Tuesday, September 25, 2012
Suratku, atas skeptismu.
Inikah yang kau sebut sebagai penolakan? Hahaha, tak perlu kau memikirkan bagaimana perasaanku atas reaksimu. Asal kamu tahu, aku tak cukup bodoh untuk menangisimu. Cinta itu dapat dikendalikan, dan bukan menjadi prioritas utama. Tergantung pribadi masing-masing dalam merespon, dan membuatnya menjadi bagaimana cinta itu semestinya… Jika kamu mengerti dan sanggup memporsikannya secara benar dan sesuai takaran.
Kamu membuat pilihan yang bagus, batal memacari perempuan kritis sepertiku. Jika kamu ingin kembali dengan mantan pacarmu, jungkir balik hingga menyentuh langit, atau tarik-ulur dengan wanita lain. Ya, terserah… Aku menghargai setiap tindakan yang kau jalani. Toh itu memang hak kamu untuk memilih, kan? Haha, skeptis bangsat.
Astaga, banyak sekali rentetan abjad yang telah menjadi umpatan untuk kamu yang plinplan. Masih saja kau terjebak dalam labirin itu, labirin yang membuatmu terkurung dan (berpura-pura) mencari-cari jalan keluar. Sampai mana usahamu? Atau sebenarnya kamu ingin terkurung selamanya? Hai! Burung saja enggan di sangkar, sekalipun dari emas. Mengapa kamu tidak? Mau beralibi pembelaan untuk “penguasamu”? Kalau kau sebut itu bahagia, kamu tak ingin bertanya kepadaku? Tahu jawabannya, kan? Atau bahkan sudah paham bagaimana rasanya? Seperti mentari yang meranggas menyengat kulitmu, dan hujan yang menangis disetiap malammu.
Tapi ya sudahlah. It’s your choice. One day, you will realized that I’ll be no longer around to catch you when you fall. Selamat untuk kelakuan minusmu.
Untuk @solachrst, the man who just not ready yet to leave the past behind.
*) Diinspirasi dari lagu Fuck You - Lily Allen
Ditulis oleh @yayajoleisa untuk @solachrst dalam http://yayajoleisa.wordpress.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment