Detik itu..
Kala mata merekam sepotong petak dunia yang kan segera tertinggal di belakang berganti sepetak lainnya. Kala angan melambung histeria menggapai derak-derak awan. Kala rengkuhmu pada jemari menjagaku tetap di realita, nyata, dan tak perlu ku berimaji tuk rasakanmu ada. Kombinasi semuanya pada satu detik itu saja, dari 7199 sisanya—jumlah waktu rata-rata sewajarnya kita tiba—hendak ku sumbang dalam daftar detik-detik paling berharga. Detik yang membuat hati resah mendesis, “Berhenti sebentar,” atau, “Bisakah nanti kembali diulang?”
Kali ini, jendela pemetak dunia disebelahku menangkap tepi danau yang kita tunggu. Kau menarikku melompat keluar terburu-buru mendahului penumpang lainnya. Alih-alih bermain air, kita malah berlomba mencapai bukit di seberang jalan. Berteriak, berlarian kegirangan. Kebebasan dari kekang rutinitas, pikirmu. Kelegaan bisa melaluinya bersamamu, tambahku. Siapa yang peduli dengan kepantasan pekik tawa membahana dan lelarian kekanakan? Tak ada yang perlu menilai kita disini.
Bis yang kita tumpangi tadi tampak kecil setibanya kita di atas. Angin menerpa kencang, namun nafasku masih tersenggal. Aku memilih tuk berbaring di atas rumput yang tak terlalu panjang. Di sisi, kau duduk menghadap aku, menutupi matahari yang tak begitu terik dengan tubuhmu. “Bukit ini luas juga,” menurutmu, akan menyenangkan bila bisa bermain sepak bola di atasnya. Lalu gaduh sendiri kau menjelaskan tentang pertandingan malam tadi; klub kesukaanmu, cara mereka memasukkan bola, dan hal-hal di antaranya yang tidak pernah ku mengerti. Terlalu bersemangat, tubuhmu ikut berguncang, tanganmu lincah memperagakan.
Detik kedua.
Kombinasi pemandangan wajah berbinar, tangan merentang, dan langit yang tenang. Detik berharga lainnya yang ku rekam tuk nanti ku putar berulang-ulang.
Melihatku yang diam saja lantas membuatmu berucap, “Maaf,” kau lupa aku kurang menggemari apa yang begitu kau gilai itu. Aku tersenyum saja. Yang tidak kau tahu, melihatmu antusias bercerita adalah salah satu favoritku, selain—hmm, bukankah semua hal yang menyangkut dirimu adalah favoritku?
Kau lalu turut menghempaskan badan. Ku gamit lenganmu dan bersandar di bahu. Kelopakmu memejam, segera ku susul untuk lebih lekat menghidu aroma tubuhmu. Dan perasaan damai ini.
Detik ketiga.
Detik keempat.
Detik kelima.
Biarkan aku abadi di detik-detik itu..
“And if a double-decker bus
Crashes into us
To die by your side
Is such a heavenly way to die”
ditulis @beatricearuan dalam http://beatrice-aruan.tumblr.com | There Is a Light That Never Goes Out
No comments:
Post a Comment