Monday, September 3, 2012

Sejarak Satu Surga


Mata Brynhild terasa sayu saat menelanjangi pemandangan Asgard dari atas Jembatan Pelangi Bifrost. Hidungnya samar-samar mencium aroma manis bunga-bunga liar dari padang rumput Dunia Para Dewa itu. Ia masih tak percaya bahwa Odin, sang Raja Para Dewa, baru saja menjatuhkan hukuman berat kepadanya karena ia melanggar sumpahnya sebagai seorang Valkyrie, gadis perang yang bertugas mengantar Einherjar (jiwa-jiwa pemberani) menuju Valhalla. Ingatan Brynhild menerawang kembali saat Odin membacakan hukumannya.

“Kamu mempermalukan bangsa Vanir, Valkyrie!” teriak Odin lantang. Menunjuk Brynhild dengan Gungnir, tombak saktinya.

“Tapi ia tak pantas mati, Sang Ayah!” balas Brynhild, merasa tolol telah melawan balik Odin. Kakinya gemetaran.

“Tugas hidup dan mati itu tugas Dewi Hel, Dewi Kematian! Ia murka sekali saat kamu menebas lengannya hanya untuk melindungi manusia yang sudah ditakdirkan mati!”

“Raja Odin, manusia yang kulindungi itu tak pantas mati! Belum saatnya mati! Ia masih punya alasan untuk hidup di Midgard! Ia punya sejuta impian yang belum ia selesaikan! Beratus-ratus tahun hamba mengabdi sebagai Valkyrie, hamba belum pernah melihat manusia seperti itu di seluruh Midgard!” balas Brynhild, kali ini menangis.

“Kamu lupa tugasmu, Valkyrie?!” Mata Odin semakin membelalak. “Kamu bersumpah untuk menyerahkan kesetiaanmu padaku!”

“Hamba… hanya ingin manusia itu bahagia!”

“Bedebah kamu! Kamu bahkan melawanku! Hukumanmu akan sangat berat, Valkyrie! Berat! Sekarang pergilah dari hadapanku dan sesalilah perbuatanmu!”

Brynhild segera meninggalkan ruangan. Ia tak tahu bahwa cinta bisa begitu terlarang, bahkan bagi para Dewa.

* * *

                Seorang pemuda tampak bercucuran keringat setelah mati-matian menjelaskan cara berpedang kepada bawahan-bawahannya yang masih hijau. Hatinya cukup sabar jika ia mengingat bahwa ia pernah menjadi salah satu dari mereka lima tahun lalu, saat dirinya pertama kali mengajukan diri untuk menjadi prajurit kerajaan Nibelung. Ia tahu hidup sebagai manusia di Midgard tak semudah hidup di Asgard, seperti yang selama ini ia baca di buku-buku dongeng.

“Mulai lagi dari awal!” kata si pemuda, sedikit membentak, dan sedikit terlonjak karena ia kaget dengan intonasinya sendiri, juga tepukan pelan dari seorang rekannya yang tiba-tiba saja datang menghampiri.

“Santailah sedikit, Sigurd,” kata rekan Sigurd tadi. “Si tua Bangka mencarimu, tuh. Tugas lagi sepertinya.”

“Oh, terima kasih. Tolong gantikan aku melatih mereka,” jawab Sigurd cepat. Ia malas mendengar celotehan ketus dari si Tua Bangka, alias Kepala Tentara hanya karena ia telat menjawab panggilan.

Buru-buru Sigurd menghampiri kuarter tentara. “Anda memanggil, Pak?” tanya Sigurd saat ia melihat wajah yang ia harap tak pernah ia temukan.

“Kau pikir?!” bentak Kepala Tentara. Sigurd mati-matian menahan keinginan untuk menebas kepalanya. “Tugas untukmu, Sigurd! Jangan main-main, ini langsung dari Raja.” Kepala Tentara menyerahkan gulungan perkamen kepada Sigurd.

Mata Sigurd menelusuri tiap kata dalam perkamen itu. Saat berhenti di akhir perkamen, ia terbelalak, dan sesekali melihat wajah Kepala Tentara, seolah tak percaya apa yang baru ia baca.

“Kalau kau tidak buta huruf, kau tidak salah baca!” Kepala Tentara kembali membentak. “Tugasmu adalah mencuri sebotol air dari Mata Air Kebijaksanaan di Alfheim! Berhati-hati saja, peri-peri itu suka makan manusia!”

* * *

                 Maka disinilah Sigurd sekarang, mengendap-endap di langit-langit istana para peri. Matanya tertuju pada kolam di tengah ruangan. Mata Air Kebijaksanaan dijaga begitu ketat oleh pasukan peri Raja Gunnar.

Dari balik bayangan langit-langit kastil, mata Sigurd menelusuri Mata Air Kebijaksanaan. Airnya begitu jernih, dan konon siapapun yang meminumnya akan menemukan Kebahagiaan Sejati, atau begitulah yang pernah ia dengar. Air di tengah kolam itu begitu tenang, syahdu dalam kejernihannya. Begitu lama Sigurd memandangi Mata Air Kebijaksanaan, seolah-olah ia terhipnotis oleh keindahannya. Ia lupa bahwa Mata Air itu tak hanya indah, tapi juga penuh dengan sihir.

Dalam sekejap, seluruh badan Sigurd tak menuruti perintahnya. Kakinya melompat turun menuju Mata Air Kebijaksanaan. Ruangan itu mendadak bising dengan suara teriakan Sigurd dan suara air yang menggelegar.

