Tuesday, September 11, 2012

Tentang Angkasa

1.

Dia menyukai hujan. Sama seperti aku. Namun aku membenci air. Sedangkan dia, menyukainya. Aku lebih senang menikmati hujan dari balik jendela kamarku. Mendengarkan suaranya yang menyejukkan, serta menyesap baunya yang menenangkan. Sedangkan dia, lebih suka menikmatinya secara langsung.



Ketika langit mulai mendung, dia pasti akan tersenyum gembira, lalu bergegas keluar dari rumahnya. Merentangkan kedua tangannya, dan menunggu sampai hujan turun. Karena itu, dia sangat membenci mendung yang tak hujan.



Jika sudah ada tetesan hujan yang mengenai tubuh atau wajahnya, dia akan mulai menari. Dia sangat pandai menari. Gerakannya sangat luwes dan gemulai. Namun dia hanya mau menari jika ada hujan. Dia akan berputar-putar, menggerak-gerakkan tangannya, menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berlarian mengelilingi halaman rumahnya. Begitu seterusnya hingga hujan berhenti.



Pernah sesekali dia juga menyanyi di bawah hujan. Suaranya sangat indah. Jika sudah bernyanyi, dia tidak akan berhenti sebelum hujan reda. Bahkan dia akan terus bernyanyi, meskipun suaranya sudah mulai serak. Dia tak kan pernah mempedulikannya. Dia akan terus bernyanyi hingga suaranya terdengar ke seluruh penjuru kota.





2.

Ayahnya seorang petani jeruk. Mereka juga memiliki kebun jeruk yang sangat luas di belakang rumahnya. Dia pernah memberiku jeruk dari kebunnya itu. Kalau tidak salah, bulan November tahun lalu. Dan kau harus percaya, jeruk dari kebunnya adalah jeruk terenak dan tersegar di seluruh dunia. Saat aku bertanya bagaimana bisa, dia hanya menjawab karena hujan yang merawatnya.



Dia menyukai warna oranye dan senja, pasti jeruk lah alasannya. Dia pernah datang ke rumahku, membawa sebuah jaring yang biasa digunakan oleh ayahnya untuk menangkap kupu-kupu yang berterbangan di kebun jeruk mereka.



“Kamu mau menemaniku menangkap senja?”



Dahiku mengernyit. Aku tak tahu apa maksudnya. Tapi aku justru mengangguk. Seperti terhipnotis oleh kata-katanya.



“Kalau begitu ayo ikut!”



Ia meraih tanganku. Menariknya agar aku bergegas mengikuti jejak langkahnya. Baru kali ini aku melihatnya begitu bersemangat. Tingkahnya persis seperti anak kecil yang mengajak ibunya untuk pergi ke toko boneka atau toko es krim. Raut bahagia terukir jelas di wajahnya. Sedari tadi, bibirnya tak pernah berhenti menyunggingkan sebuah senyum.



“Kita mau kemana?”



“Ke bukit belakang rumah Raga!”



Raga adalah sepupuku, dan juga temannya. Di belakang rumah Raga terdapat sebuah bukit yang menawan. Tidak terlalu tinggi memang. Tapi dari atasnya, kita sudah bisa melihat hampir seluruh isi kota. Tidak ada pohon ataupun bunga di sana, namun tetap saja indah. Karena padang rumput yang sangat hijau, terhampar luas disana.



Senja sore itu memang sangat indah. Semburatnya berwarna oranye menyala, persis seperti warna kesukaannya. Tak heran dia ingin sekali untuk menangkapnya. Mungkin dia ingin menjadikannya sebagai penghias kamar, agar dia bisa melihat senja setiap saat. Mungkin dia akan memasangnya di dinding kamarnya sebelah barat, di atas rak bukunya, dan berdampingan dengan pigura yang berisikan foto ibunya.



“Kamu ke atas bukit yang sebelah utara ya, terus bawa senjanya ke sini. Nanti aku tangkap mereka pake jaring ini.”



