Tuesday, September 4, 2012

Si Gundul

(cerita bagi kak @dzdiazz dan lagu permintaannya)

Gundul gundul pacul cul, gembelengan…
nyunggi nyunggi wakul kul, gembelengan…
Wakul ngglimpang segane dadi sak ratan.


Wajah bocah kelas 5 SD itu semakin cemberut, ketika lagu gundul-gundul pacul semakin sayup menjauh dari pendengarannya. Raut mukanya makin dibenamkan di dalam topi merahnya..

Diaz membuka topinya dan mengelus kepalanya. Seandainya saja hari itu dia tak bermain-main dengan permen karet dan menempelkan di bangku Lala, teman baiknya, tentu hari ini dia tak perlu memakai topi setiap hari. Seandainya lagi Lala cukup panik saja, menikmati kelucuan itu, tapi bukan Lala kalau tak selalu membalas kejahilan Diaz, dan sisa permen karet itu ditempelkan pada rambut Diaz. Kini Diaz pun terpaksa bercukur hingga habis, gundul.

Dari teras rumah tiba-tiba jauh terlihat seseorang dengan pita besar warna-warni pelangi mengayuh sepeda warna senada kesukaan Lala, dan Diaz segera bergegas masuk rumah, dan membanting pintu.

Braaak..

“Diaazzz, pelan-pelan nak, Mama bisa sakit. Ada apa sih?”
“Lala tuh Ma, pasti mau kesini. Bawel aah… Diaz masih marah sama dia,” bersungut-sungut Diaz bercerita pada Mama.
“Yo biar toh, kan teman baikmu, di sekolah juga kamu duduk bersebelahan.”
“Diaz.. Diaz…” tiba-tiba suara Lala memanggil dari luar.
“Masuk La.”
“Mama apaan sih, Diaz gak mau main sama Lala lagi,” sambil masuk kamar dan mengunci.
“Hai Ma, Diaz ada?”
“Tuh, di kamar, ketok aja.”
“Diaz… kamu masih marah ya? Lala kan udah minta maaf.”

Tak ada suara dari dalam kamar Diaz.

“Diaz, Lala kesini mau pamit aja, besok Lala pindah ke lain kota. Nih, Lala beliin topi dan bola futsal warna merah buat kamu, semoga kamu suka,” suara Lala semakin serak, sambil melangkah berpamit pada Mama Diaz.

Dari dalam kamar Diaz terdengar musik yang kencang.

***

“Hoi, brenti hoi… Kamu Diaz kan, yang pake topi merah, kamu Diaz kan, brenti dong.”

Suara cempreng itu didengar oleh Diaz, tetapi dia lebih memilih terus dalam keramaian pulang sekolah.Sesampai di rumah, dihempas tubuhnya pada sofa. Mama melihat muka manyun Diaz.

”Ada apa? Pulang sekolah lewat mana tadi, sampai rumah kok berlipat-lipat mukanya.”
“Lala, Ma. Dia sudah di kota ini lagi.”
“Yakin itu Lala?”
“Yakin Ma, siapa lagi nama Stella Prisca, itu kan Lala. Dia jadi murid baru pindahan di sekolah tadi. Ma, Diaz pindah sekolah ya. Ikut Tante di kota besar juga gak apa-apa. Penting gak ketemu Lala lagi, sebel.” Rajuk Diaz pada Mama.
“Dulu sebelum masuk SMA ditawarin ikut Tante gak mau, sekarang udah hampir kenaikan kelas tiga minta pindah. Kamu belum bisa memaafkan Lala? Ya sudah nanti Mama bicara sama Tantemu.”

***

Besok di sekolah seseorang dengan sepatu berpita pelangi mendatangi bangku Diaz.

