“Sanjayaaaaaaaaaaa! Kau kemanakan jaketkuuuuu????”
Masih pukul 5 pagi. Aku sudah teriak-teriak seperti manusia kesurupan setan. Bagaimana tidak, jaket yang paling kusayang, yang biasa kukenakan sesekali ke acara bergengsi, dan harganya bisa membuatku menahan lapar dua bulan, dan biasanya tersimpan rapi dalam bungkusan plastik laundry- tapi kini lenyap. Siapa lagi kalau bukan bajingan muda tukang pamer itu yang meminjamnya tanpa permisi.
Ibu tergopoh-gopoh melongo menuju kamar Isan (panggilan kecil Sanjaya), lalu dengan wajah kaget ia bertanya:
“Ada apa ini teriak-teriak masih pagi?”
“Biasa bu, anak muda, aku berangkat dulu ya.” Kataku ngeloyor sambil mengecup pipinya. Ibu cuma bilang hati-hati dengan wajah yang masih terus kebingungan di depan Isan yang masih lelap.
–
Perjalanan ke kantor adalah tempat aku biasa mengakrabkan diri dengan fikiran-fikiranku. Satu jam terjebak macet sudah bukan hal aneh. Lampu menyala merah, itu berarti saatnya aku mengendurkan urat-urat berfikir dengan mengingat-ingat hal menyenangkan yang sudah kudapatkan bulan ini, saat lampu berubah hijau berarti saatnya aku lebih berkonsentrasi pada orang-orang di jalanan. Kadang kegiatanku ini menambahi rasa syukur, dengan melihat apa yang tak mereka miliki, telah kudapatkan.
Bus memang tak pernah tak padat. Untung AC menyala dan penumpang dilarang merokok.
–
Jaket kesayanganku sudah tergantung rapi dan wangi pada pukul 7 malam di lemari. Aku tidak yakin ini kerjaan Isan. Pasti ibu.
“Terima kasih jaketnya” suara Isan mengagetkanku. Tumben dia manis.
“Iya, sama-sama, lain kali lo pamit dong kalo mau pakai barang-barang gue.” Kataku sok cuek.
“Iya, maaf ya.” Katanya lalu berjalan meninggalkanku.
Tumben dia gak jahil seperti biasa. Mana kata-kata “halah, jaket buluk jelek begitu doang aja disombongin” yang biasanya dia ucapkan?
Dadaku tiba-tiba sesak. Apa kata-kataku terlalu kasar? Padahal aku cuma pesan sama ibu lewat telfon:
“Aku mau pakai jaket malem ini, tolong dicuci dan digantung rapi. Sampaikan ke Isan ya bu”.
Menikah setahun dengan Isan, aku belum sekalipun disentuhnya. Bukan karena apa-apa, ini perjanjian kami sebelum nikah karena dijodohkan. Kami memutuskan untuk saling mencintai dulu sebelum tidur seranjang. Sebab itulah, kamar kamipun terpisah.
Isan yang musisi gaya hidupnya kelas atas dan sesuka hati. Berbanding jungkir balik bila dibandingkan aku yang cuma guru SMP. Jam kerja yang jauh berbeda tentu saja menjadikan kami menjadi sangat jarang berkomunikasi. Akupun heran mengapa ia mau menikah denganku, padahal banyak gadis lain jauh lebih gaya dan luar biasa cantik dijodohkan dengannya.
Tapi tingkahnya hari ini aneh. Aku mengetuk pintu kamarnya dan dia menyahut “masuk” dari dalam, seolah-olah ia tahu itu aku yang datang.
“Kamu tumben gak ngomel kaya biasanya?” Tanyaku langsung.
“Ah, biasa saja. Lagipula memang salahku.” Jawabnya datar.
“Oh, lagi bete ya?”Tanyaku menyelidik.
“Sotoy deh.” Katanya mulai sinis.
“Jelek lo kalo bete. Kenapa sih? Cerita kek..” Aku sedikit mencoba mencairkan suasana.
“Kira-kira kapan kamu mau mulai mencintai aku?” Katanya sambil serius menatapku.
Aku diam. Jadi batu.
“Woi, diem lagi lo!” Katanya mengagetkan.
“Aa..a a.. Aku mau ke toilet, kebelet..”Kataku buru-buru mau kabur. Tapi kalah cepat. Dia sudah menahan di depan pintu dan menutup dan menguncinya. Mati aku. Jantungku..
“Jawab dulu pertanyaanku..”Katanya memandang tajam ke wajahku.