* * *

                Untuk sesaat, Sigurd merasa ia sudah mati. Ingatan terakhirnya menunjukkan bahwa ia tenggelam dalam Mata Air Kebijaksanaan. Ia mencubit keras pipinya sendiri. Sakit. Maka ia yakin ia belum mati.

Sigurd menoleh pandangan ke sekitar. Gelap, namun ia masih bisa melihat buih-buih udara melayang ke atas. Ia berada dalam air, atau lebih tepatnya dalam Mata Air Kebijaksanaan! Uniknya, hidung Sigurd masih bisa menghirup oksigen.

Sigurd segera menghempaskan keheranannya. Ia segera mencari-cari jalan keluar dari Mata Air ini. Matanya terus saja melotot kesana-kemari. Tak selang berapa menit, ia menemukan pantulan cahaya di sudut Mata Air Kebijaksanaan. Tak punya pilihan, ia hampiri cahaya itu.

Betapa terherannya Sigurd, bahwa di tengah cahaya yang dihampirinya, melayang sesosok gadis tercantik yang pernah ia lihat dalam hidupnya. Gadis itu tampak tertidur dengan lelap. Rambutnya yang gelap terurai indah, bentuk bibirnya, telinga, mata, hidung… semua adalah kekaguman bagi Sigurd.

“Apa yang kau sembunyikan?” Mulut Sigurd berucap puisi. “Apakah kau mendengarku? Apakah aku harus meneriakkan namamu?”

Tak ada jawaban dari si gadis. Sigurd merasa ia sudah gila. Tapi apa bedanya gila dengan cinta, meski saat pertama kali berjumpa? Bagi Sigurd, batas waras dan gila bisa saja terbengkalai ketika cinta sudah bermain di dalamnya. Tak ada yang tahu, tak ada yang mengerti. Maka dari itu, disentuhnya lengan sang gadis. Kulitnya begitu lembut, dan tangan Sigurd tak ingin melepasnya.

“Ketika kau bangun, aku ingin kamu tahu bahwa yang aku ingin lakukan adalah membuatmu bahagia,” ucap Sigurd pelan.

“Aku tahu…,” tiba-tiba terdengar suara dari balik bibir si gadis. Gadis itu membuka kedua matanya pelan. Seolah tak ada beban, ia menghempaskan dirinya ke dalam pelukan Sigurd. “Aku merindukanmu, Sigmund!”

Sigurd diam sesaat. Tadi dia bilang apa? Sigmund?

“Katakanlah sesuatu, Sigmund. Tak ingatkah kau padaku? Aku Brynhild,” kata si gadis lagi.

“Tunggu.. Namaku bukan Sigmund, dan ini pertama kali kita bertemu!” jawab Sigurd, “tapi bagaimana kau tahu nama kakek moyangku?”

Kali ini Brynhild yang terbelalak, tapi ia tetap tak mau melepas pelukannya. Ia masih yakin bahwa orang yang dipeluknya adalah Sigmund.

“Ini kisah turun temurun dalam keluargaku. Moyangku pernah diselamatkan seorang Valkyrie saat Dewi Kematian menjemputnya,”

“Sudah selama itukah aku tertidur?”

“Aku tak tahu, tapi mungkin ini terdengar bodoh, dan jika kamu mau menyebutku seperti itu, silahkan. Namun aku jatuh cinta padamu,”

Brynhild melepas pelukannya. “Kau tahu? Odin mengatakan padaku sebelum ia menghukumku, bahwa jiwa Sigmund tak akan pernah diterima Valhalla ataupun Niflheim, Neraka. Jiwanya akan bereinkarnasi.”

Sigurd terdiam.

“Aku akan mengatakan ini: Aku mencintaimu bukan karena fisikmu. Kamu jauh, sangat jauh dari sosoknya. Jiwamu itu jiwa Sigmund yang berkelana tanpa henti dalam Pohon Dunia Yggdrasil, yang menemukan tempat pemberhentiannya, yaitu tubuhmu,” Brynhild tersenyum, “Ya, aku mencintaimu. Dan biarkan aku juga berbuat sama kepadamu: hidupku untuk membuatmu bahagia.”

“Ketika kedua mataku ini terbuka, biarkan wajahmu adalah hal yang pertama kulihat, dan saat kututup mata, biarkan bibirku mendarat di keningmu,” ujar Sigurd pelan, menatap tulus kedua mata Brynhild.

“Aku tak akan menyerahkanmu pada yang lain, bahkan Odin dan Hel pun bisa mengamuk semau mereka. Cinta ada di sekitar kita, dan hal gila jika kita tak mengambilnya. Lebih gila lagi ketika kita dilarang untuk mengambil cinta.”

“Cinta hanya berjarak satu surga, dan surga itu adalah kamu,”

Tanpa ada pemberitahuan, mereka berdua berpelukan. Brynhild kembali mengingat satu hal, bahwa hukumannya tidak hanya sekedar tidur panjang. Odin mengutuknya bahwa kelak ketika Brynhild terbangun, ke-dewi-annya akan tercabut dan ia menjadi manusia. Brynhild tak peduli. Baginya ini bukan kutukan, tapi berkah karena ia tak perlu terikat dengan aturan Dewa dalam hal jatuh cinta.


ditulis @rebornsin dalam http://inwordswetrust.wordpress.com

No comments:

Post a Comment