Jarak terkadang menjadi bukti kekuatan hati seseorang. Menunggu, kadang menjadi ujian untuk ketahanan dari luka. Waktu, kadang menjadi hal tersulit untuk dihadapi saat sendirian.
Tapi, di hadapan cinta yang sesungguhnya, semua itu tak memiliki arti..
***
Aku meringkuk di beranda rumah, memandangi langit Surabaya yang agak kemerah-merahan. Bulan, jauh disana bersinar dengan anggun walau bintang yang menyertainya terhalang benderang lampu kota. Kusesap secangkir kopi panas yang mengepul. Aromanya membangkitkan semangat dan mengusir semua kantukku malam ini.
Malam ini hampir sama dengan malam malam sebelumnya. Malam yang kuhabiskan sia-sia untuk menunggumu. Aku menunggu kamu menelpon malam ini. Seperti janjimu beberapa hari yang lalu, saat aku menelponmu, lalu kau reject dan kau balas dengan pesan singkat : “aku sedang pelatihan.. beberapa hari lagi aku akan menelponmu.. maaf ya..”
Memang, aku sadar kalau aku bukan siapa-siapamu. Hanya seseorang yang kau anggap sebagai adik. Kau yang menganggapku adik, tapi aku menganggapmu lain. Kamu memiliki arti lain di hatiku, bukan sekadar “kakak”. Tapi.... sudahlah, aku tak mau lagi berharap banyak karena sebuah harapan itu sudah usai..
Dua jam pertama tidak begitu kentara. Aku memandangi foto-foto dahulu, saat kita sering bertemu, tersenyum, mengucap salam, dan tertawa bersama..
Tanganku terhenti di salah satu lembar album. Ada fotoku.. iya, selembar fotoku yang kau ambil diam-diam. Aku yang sedang melamun, menopang daguku dengan sebelah tangan, dengan mata menerawang jauh ke depan. Entah mengapa, aku tersenyum, membayangkan saat ketika kamu mengambil foto itu diam-diam, lalu aku berusaha merebut kamera dari tanganmu, lalu kita berkejar-kejaran seperti anak kecil. Kita tidak peduli dengan pandangan aneh orang-orang yang lewat, kita tidak peduli dengan peringatan satpam saat kita berderap melewati tangga. Dan ketika aku memintamu untuk menghapusnya, kamu malah berkata “foto itu menyimpan kenangan lebih lama dari manusia itu sendiri.. biarkan foto ini menyimpankan kenanganku tentangmu selamanya ya..”
Ah, manis. Manis sekali...
Aku berdoa agar kalimat itu tidak berakhir menjadi klise semata..
Aku terdiam saat melihat sebuah foto yang lain. Foto sebuah ayunan berwarna merah yang basah karena hujan, berlatar pepohonan dan rerumputan hijau. Di atasnya, setangkai mawar tua mulai rontok dan menguning ujung-ujungnya dihiasi oleh titik-titik air.
Rasanya aku ingin menangis.
Foto itu foto terakhir kalinya aku menunggumu sebelum akhirnya aku pergi ke Surabaya. Kamu tak datang. Aku yang sudah beberapa jam menunggumu, basah, kedinginan dalam gerimis mendesah kecewa saat hari beranjak petang. Tapi aku tak menangis. Hebat kan! Saat itu, kupaku erat di dadaku kalau menunggumu itu adalah bukti. Bahwa aku mencintaimu lebih dari yang kamu sangka.
Aku berdoa supaya kamu masih mengingatku..
Aku berdoa supaya kamu mengingat rasaku yang selalu bisa kamu baca tanpa kuutarakan..
***
Angin malam berhembus keras. Seperti mengusir, aku yang betah berlama-lama ada di beranda. Tak lama, hujan datang. Mulanya gerimis kecil-kecil yang menyejukkan, lama-lama menderas, memaksaku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu agar air tak masuk.
Aku menatap hujan yang meluruhkan bau-bau debu dibalik kaca rumah. Nikmat sekali merasakan hawa yang menyejuk, bersama denting titik hujan yang menerpa genting. Sejenak melupakanku dari perhatian kepada foto-foto itu, juga ponselku, yang tak juga bersuara.
Hei, andai hujan bisa mentelepatikan rindu kepadamu yang begitu jauh, jauh dari rengkuhku..
Hei, andai hujan bisa mengirimkan kode-kode telegram untuk mengingatkanmu, bahwa aku menunggu..
Hei, andai hujan bisa mengirimkan nafasku, peluk, beserta hangatnya untuk ada di sisimu..
...
If I could bottled the smell of the wet land after the rain
I’d make it a perfume and send it to your house
If one in a million stars suddenly will hit satellite
I’ll pick some pieces, they’ll be on your way
...
Waktu terus berlari, malam makin larut. Letih mulai hinggap di pundakku setelah beberapa belas jam tidak tidur sama sekali. Kopi panasku telah habis. Cangkirnya mendingin dan meninggalkan kerak ampas kopi di dasarnya. Suara dan bau hujan seakan meninabobokanku untuk segera terlelap. Namun, selama kau bisa menunggumu, aku akan menunggu..
Aku masih ingin menunggumu. Akhirnya keegoisanku terkalahkan oleh ringkih badanku yang begitu lelah. Sejenak, kurebahkan badanku, tapi aku terjaga seraya berdoa agar kau segera datang, suaramu..
Aku rindu, aku rindu, aku rindu
...
If only I could find my way to the ocean
I’m already there with you
...
***
03:15
Aku mulai tak sanggup untuk terjaga lebih lama lagi. Perasaan, kesal, sedih, dan kecewa beraduk satu di hatiku. Lelah menunggu. Lelah menanti janjimu. Airmataku mengalir membasahi bantal. Apa kau benar benar lupa?
...
If somewhere down the line
We will never get to meet
I’ll always wait for you after the rain
...
03.46
Ponselku berdering kencang. Kueja pelan huruf-huruf yang tertera di layar. Namamu! Seketika aku bangun, mengangkatnya, lalu terdengar rentetan suara panikmu..
“Dek maaf, udah dari tadi nunggu? Ini baru aja selesai ngerjain tugas. Pelatihan ini bener-bener neraka, jam segini aja tugas masih numpuk.. Dek? Nggak papa kan? Marah? Bener-bener maaf.. Aku tadi nggak sempet nelpon.. Halo..? halo.. “
Aku tersenyum..
“ Iya mas, aku nunggu kok.. “
Aku terdiam mendengarkan kata-katamu yang terus mengalir. Aku mendengarkannya dengan tangisan tanpa suara. Aku mendengarkan suara yang sudah lama kurindukan. Mendengarkan suara yang dari tadi kunanti.. Penantianku malam ini usai..
“Mas?”
“Iya?”
“Aku kangen..”
“Iya aku tahu.. Aku juga..”
*****
#30HariLagukuBercerita : Selama Aku Masih Bisa Menunggu ( Adhitia Sofyan - After The Rain ) : untuk seseorang yang beratus-ratus kilometer jauh di sana.. Sadarkah bahwa aku masih menunggumu?
ditulis @rahadisiwi dalam http://arrheaarra.blogspot.com
No comments:
Post a Comment