“Kenapa aku harus menjawab? Memangnya kamu sudah mencintai aku?”Tanyaku mulai memberanikan diri.
“Malam ini kita kencan. Sekarang kau ganti bajumu yang cantik. Titik!” Katanya. Dan mendorongku keluar kamar.
HEY?? HELLOO??? Apa-apaan sih laki-laki satu ini? Memangnya siapa yang mau kencan dengannya? Aku sudah janji dengan Sasti, rekan guruku, untuk ikut undangan makan malam pak KepSek di rumahnya. Dan dia seenaknya membuat janji dadakan begini?? Bah !!
DOK!DOK!DOK! (Suara ketukan pintu sangat keras)
“Aku udah selesai, kutunggu di ruang tamu. 10 menit ya, gak usah dandan menor!” Suara Isan mengagetkan.
Buru-buru kutelepon Sasti dan dengan terpaksa memohon maaf berjuta kali karena membatalkan janji ketemu. Dan mengganti baju kerjaku dengan gaun merah kesayanganku. Gaun (yang anehnya) kupersiapkan sejak lama, kalau-kalau Isan mengajakku kencan.
***
Setengah jam kemudian kami tiba di restoran kecil, lampunya temaram. Kami duduk berhadapan di bangku empuk berwarna cokelat. Hening. Pesananku tiba-tiba sudah datang. Tapi darimana dia tahu aku suka jus mangga?
“Mau makan apa?” Katanya.
“Pesan aja duluan” kataku
“Saya pesan nasi goreng ikan asin, mbak. Yang pedes, ya.”Katanya pada mbak-mbak pelayan yang sibuk mencatat pesanan.
“Loh, kamu dukun ya? Aku mau pesan itu juga.” Kataku melotot kagum.
“Berarti dua, mbak. Nganternya nanti, kalau sudah saya bunyikan bel.” katanya kepada pelayan tanpa menggubris kata-kataku.
Kembali hening.
Close your eyes, give me your hand, darlin’, do you feel my heart beating, do you understand, do you feel the same, am I only dreaming, is this burning, an eternal flame
Lagu kesukaanku mengalun pelan di ruangan ini, selain jus mangga dan nasi goreng ikan asin, apa hal ini masih kebetulan juga? Di ruangan ini tidak ada siapa-siapa. Tertutup untuk kami berdua.
Aku sibuk pada ujung taplak meja yang menjuntai di atas rokku. Sesekali menyeruput jus dan mencuri pandang pada dia yang terus menatapku.
“Kamu gak bisa ya ngelihatnya ke wajahku?” Tanyanya ketus.
“Ih, ngapain ngeliatin kamu. Kaya cakep aja.” Jawabku. memang cakep sih kata hatiku.
Dia bangkit dan aku berusaha menjauh, tapi ia buru-buru menyambar kedua tanganku.
“Lihat aku!” Katanya merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Wajahnya dekat sekali. Sial. Aku harus segera punya dokter jantung pribadi. Tangannya tak lagi mencengkram tanganku. Tapi sudah memeluk pinggangku.
“Maaf aku memang tidak romantis. Tapi percayalah, aku sudah mencintaimu sejak pertama kau buatkan sarapan nasi gorengmu yang keasinan di hari pertama kita menikah dulu.”
“Juga saat aku menemukan gitarku tak lagi berdebu dan kamarku bersih sepulang konserku.”
“Lalu aku semakin mencintaimu ketika ulang tahunku kau berhasil mengundang papaku yang tak pernah mau pulang sejak perceraian mereka dulu.”
“Dan aku semakin tak bisa lagi menahan rasa untuk memelukmu. Karena semakin hari semakin aku mencintaimu. Sekarang aku bertanya, apakah kau sudah mencintaiku?” Tanyanya. Masih sambil memelukku.
“Aku mencintaimu meskipun kau jahil. Meskipun kau tak pernah bersikap manis dan tak pernah merayuku. Meskipun kau lupa hari ulang tahunku. Dan memberiku hadiah boneka jelek yang kau beli di supermarket seminggu setelahnya. Kau memang bajingan menyebalkan, tapi sialnya aku menyayangimu.” Jawabku.
Dia tersenyum, lalu tiba-tiba menciumku di bibir. Kami sedang begitu terbakar nafsu sampai tiba-tiba dia bilang:
“aku lapar. Nanti lanjut lagi ya.”
Dasar brengsek.
ditulis @ikavuje dalam http://eqoxa.wordpress.com
No comments:
Post a Comment