Saturday, September 15, 2012

Yang Tak Terkatakan

Dearest Ibu,

Salam takzimku untukmu. Untuk engkau, sesosok perempuan yang menjadi penghubung antara dunia gelap dalam rahim hingga ke kehidupanku sekarang. Tiada lain kesyukuran kuhaturkan ke hadirat-Nya, Allahu Rabb yang telah sudi memberi karunia seseorang seperti engkau, Ibu.

Rabb tak pernah memberiku pengertian sebelumnya tentang siapa dirimu sebelum dilahirkan, tentu itu semua ada tujuannya. Agar aku terus belajar mengerti segala tentangmu, yang baik ataupun buruk menurutku. Betapapun, engkau tetap ibuku

Dalam diammu, aku tahu ada banyak hal yang tak bisa terucapkan. Tentang kegigihanmu berjuang selepas ayah meninggal demi menghidupi kami, ketiga anakmu. Tentang kesedihan yang terbaca di setiap guratan wajah, sekalipun terkadang samar oleh tebalnya garis senyummu. Tentang rasa bersalahmu yang hanya bisa tertuang dalam hela nafas tiap kali mendengar si Tengah berucap tak memperoleh prioritasmu.

Ibu, maafkan bila hingga saat ini satu impianmu melihat si Sulung ini menikah belum terlaksana. Namun, aku selalu berharap yang terbaik. Agar ia segera menjemputku. Memberimu menantu dan cucu yang manis. Memberi kami semua kehidupan lebih baik kelak. Ada banyak hal yang masih kupertimbangkan dari hidup lajangku.. dan itu tentang engkau, Ibu.

Masih ingatkah kala kau lontarkan kalimat itu?

Menurutmu lebih baik aku mengelana ke pulau seberang, Borneo. Meninggalkanmu, mengasingkan diri sedikitnya lima tahun di tengah perkebunan sawit, lalu kembali pulang membawa sekian banyak pundi keberhasilan. Menurutmu hidup menjadi petani sepertimu bukan hal yang layak dibanggakan.

Mengertikah mengapa aku tetap diam kala itu, Ibu? Mungkin ada benarnya, tidak setiap hal di dunia ini bisa kusampaikan secara lisan. Terkadang rasa dalam kalbuku mewakili untuk menjawabnya dengan sangat gamblang. Gelengan kepalaku pun membulatkan niatku untuk tak memenuhi keinginanmu. Maaf, tolong maafkanlah anakmu.

Ibu.. mengertilah. Hatiku tiada tega meninggalkan engkau yang kini kian ringkih. Setahun lalu, di pertengahan Ramadhan engkau terpeleset. Tertinggallah cedera di persendian lutut kaki kananmu.. Juga keriput-keriput itu kadang menyesakkanku; rasanya tak siap jikalau nanti kau tinggalkanku sendiri.

Tentang Borneo dan kebun sawit.. Mengertilah.. Sesak rasanya melihat si kecil Sarita kehilangan induknya. Ibu tahu siapa Sarita? Ia seekor bayi orangutan. Oleh karena kepentingan manusia, ia terpaksa kehilangan ibundanya. Tak cuma Sarita, Bu, masih banyak orangutan kehilangan nyawa dan kehidupan liarnya. Sebut saja Windy, Fajar.. Lalu engkau memintaku untuk bekerja di sana? Di bekas rumah nyaman Sarita dan teman-temannya yang telah menjelma menjadi hamparan sawit?

     Hidup bukan untuk segalanya
     Tetapkan tujuan sulutlah ambisi
     Biarlah memandu

     Marilah berpikir ‘tuk diri sendiri
     Mendalami pribadi
     Apakah disana ada yang tersisa
     Rasa yang manusiawi

     (Manusiawi – Nugie)

Mengertilah, Bu.. Bagiku lebih baik memperoleh rejeki tanpa harus menindas makhluk lain, tak terkecuali mereka. Hidup ini adalah serangkaian pilihan yang kuputuskan untuk dilakukan, baik “ya” atau “tidak”. Bukankah jauh lebih baik hidup dalam harmoni? Tenteram, nyaman jiwa-raga? Biarlah mereka mencercaku bodoh, tolol, atau apa pun.. Sejatinya tiap manusia tiada yang sempurna. Maka, biar kukembalikan, kupasrahkan kepada Yang Mahakuasa.. Yang memberi kita kekuatan untuk selalu istiqomah menjalani. Semoga, aamiin..

Ibu.. Maafkanlah, segores penaku ini mungkin melukai hatimu. Namun, sesuatu yang tak pernah terkatakan ini.. semoga tetap memanduku menjadi insan yang mengerti apa maknanya manusiawi.

Salam hormat & sayangku,

Phie


ditulis @phijatuasri dalam http://asree84.wordpress.com

No comments:

Post a Comment