Aku segera berjalan menaiki bukit sebelah utara. Sesampainya di sana, aku terdiam beberapa saat. Selain menikmati keindahan senja, aku juga memikirkan bagaimana cara agar senja dapat bergerak ke arahnya. Awalnya, aku mencoba-coba untuk meniupnya. Tapi tentu saja angin yang dibuatku tak cukup kuat untuk menerbangkan senja ke arah selatan. Dan di saat aku masih kebingungan, tiba-tiba aku melihat seorang penggembala yang sedang menggiring domba-dombanya untuk menuruni bukit. Ia seorang diri, namun bisa menggiring domba yang puluhan jumlahnya. Aku pun mencoba untuk mencontohnya. Kurentangkan tanganku selebar mungkin, lalu aku kibas-kibaskan tanganku ke depan, persis seperti apa yang dilakukan penggembala tadi. Benar saja, senja di langit tiba-tiba bergerak menuruti arah kibasan tanganku.



Senja semakin cepat bergerak turun ke arah selatan. Dia, yang sudah menunggu dari tadi, segera mengayunkan jaringnya ke udara. Dia berlari kesana kemari, sambil sesekali melompat. Mencoba untuk menangkap senja sebanyak mungkin.



Namun anehnya, tidak ada satu pun senja yang berhasil ditangkapnya. Ternyata lubang di jaringnya terlalu besar, sehingga senja yang ada di dalamnnya, dapat lolos begitu saja. Tapi sepertinya dia tidak menyadarinya. Dia masih tetap saja melompat-lompat sambil mengayunkan jaringnya.



Tidak lama kemudian, dia tiba tiba berhenti. Kepalanya tertunduk, dan diam tak bergerak. Dia terlihat sangat lemas. Aku segera menuruni bukit untuk datang menghampirinya, kemudian mendekati tubuhnya secara perlahan. Kusibakkan rambut panjang yang menutupi wajahnya. Matanya berkaca-kaca. Buliran air, perlahan keluar membasahi kedua pipinya.



“Aku tak bisa menangkap senja” ujarnya sambil terisak.



Aku terhenyak. Baru kali ini aku melihatnya menangis di depanku. Aku benar-benar merasa bersalah karena tak bisa memenuhi keinginannya.



“Sudahlah, besok kita coba lagi, ya?”



Aku memeluknya, dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Namun, dia justru semakin menangis.



“Aku ingin menangkap senja” bisiknya berulang-ulang di dalam pelukanku.





3.

Kami berdua menyukai buku. Bahkan pertemuan pertama kami pun terjadi di sebuah toko buku. Namun aku lebih suka menulis dan mendengar. Sedangkan ia lebih senang membaca dan berbicara. Dia sangat suka membaca buku tentang semesta.



“Kamu ingin menjadi Matahari?” tanyaku suatu ketika.



“Emm, tidak”



“Kenapa? Bukankah ia sempurna?”



“Menurutku tidak ada yang sempurna di alam ini. Matahari sekalipun. Mungkin ia memang indah dan memberi kehidupan bagi semua. Tapi bukankah kita hanya akan nyaman jika berjarak dengannya?”



“Kalau Bulan?”



“Ia cantik. Ia juga setia kepada Bumi. Namun sayangnya, ia tidak jujur. Ia hanya menampakkan satu sisi terangnya. Kita tak pernah tahu bagaimana sisi gelapnya.”



“Emm, kalau Bintang?



“Mereka mengagumkan. Meskipun terlihat acak, namun sebenarnya mereka membentuk suatu konstelasi yang indah. Tapi aku tak ingin membagi diriku. Aku ingin menjadi sesuatu yang utuh.”



“Lalu, kamu ingin menjadi apa?”



“Aku sudah menjadi Angkasa” jawabnya sembari tersenyum.





4.

Namanya Angkasa. Angkasa Putri Melodia. Dan kepadanya, aku jatuh cinta.

ditulis @bumihr dalam http://bumiherarihlatu.tumblr.com

No comments:

Post a Comment