“Diaz, kamu Diaz kan? Apa kabar Mama? Aku sudah kalah tinggi sama kamu. Lupa ya sama aku?”
“Apa sik La,” Sambil mengangkat kepalanya menatap Lala. “Gak usah berisik, iya aku tahu, aku masih inget. Gak usah kayak gini napa?” Diaz segera berdiri keluar dari bangkunya.
“Kamu napa sik, masih marah soal dulu itu. Diaz, kita ini udah SMA, napa juga bisa marah selama itu?”

Diaz segera berlalu. Lala mencoba mengejar, menarik kemeja Diaz.
Diaz pun marah, berbalik lalu mendorong Lala, dan terhuyung ke belakang. Lala pun tidak terima berusaha membalas mendorong, tetapi karena kalah panjang jangkauan tangan Diaz lebih dahulu menarik rambut Lala.
Dan segera di genggaman Diaz terdapat rambut palsu dan panjang. Rambut Lala. Diaz langsung tergelak.

Lala yang tanpa rambut!

Lala sibuk menutup kepala dengan tangan, sambil menangis memohon dikembalikan.
Diaz masih sibuk tertawa. Lala hanya bisa menangis menutup malu, lalu berlari keluar kelas. Sekelebat Diaz melihat terdapat banyak carut parut bekas luka di kepala Lala. Tetapi Diaz lebih memilih terus memuaskan tawa.

“Cukup Diaz, kamu itu gak pernah tahu yang menimpa Lala sebelum pindah, sekarang kamu makin membuatnya malu. Kamu lihat bekas luka tadi?” Nimas teman sebangku Lala berteriak.
Diaz masih tertawa. Dengan tawa yang berbeda, kali ini ada sesuatu tangkup di dada yang terlompat.

***

Seminggu Lala tak masuk sekolah.
Kini Diaz diliputi rasa berjuta penyesalan tentang raibnya rambut indah Lala, dan parut bekas luka di kepalanya.
Hari itu Diaz berencana ke rumah Lala. Mama telah bercerita banyak tentang Lala dan keluarganya. Dua tahun lalu kejadian itu.

Hari itu Mas Danar, kakak Lala berangkat kuliah. Seperti biasa Lala selalu ikut bersama pergi ke sekolah. Entah bagaimana mobil mereka mengalami kecelakaan. Mas Danar meninggal di tempat kejadian, tetapi Lala pingsan dan terjebak di dalam mobil yang terbakar. Lala selamat tetapi tidak dengan rambutnya yang habis, dan luka bakar di sekujur kulit kepalanya, dan tidak memungkinkan memiliki lagi rambut indah.”

***

“Permisi….”
Tiba-tiba sebuah suara yang dikenal baik mengalihkan Diaz dari alam lamunannya.
“Mama ada, Diaz?”
“Hmmm.. kamu cari Mama? Kamu sehat, La? Masuk deh…Mama di dalam.”
“Aku sehat kok. Nih, sudah pake rambut baru,” sambil nyengir menunjuk rambutnya yang terbenam di bawah topi.
“O iya, aku minta maaf ya La, kejadian itu aku baru tahu, juga ikut prihatin atas kepergian mas Danar.”
“Iya terima kasih.”

Tak ada percakapan lagi. Keheningan panjang melingkupi ruang mereka. Hanya hela nafas, menyimpan ribuan aksara gelisah hendak dilisankan.

Tiba-tiba Mama keluar dari dalam rumah dan berkata, “Diaz, sudah tuh, Mama sudah dapat kabar, seminggu lagi kamu bersiap pindah ikut Tante, pindah sekolah seperti inginmu.”
Lala terkejut. Pun Diaz.

“Kok begini Diaz, sekarang kamu yang hendak pergi?”
Diaz hanya membisu.
“Baik-baik saja ya.”
“Baik-baik saja ya.”

Berbarengan. Mereka pun tertawa, seakan simpul telah terurai dengan sendirinya, hingga nanti menemu simpul lain.

Kembali kesunyian asing menyesaki ruang hampir menyentuh bahagia mereka.


Ditulis oleh @_bianglala dalam http://pelangiaksara.wordpress.com

No comments:

Post a Comment