea mengangguk. Dia menatapku lama yang tentunya tidak berani untuk kubalas. Cinta memang buta. Logika telah lama berjuang keras melumpuhkan hati Rhea. Menepikan ketidaksanggupan atas kemampuannya memelihara perasaan pada pria yang apakah benar-benar mencintainya seperti harapannya. Memutarbalikkan kenyataan untuk meyakinkan dirinya bahwa pilihannya adalah yang terbaik tanpa sadar justru menyakiti dirinya sendiri. Tapi, aku tahu bagaimana perasaannya. Bagaimana mencintai seseorang dengan tulus tanpa harus dibalas. Melihatnya bahagia meskipun tanpa kita dan selalu bersedia menyediakan bahu tempatnya berurai air mata. Perasaan mencintai seperti layaknya sebuah keluarga. Cinta yang tulus dan dewasa.
“Arya, aku mau putus sama Rangga.” Aku tersentak mendengarnya. Dia terlihat putus asa dan menyedihkan.
“Kenapa, Re? Kamu nyerah?” Rhea menggeleng.
“Aku bukan hanya menyayangi Rangga, tapi juga sangat mencintainya. Karena itu, aku akan perlahan mundur darinya dan menghilang. Membiarkannya berpikir jernih. Aku tidak ingin dia hanya terpaksa bersamaku karena aku begitu mencintainya.” kata-kata yang melumat dengan hebatnya meluncur di mulut Rhea.
Tatapan matanya kosong dan berkaca-kaca. Air mata yang hampir jatuh di pelupuk kiri matanya berhasil ditahannya. Dia tersenyum. Sepertinya kali ini otaknya berhasil membujuk hati kecil Rhea.
“Wow, kau harus memberitahu ayahmu soal itu. Sepertinya dia akan kecewa dengan keputusanmu.” ujarku. Meskipun dalam hati, aku merasa sangat lega dengan keputusannya.
“Dia baru pulang besok pagi dari meeting tak berkesudahannya itu. Kabar terakhir yang diketahuinya tentang aku adalah aku aman dan tentram bersama Rangga menghabiskan akhir pekanku. Jadi, tidak ada quality night hour bersamanya tadi malam. Dia pasti mengerti. Perjodohan tidak akan bertahan lama. Pertahanan itu juga karena ada satu pihak yang memilihnya. Kenapa dia bisa berpikir itu akan berhasil padaku? Kalau dia saja tidak bisa mempertahankannya.”
“Ayahmu…dijodohkan?”
“Iya. Ibu sangat mencintai ayah. Ayah pun mencintai ibu…karena aku. Mereka berdua dijodohkan dan aku berada dalam rahim ibu sebelum ayah meminangnya. Pernikahan hanya seperti langkah selanjutnya bagi mereka berdua. Yang aku tahu, Ibu benar-benar mencintai ayah sebelum akhirnya ia meninggal.” Spontan aku langsung memindahkan badanku untuk duduk di sebelahnya. Ada sedikit perasaan bersalah ketika dia menceritakan ibunya. Dadaku terasa sakit. Dan benar saja, dia menangis terisak. Hening.
“Kamu tahu? Aku berpikir kalau ibu adalah wanita paling bahagia sedunia. Memiliki suami tampan dan baik hati seperti ayah, keluarga terpandang yang selalu menjaganya dan teman-teman yang menyayanginya. Hingga suatu hari, aku membaca buku harian Ibu tentang rahasia yang selama ini ditutupinya dari kami semua. Rahasia yang hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.”
“Rahasia…apa, Re?” aku tercekat. Cepat atau lambat dia pasti akan tahu. “Sebelum meninggal, Ibu meminta mendonorkan jantungnya pada wanita yang selama ini dicintai Ayah. Wanita yang selama ini sering ditemui ayah. Wanita yang aku tahu adalah sahabat Ibu yang menghilang sebelum ibu divonis menderita kanker otak. Bahkan, ibu tahu bahwa wanita itu sedang mengandung anak ayah. Dia ingin melakukan sesuatu yang berguna untuk kedua orang yang dikasihinya itu.”
Rhea menghela napas panjang dan melanjutkan ceritanya. “Setelah aku membaca buku harian itu, aku semakin sadar bahwa Rangga tidak benar-benar mencintaiku. Dia hanya tunduk pada Ayah karena orangtua kami adalah sesama rekan bisnis. Aku sadar karena aku membaca bagaimana Ibu menceritakan Ayah saat kencan pertamanya dulu. Selalu menyambut ibu dengan wajah tersenyum meskipun hatinya tidak begitu. Yang dilakukan ayah selama ini adalah menghormati ibu dan bertanggung jawab atas ‘kecelakaan’ yang memaksa mereka menjalani hidup bersama. Namun, tidak ada rasa cinta di dalamnya. Keterpaksaan yang berlangsung cukup lama yang akhirnya menyakiti ibu dengan teganya. Begitu tulusnya pengorbanan ibu hingga dia memutuskan menyerahkan jantungnya kepada wanita yang telah mengkhianatinya agar bisa bersama dengan orang yang begitu dicintainya. Ya Tuhan, aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal padanya. Mengapa kau hanya memberiku waktu 2 tahun bersamanya.” Rhea menangis sejadi-jadinya. Aku merangkulnya dalam pelukanku. Rasa sayang yang kian bertambah dan tidak akan berubah selamanya selalu kuberikan untuknya. Aku mengusap rambutnya dan berbisik perlahan padanya.
“Ibumu benar-benar beruntung, Re. Tuhan begitu sayang padanya hingga memanggilnya terlebih dahulu. Aku yakin Tuhan tidak ingin ibumu menderita lebih lama lagi.” ujarku yang sepertinya tidak akan membantu kegetiran hati Rhea. Ingin sekali kutarik kalimat tadi dan berpura-pura tidak pernah mengucapkannya. Rhea menghela napas. Seperti isyarat agar aku mengoreksi kata-kataku barusan.
“Kau tidak perlu khawatir. Suatu saat kau pasti akan menemukan seseorang yang benar-benar menyayangimu dengan tulus. Kau hanya perlu memantaskan dirimu untuk pangeranmu nanti.” aku tersenyum. Kata-kata yang tepat, tersirat dan dapat membuat reaksi yang hebat. Perlahan kurasakan panas di wajahku. Rhea terdiam dan mendekatkan wajahnya ke arahku. Mata bulatnya, hidung mancungnya dan bibir tipisnya yang kini hanya berjarak 5 cm dari hadapanku. Ia mulai memejamkan matanya dan…
“Cukup, Rhe.” aku memalingkan wajahku dan setengah berteriak sampai ia terhenyak. Wajahku memerah.
“Kenapa?” tanya Rhea. Kecewa. Tentu saja.
“Aku tidak bisa.” aku masih tidak berani menatap wajahnya. Takut akan reaksinya.
“Kau menyayangiku, kan?” Aku mengangguk pelan.
“Kau mencintai aku, kan?” nadanya mulai meninggi. Aku mengangguk lagi.
“Lalu apa masalahnya?” Rhea merendahkan suaranya dan menatapku. Menunggu.
“Karena aku adalah adikmu, Rhea.”
ditulis @icha_widya dalam http://noor-annisa.tumblr.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment